Oleh Bulman Satar
-
Bicara kelainan, sebenarnya ada satu lagi kelainan (orang) Aceh yang muncul sejak beberapa tahun belakangan namun belum cukup terungkap dan menjadi perbincangan di ruang-ruang publik. Saya sendiri melihat dan mencermati ‘kelainan’ ini mulai terlihat menonjol pascakonflik dan masa rehabilitasi dan rekonstruksi beberapa tahun yang lalu. Namun pada titik ini amatan saya terhadap fenomena ini belum sampai pada sebuh konstruksi pemahaman yang utuh selain hanya pengamatan secara sepintas lalu, hingga kemudian pada sebuah forum diskusi saya mendengar sebuah kosa kata baru yang dilontarkan oleh seorang kolega terhadap apa yang disebutnya sebagai prilaku baru sebagian orang Aceh yang ternyata juga diamatinya, entitlement mentality.
Sang kolega mengartikan istilah yang dikemukakannya sebagai mentalitas atau perasaan “keberhakkan”. Istilah ini dimaksudkannya untuk menunjuk pada fenomena “perasaan berhak” orang Aceh yang sangat kuat khususnya pasca konflik hingga fase rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana beberapa tahun yang lalu. Tak urung istilah ini memprovokasi saya karena persis merujuk pada fenomena “kelainan” yang saya amati secara sepintas lalu, seperti saya sebutkan di atas. Istilah ini membuat saya seolah menemukan angle untuk mencoba memahami lebih dalam fenomena yang tidak biasa ini.
Paralel dengan prilaku
Saya menemukan dalam beberapa kasus bahwa istilah ini paralel dengan prilaku yang ditunjukkan oleh sebagian orang Aceh --saya tidak ingin mengeneralisasi-- ketika merespons simpati, empati, dukungan, dan bantuan, dari berbagai pihak sejak fase-fase penyelesaian konflik yang melibatkan kontribusi pihak asing, konsesi oleh pemerintah pusat dengan membentuk BRA, hingga rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana yang dilakukan baik oleh representasi pemerintah pusat dan daerah, BRR, agensi PBB, agensi dan NGO internasional, serta organisasi-organisasi bantuan lainnya, dalam sebuah operasi kemanusian terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah.
Semua tampaknya memang berawal dari bencana. Bencana sosial konflik bersenjata yang berkepanjangan dan bencana alam gempa bumi dan tsunami telah meluluh-lantakkan Aceh. Menghancurkan hampir segala sendi kehidupan. Ribuan nyawa melayang, Infastruktur lumpuh, kondisi sosial nyaris chaos, ekonomi juga babak belur. Singkatnya akumulasi bencana yang datang beruntun ini betul-betul membuat Aceh luluh tak berdaya. Dalam situasi ini siapa pun sulit untuk tidak tersentuh dan berempati dengan penderitaan bertubi-tubi yang dialami dan dirasakan orang Aceh. Aceh betul-betul surplus simpati, empati, dukungan, dan bantuan pada saat itu.
Semua orang seolah berlomba-lomba menunjukkan kepeduliaannya terhadap Aceh. Tanpa dikomando semua orang seolah saling berlomba memperlakukan Aceh layaknya “anak kesayangan”. Menyuarakan perlunya Aceh mendapat perhatian khusus, bahwa Aceh harus diberikan kewenangan dan kesempatan yang lebih besar, harus diberi perhatian yang lebih secara moral maupun fiskal, harus dibantu dan dipulihkan traumanya, harus diberi ruang bagi identitas lokalnya, harus diberdayakan masyarakatnya, dan berbagai keharusan-keharusan lainnya; tentu dibumbui dengan segala romantisasi atas penderitaan dan kemalangan yang mereka (orang Aceh) derita.
Teks-teks tentang seribu satu keharusan ini, yang kian hari kian intens di dengar, dibaca, dan dilihat di berbagai kesempatan, forum, dan media oleh orang Aceh, yang kemudian juga dibarengi dengan munculnya frase-frase “sayang Aceh”, “peduli Aceh”, “bangun Aceh”, yang juga menyiratkan besarnya empati berbagai pihak terhadap Aceh, akhirnya menjadi virus yang merasuk dalam memori kolektif hingga menstimulasi ego dan membuat sebagian orang Aceh “gede rasa” dan over-confidence.
Kombinasi dari “gede rasa” dan over-confidence inilah yang tampaknya telah menguatkan subjektifitas sebagian orang Aceh dalam melihat dan memaknai relasi mereka dengan semua pihak yang menjadi representasi pemberi bantuan dimana mereka terkesan melihat diri mereka sebagai centrum dalam relasi-relasi tersebut, sementara pihak pemberi bantuan adalah “satelit-satelit” yang mengitari centrum dalam sebuah lintasan atau garis orbit bernama “pemulihan Aceh”. Persepsi ini lalu melahirkan kecenderungan mereka untuk menetapkan makna yang berbeda terhadap perhatian atau bantuan yang mereka terima yaitu tidak lagi sebagai sebuah “kemungkinan” yang sangat bergantung pada simpati dan kebaikan hati orang lain, tapi menjadi “kemestian” yang diimajinasikan sebagai konsesi wajib atas penderitaan hidup yang mereka alami.
