Oleh Anton Widyanto
-
DALAM konteks perkembangan dunia perguruan tinggi di Aceh (khususnya IAIN Ar-Raniry - ed.), tiga tulisan yang diturunkan Serambi edisi Kamis (14/3) lalu, saya nilai sama-sama penting. Ketiga tulisan tersebut masing-masing “Ar-Raniry, tanpa Warna dan Dinamika” ditulis oleh Muhibuddin Hanafiah; “Demokrasi Semu ala IAIN Ar-Raniry” oleh Safaruddin; dan “IAIN Ar-Raniry Krisis SDM?” oleh Miswar, sama-sama menyoroti suksesi Rektor yang terjadi di IAIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Meski redaksi bahasa dan analisis mereka berbeda, tapi intinya sama-sama menegaskan bahwa ada sesuatu yang salah dalam sistem demokrasi yang dibangun oleh lembaga yang dijuluki Jantong Hate rakyat Aceh itu. Namun, dua hari kemudian, opini ketiga penulis tersebut “didiskusikan” (untuk tidak menyebut “dibantah”) dengan satu tulisan berjudul “Ar-Raniry Penuh Warna dan Dinamika” yang ditulis oleh Saifullah, seorang Mahasiswa Pascasarjana yang juga Staf Rektor IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh (Serambi, 16/3/2013).
Dari argumen-argumen yang dipaparkan penulis yang disebut terakhir ini, terlihat jelas bahwa Saifullah tidak sependapat bila dikatakan bahwa demokrasi di IAIN Ar-Raniry tidak berjalan dengan baik. Menurutnya, demokrasi yang berjalan di “kampus biru” tersebut sudah sesuai track. Dibuktikan dengan tidak adanya kekisruhan, huru-hara dan sebagainya. Semua berjalan dengan lancar, aman dan damai mulai dari proses penjaringan bakal calon sampai dengan pemilihan yang pada akhirnya dimenangkan oleh Prof Dr Farid Wajdi Ibrahim MA.
Lebih lanjut lagi, Saifullah juga mengatakan dengan tegas (mungkin lebih tepatnya “mencurigai”) adanya pihak-pihak tertentu di luar IAIN Ar-Raniry yang sengaja mengkritisi situasi “kampus biru” dengan tendensi-tendensi tertentu.
Pilsung atau tidak?
Persoalan model pemilihan langsung dan pemilihan melalui lembaga senat Fakultas maupun institut (untuk memilih Dekan/Rektor) pada dasarnya tidak hanya menjadi benih perdebatan di kalangan dosen, tapi juga mahasiswa IAIN Ar-Raniry. Bahkan, di kalangan mahasiswa IAIN Ar-Raniry --juga Universitas Syiah Kuala (Unsyiah)-- persoalan ini telah menyulut pada aksi-aksi tertentu, baik yang dilakukan secara simpatik maupun tidak.
Di IAIN Ar-Raniry, sejauh yang saya ketahui, semangat untuk mengadakan pemilihan langsung dalam konteks kepemerintahan mahasiswa dimulai pascajatuhnya rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto pada 1998. Kemudian pada 1999, euforia reformasi dan demokratisasi di kampus semakin menemukan momentumnya, hingga pada akhirnya selain terjadi perubahan struktur dan nama (Senat Mahasiswa Fakultas menjadi Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas dan Senat Mahasiswa Institut menjadi Badan Eksekutif Mahasiswa), proses pemilihannya juga berubah dari model pemilihan lewat perwakilan mahasiswa menjadi pemilihan langsung oleh mahasiswa.
Perubahan tersebut memang di satu sisi bersifat positif, karena secara tidak langsung mahasiswa belajar untuk lebih terbuka dalam proses demokratisasi kampus. Di sisi lain, khususnya ketika dunia keorganisasian kampus mulai dimasuki gerakan-gerakan “politik praktis” yang ada di luar kampus, pemilihan langsung yang berjalan pada etape berikutnya telah menimbulkan gesekan-gesekan bahkan friksi di kalangan mahasiswa IAIN Ar-Raniry.
Terlepas dari konsekuensi-konsekuensi yang muncul akibat pemilihan langsung di dalam kepemerintahan mahasiswa di atas, dalam konteks pemilihan rektor, model pemilihan langsung dalam sejarah IAIN Ar-Raniry dilakukan pada 2005 yang pada akhirnya membawa Prof Drs Yusny Saby MA PhD, sebagai Rektor terpilih. Sebuah langkah berani yang tercatat paling demokratis dalam sejarah perguruan tinggi di Indonesia (mengingat saat itu belum ada perguruan tinggi lain yang melaksanakan pemilihan rektor secara langsung).
