Apa sebetulnya manfaat Twitter bagi kita? Sekadar sebuah layanan media sosial atau lebih dari itu? Pertanyaan semacam ini menggoda saya pada saat jumlah pengguna microblogging itu semakin banyak. Di Indonesia saja diperkirakan ada sekitar 6 juta orang, terbanyak ketiga di dunia.
Setelah lebih dari dua tahun aktif di media sosial itu dan mengamati aktivitas penggunanya setiap hari, saya melihat Twitter memiliki banyak fungsi atau peran. Ada yang membuka ruang kuliah (orang menyebutnya “kultwit”), meminta dukungan untuk sebuah gerakan sosial, bersedekah, mencari donor darah, berbagi informasi lalu lintas, dan sebagainya.
Bagi sebagian orang lainnya, Twitter adalah tempat sampah yang sempurna untuk menampung semua keluhan. Di sanalah orang mengumpat arus lalu lintas jalanan yang macet, tetangganya yang berisik, pacarnya yang berselingkuh, atau gurunya yang menjengkelkan.
Sebagian lagi menganggap Twitter itu wilayah privat yang harus dikunci rapat-rapat. Ada pula yang menilai Twitter adalah salah satu sumber informasi tercepat. Para jurnalis bahkan menjadikan Twitter sebagai ladang berita mereka.
Ada begitu banyak pengguna Twitter. Ada begitu rupa pendapat tentang media sosial itu. Rambut boleh sama hitam, tapi penilaian tentang Twitter bisa saja berlainan. Buat jurnalis, Twitter bisa menjadi alat mengasah keterampilan menulis. Twitter melatih para wartawan menulis secara ekonomis.
Seorang teman, kebetulan jurnalis, bercerita, saat masih belajar menulis dulu, dia memiliki kecenderungan membuat karangan yang bertele-tele. Setelah menjadi wartawan pun, tak mudah buat dia untuk membuat berita. Kadang malah seperti menulis esai. Kalimat yang digunakan umumnya panjang, tidak ekonomis. Sampai kemudian Twitter mengubahnya.
Jejaring sosial berlogo burung biru itu benar-benar mengajarkan arti ujaran “setiap kata itu bernilai”. Dengan pembatasan 140 karakter, kawan saya itu harus menghitung secara cermat jumlah kata dan bagaimana saya akan menggunakannya.
“Setelah aktif di Twitter, saya jadi lebih sadar kata saat menulis. Saya tak bisa seenaknya mengumbar kalimat di lini masa kalau tak mau gagasan terpangkas,” katanya.
Pada mulanya cukup sulit menyampaikan gagasan yang ringkas dan bernas. Toh, lama-lama dia pun jadi terbiasa. Sekarang kawan saya itu merasa tulisannya mulai membaik, meski belum sempurna. Kalimat-kalimat yang dibuatnya semakin ringkas dan cerkas. Kalaupun sesekali masih terasa berkepanjangan, ia selalu merevisinya. “Terutama saat saya kurang yakin terhadap argumen atau pendapat saya sendiri,” kata dia.
Belakangan kebiasaan teman saya itu juga mulai berubah. Dulu, begitu kelar menulis, dia langsung mengirimkannya ke bagian pracetak atau langsung mempublikasikannya di blog. Sekarang, setiap kali selesai menulis, dan masih ada waktu, dia menyempatkan diri membaca ulang setiap tulisan sebelum diterbitkan. Dia membaca setiap baris kalimat seolah hendak berkicau di lini masa.
“Saya periksa apakah kalimatnya tak terlalu panjang? Apakah tak lebih dari 140 karakter? Kalau saya ubah kata-katanya, apakah akan mengubah esensinya? Begitu seterusnya,” kata teman saya.
Satu hal lagi, Twitter membuat kawan saya semakin percaya diri, baik sebagai jurnalis maupun produser konten.
Sebelum punya Twitter, dia kesulitan mengukur kesuksesan sebuah karya. Dia hanya tahu, begitu selesai menulis dan menerbitkannya, akan ada satu-dua orang pengikutnya yang memberi komentar. “Tapi siapa sebenarnya mereka dan bagaimana reaksi mereka setelah membaca karya saya? Saya tak tahu, Mas.”
Sebelum punya Twitter, dia kesulitan mengukur kesuksesan sebuah karya. Dia hanya tahu, begitu selesai menulis dan menerbitkannya, akan ada satu-dua orang pengikutnya yang memberi komentar. “Tapi siapa sebenarnya mereka dan bagaimana reaksi mereka setelah membaca karya saya? Saya tak tahu, Mas.”
Sekarang setiap kali berkicau di Twitter, para pengikutnya langsung merespons. Beberapa di antara mereka bahkan melakukan re-tweet.
Setiap kali ada yang melakukan re-tweet itulah kawan saya merasa seperti memperoleh pengakuan. Mungkin legitimasi. Twitter memperlihatkan bahwa tulisannya dianggap penting dan berguna setidaknya bagi orang-orang yang melakukan re-tweet.
Bagaimana dengan Anda? Apa manfaat Twitter buat Anda?
EmoticonEmoticon