Intensitas bantuan dan interval waktu yang nyaris bersamaan bahkan bisa dikatakan tumpang tindih antara pemulihan paska konflik dengan pemulihan pascabencana pun semakin menipiskan batas antara “kemestian” konsesi konflik dari pemerintah pusat dengan “kemungkinan” perhatian dan bantuan kemanusiaan dari dunia internasional. “Peta” atau garis pembatas antara keduanya lalu menjadi kabur dan tidak terlalu jelas terlihat oleh sebagian orang Aceh sehingga sangat mungkin kemudian membuat mereka menggeneralisir bahwa semua bentuk bantuan, apapun itu, adalah hak mereka yang tidak bisa ditawar dan harus dipenuhi oleh siapapun yang menjadi representasi pemberi bantuan.
Sebagai sampel, ada beberapa kasus yang mengindikasikan fenomena entitlement mentality orang Aceh ini. Pernah, dua orang pekerja kemanusian berkebangsaan asing mengungkapkan keheranaannya atas respons beberapa anggota masyarakat korban tsunami yang dibantu oleh lembaga bantuan tempat mereka bekerja. Mereka tidak habis pikir dengan sikap beberapa orang warga tersebut yang mereka sebut “berulah”, sangat tidak kompromis, bahkan cenderung memaksakan kehendaknya atas hal-hal yang mereka sendiri tidak pernah berpikir akan menjadi masalah dalam teknis pelaksanaan program bantuan yang mereka laksanakan. “Resistensi mereka betul-betul membuat kami merasa tidak nyaman,” kata mereka. “How can they be like that?” Mereka bertanya dengan gurat heran bercampur kecewa terlihat jelas di wajah mereka.
Lalu ada cerita tentang pembagian beras di sebuah kamp pengungsian pasca tsunami, dua truk beras memasuki lokasi yang didampingi oleh 3 orang relawan kemanusiaan, karena jumlah beras yang cukup banyak, relawan berinisiatif untuk memanggil penghuni barak untuk ikut membantu menurunkan beras. Namun mereka dikejutkan dengan jawaban seragam dari beberapa penghuni barak tersebut yang dengan santai berkata, “biarkan saja dulu beras-beras itu dalam truk”. “Nyan kon atra kana, han dipuwoe lee”. “Jinoe tamita nyang hana”.
Kemudian juga ada seruan untuk mengganti nama kompleks perumahan bantuan yang dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai lokal. Ada kontradiksi yang kita lihat dalam kasus ini yaitu betapa simbol-simbol atau teks-teks yang dianggap tidak sejalan dengan idealisme nilai-nilai lokal yang ditabalkan oleh lembaga-lembaga bantuan asing yang sebenarnya lebih dimaksudkan sebagai jejak atas partisipasi mereka dalam membangun Aceh pascabencana, telah menjadi persoalan yang sensitif bagi sebagian rakyat Aceh.
Namun, di sisi lain kita tidak melihat adanya penolakan apapun ketika proyek bantuan itu dilaksanakan meski mereka tahu bahwa lembaga kemanusian pemberi bantuan tersebut memiliki latar nilai dan kultural yang berbeda dan secara ikonik mengusung perbedaan tersebut dalam proyek-proyek kemanusian mereka. Apa yang dapat kita simpulkan dari seruan ini adalah sikap resisten terhadap simbol dan logo lembaga-lembaga bantuan asing, namun tidak dengan bantuan yang mereka berikan. Dan ini menjadi unik dalam hal bagaimana kedua hak ini, yaitu hak menerima dan hak menolak bisa “hadir dalam satu paket” dan melekat pada satu obyek yang sama.
Merasa berhak
Kasus-kasus di atas sesungguhnya adalah sebentuk proklamasi bahwa ketika saya merasa berhak atas perhatian dan bantuan anda, maka perkara siapa anda dengan segala representasi yang menandakan dan mewakili eksistensi anda tidak lagi menjadi sesuatu yang penting betapapun semua kemurahan dan kemudahan yang saya peroleh dan nikmati berasal dari uluran tangan anda. Satu-satunya yang penting dan relevan adalah apa yang saya pikirkan dan rasakan. Jadi dalam hal ini standar nilai sama sekali tidak memberi ruang bagi “fakta obyektif”, karena memang, seperti dalam konteks ureung Aceh yang kita bahas ini, semata-mata bersandar pada “norma subjektif” asoe lhok.
Inilah inti dari entitlement mentality yang disebutkan oleh sang kolega. Ia adalah fenomena organik yang lahir dari kombinasi dari rentetan kondisi historis yang tidak linear, tumpang-tindih dan saling bersilangan, yang hadir secara simultan dan menemukan momentumnya pada persinambungan situasi krisis hingga kemudian menjadi bahan baku yang membentuk prilaku orang Aceh yang unik, lain dari yang lain; terlepas apakah kita ingin menilainya secara negatif maupun positif. That’s it.
* Bulman Satar, Antropolog. Email: abul_03@yahoo.com
SUMBER : http://aceh.tribunnews.com/2013/04/18/aceh-entitlement-mentality
EmoticonEmoticon