Langkah berani ini kemudian dilanjutkan dengan upaya merevisi statuta IAIN Ar-Raniry agar lebih memenuhi semangat demokratisasi kampus. Tapi sayangnya, upaya yang dilakukan tidak memenuhi harapan. Nasibnya pun tidak jelas selama bertahun-tahun berjalan.
Masalahnya, pascadilaksanakannya pemilihan langsung tersebut, dosen-dosen IAIN Ar-Raniry kemudian terpecah-pecah menjadi beberapa kelompok, ada yang masih dengan setia berafiliasi kepada calon-calon yang didukungnya, ada pula yang kemudian memutuskan loncat kepada calon yang bukan pilihannya.
Sayangnya, friksi-friksi tersebut kemudian tampak menjadi semakin tajam, khususnya ketika kubu yang menang tidak siap untuk menang, sementara kubu yang kalah, juga tidak siap untuk kalah. Ketidaksiapan masing-masing kubu ini kemudian merembet pada aspek-aspek kebijakan, baik pada tingkat institut maupun fakultas sehingga menimbulkan ekses-ekses yang tidak positif.
Berdasarkan hal ini, kemudian pemilihan rektor secara langsung diubah kembali menjadi pemilihan melalui wakil-wakil dosen yang ada di lembaga Senat Institut pada 2009. Waktu itu terpilihlah Prof Dr Farid Wajdi Ibrahim MA, sebagai Rektor IAIN Ar-Raniry untuk periode pertama. Demikian pula proses suksesi yang baru saja berlangsung pada 14 Maret 2013 lalu, masih dengan konsep pemilihan yang sama (melalui lembaga Senat Institut), Prof Farid terpilih kembali sebagai Rektor IAIN Ar-Raniry untuk periode kedua (2013-2017).
Semangat perubahan
Sejauh yang saya amati, konsep pemilihan rektor secara langsung maupun tidak memang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Friksi-friksi dan gesekan-gesekan yang terjadi pasca pemilihan rektor IAIN Ar-Raniry secara langsung pada 2005 lebih disebabkan adanya ketidaksiapan para calon untuk menerima kemenangan dan kekalahan, bukan pada proses yang dijalankan. Sehingga menyatakan bahwa konsep pemilihan rektor secara langsung adalah tidak bermanfaat, juga tidak bisa diterima.
Sementara itu, konsep pemilihan rektor secara tidak langsung (melalui lembaga senat), di satu sisi memang efektif untuk meredam gejolak baik pada proses penjaringan calon maupun pascapemilihan. Akan tetapi bila konsep pemilihan seperti ini dipertahankan, maka bukan tidak mungkin upaya-upaya menciptakan kampus yang demokratis dan pembelajaran demokrasi yang lebih luas kepada semua elemen di kampus, menjadi berjalan lambat (untuk tidak mengatakan berjalan di tempat). Sebab konsep pemilihan seperti ini, cenderung lebih membuka peluang terjadinya “deal-deal tertentu” atau “kompromi-kompromi” yang bisa saja dimanfaatkan oleh orang-orang yang haus kekuasaan (padahal minim profesionalitas dan kompetensi) untuk melanggengkan kekuasaannya.
Beranjak dari pemikiran di atas, maka upaya melakukan revisi terhadap statuta IAIN Ar-Raniry seperti yang pernah didiskusikan secara hangat di Forum Dosen IAIN Ar-Raniry (ForDia di Facebook) yang kemudian ditindaklanjuti oleh YARA dalam sebuah forum diskusi, perlu diteruskan kembali dengan aksi yang lebih konkret.
Semua pandangan, gagasan, kritikan dan argumentasi (terlepas dari yang disuarakan oleh pihak internal maupun eksternal IAIN Ar-Raniry) tentu tidak perlu dengan serta merta dicurigai sebagai upaya merongrong kredibilitas lembaga ini.
Jawaban terbaik terhadap kesemua itu adalah dengan bekerja, berbuat dan berkarya demi kemajuan IAIN Ar-Raniry di tengah kompetisi pendidikan global kontemporer, bukan dengan pembelaan diri yang cenderung justru mengkerdilkan marwah lembaga ini.
Last but not least, selamat kepada Prof Dr Farid Wajdi Ibrahim MA. Semoga semangat dan idealisme untuk melakukan perubahan yang lebih baik di kampus IAIN Ar-Raniry semakin menguat di periode kedua ini dan bukan semakin melemah atau malah musnah. Barakallah fi umurikum. Amin.
* Dr. Anton Widyanto, M.Ag, Ed.S, Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: awidya09@gmail.com
SUMBER : HARIAN SERAMBI INDONESIA, 20 MARET 2013
EmoticonEmoticon