Oleh Wijayanto Samirin
-
Satu tahun mendekati pemilu, fenomena politisi lompat parpol kembali terjadi. Dengan jumlah parpol peserta pemilu yang hanya sepuluh, hal tersebut akan terasa lebih kental. Terutama akibat begitu banyaknya politisi dari parpol yang gagal ikut pemilu berusaha mencari "rumah baru" untuk bertarung di 2014.
Fenomena ini terjadi di hampir semua demokrasi, tetapi apa yang terjadi di Indonesia perlu mendapat catatan tersendiri akibat pola perpindahan yang dinamis dan cenderung massal.
Kejadian yang sama umum terjadi di perusahaan. Eksekutif dengan mudah berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain karena pragmatisme perusahaan yang lebih mengutamakan kontribusi para eksekutif bagi perusahaan. Perusahaan tak mengenal sekat ideologi. Kinerja mereka terdefinisi dengan jelas, yaitu berapa profit perusahaan atau nilai tambah ekonomi yang diberikan kepada pemegang saham yang terefleksi dalam harga saham.
Jika hal yang sama terjadi di dunia politik, kita patut khawatir. Ketiadaan perbedaan ideologi yang jelas adalah masalah serius mengingat idealnya partai didirikan untuk memperjuangkan suatu pemikiran tertentu, bukan karena pragmatisme dan ego semata.
Politisi lompat partai ini mengakibatkan rekam jejak kinerja para politisi menjadi kabur. Dampaknya, semakin sulit bagi rakyat untuk membedakan mana politisi yang ingin memajukan demokrasi dan mereka yang hanya ingin menumpang hidup dalam sistem demokrasi. Padahal, kualitas politisi merupakan pilar penting kualitas demokrasi.
Kalaupun ada kriteria pemilihan politisi, parameter yang dipergunakan cenderung bias ke kepentingan partai, yaitu berapa banyak modal yang mereka bawa. Sudah barang tentu, parameter tersebut jauh dari menggambarkan aspirasi pemangku kepentingan utama parpol dalam sebuah demokrasi, yaitu masyarakat pemilih. Konsekuensinya, tak ada jaminan bagi konstituen kepentingan mereka akan terwujud atau minimal diperjuangkan.
Sepertinya proses korporatisasi partai politik sedang terjadi. Parpol berperilaku sebagaimana perusahaan. Menariknya, ada sebagian parpol yang mengarah pada format perusahaan keluarga di mana kekuasaan tertinggi ada di tangan pendiri atau generasi pewarisnya. Meski cenderung lebih mudah menjaga visi pendiri, perusahaan keluarga umumnya mengalami kendala defisit kepemimpinan dan ide segar.
Problem utama mereka untuk tumbuh adalah keterbatasan suplai eksekutif puncak yang berkualitas yang berasal dari kalangan keluarga. Pertumbuhan perusahaan pun akan terganggu. Dengan kata lain, parpol yang cenderung mengambil format ini dalam jangka panjang akan jadi kurang relevan dan sulit berkembang.
Parpol dan rental mobil
Jika benar proses korporatisasi parpol telah dan sedang terjadi, tentunya akan sangat menarik untuk mencermati bisnis model apa yang selama ini jadi acuan sebagian parpol. Silih Agung Wisesa, seorang pakar pemasaran dan komunikasi politik, pernah melakukan studi. Hasilnya cukup mengejutkan. Calon gubernur dan calon bupati harus mengeluarkan dana hingga Rp 200 miliar dan Rp 6 miliar untuk bisa menjadi kandidat yang layak diperhitungkan. Dana tersebut untuk "membeli" dukungan partai dan mendanai berbagai kebutuhan kampanye.
Mengaca pada berbagai pemilihan kepala daerah, tampaknya model bisnis sebagian parpol di Indonesia mendekati model bisnis rental mobil. Siapa pun bisa menyewa mobil untuk dikendarai menuju tujuan tertentu asalkan membayar uang sewa yang besarnya tergantung dari jenis mobil. Kalau satu mobil dirasa tak mencukupi, penyewa bisa melakukan koalisi dengan menyewa beberapa mobil sekaligus.
Setelah mendapatkan mobil, penyewa harus mencari sopir dan kernet, mengisi bensin, lalu membeli GPS atau menyewa pemandu (tour guide). Dalam konteks pemilihan kepala daerah, calon gubernur atau calon bupati harus membentuk tim sukses termasuk membiayai keperluan logistik mereka serta menyewa konsultan politik untuk melakukan survei dan menyusun strategi pemenangan, karena parpol umumnya tak menyediakannya.
Tak hanya itu, ketika semuanya sudah siap, sendirian si penyewa harus mencari penumpang karena mayoritas parpol tak punya konstituen yang loyal. Dengan kata lain, calon gubernur atau calon bupati harus berjuang dari pintu ke pintu, mengumpulkan masa, dan memasang iklan di berbagai media untuk meraih dukungan pemilih. Suatu proses yang melelahkan dan mahal.
Keberanian menghentikan
Bisnis model inilah yang menyebabkan demokrasi di Indonesia sangat mahal dan elitis. Hanya mereka yang punya sumber dana saja yang berkesempatan tampil dalam pentas politik.
Dikombinasikan dengan rendahnya pemahaman rakyat terhadap para kandidat membuat demokrasi kita sangat berpotensi untuk memilih sosok pemimpin yang salah. Perlu keberanian parpol untuk menghentikan proses korporatisasi ini dengan lebih menonjolkan ideologi dan memodifikasi bisnis modelnya. Mereka harus berani mencalonkan tokoh yang layak dipilih karena faktor kompetensi dan dedikasi, bukan faktor amunisi.
Partai bersangkutan barangkali tak menerima upeti dari para kandidat, tetapi ia akan mendapatkan manfaat berupa peningkatan popularitas dan elektabilitas. Pada gilirannya, hal ini akan menurunkan biaya yang dibutuhkan partai dalam memenangi kompetisi demokrasi. Sejatinya, menurunkan biaya sama dengan menaikkan pendapatan.
Hanya dengan keberanian partai mengambil sikap, kita dapat mengakhiri demokrasi rental mobil di Indonesia. Keberanian ini tak hanya akan meninggikan martabat parpol, tetapi juga akan melahirkan demokrasi yang terjangkau dan mampu menghasilkan politisi atau pemimpin terbaik.
Tampaknya proses ini sudah dimulai oleh sebagian partai, baik di pemilihan kepala daerah DKI Jakarta maupun Jawa Barat. Tren ini harus terus digulirkan ke seluruh Indonesia.
Wijayanto Samirin Deputi Rektor Universitas Paramadina; Co-founder and Managing Director Paramadina Public Policy Institute
(Kompas cetak, 4 Feb 2013)
EmoticonEmoticon