21 Apr 2013

HGU & Petani Penggarap Mau Diapai ?

Oleh Prof Dr Muhammad Yamin, SH, MS, CN
-
Sebaiknya pengadilan harus menyadari bahwa persoalannya adalah persoalan agraria, bukan persoalan perdata semata.
Judul ini selalu berkonotasi kontroversi antara rakyat melawan perkebunan besar atau petani penggarap menghadapi pengusaha perkebunan besar. Dan memang sejak dulu hingga sekarang jika disebut perusahaan perkebunan selalu di dalamnya ini terdapat dua kubu,yang di satu sisi kuat (pengusaha) dan satunya buruh atau pekerja (posisi)lemah yang tetap saling membutuhkan namun selalu tidak sejalan dan bahkan saling berlawanan sekalipun tak mungkin terpisahkan dalam mengembangkan usaha perkebunan tersebut.

Sejarah memang telah mencatat kehadiran perusahaan besar perkebunan yang katanya meminjam tanah rakyat dengan pemberian raja atas dasar kontrak apakah namanya konsesi (acte van consessi) dengan kontrak pemberian pengusahaan tanah kepada perkebunan, atau dengan erfpacht atau bentuk lain--sejak mulai pemberiannya selalu menghadapi persoalan dengan petani.

Awalnya perkebunan besar kekurangan buruh yang bekerja di kebun tersebut sehingga terjadi pengambilan rakyat tani untuk dipekerjakan dengan sesuka hatinya perusahaan perkebunan, akhirnya bermasalah.

Setelah perkebunan menjadi besar mulai bermasalah dengan petaninya atas kontrak kerja yang tidak sesuai dasar-dasar hukum perburuhan. Masa Hindia Belanda dikenal dengan kuli kontrak dan penerapan poenali sanctie. Setelah para buruh mulai tua dan terjadi peralihan sebagian keturunannya dipekerjakan oleh perkebunan timbul lagi permasalahan pengupahan pensiunan dan tempat tinggal buruh di areal perkebunan. Terakhir mereka yang tidak bekerja lagi di perkebunan diberikan kesempatan mencari kehidupan di areal perkebunan yang memang tidak dikerjakan perkebunan. Tanah tersebut biasanya telah menjadi perkampungan baru yang terbentuk dari masyarakat perkebunan.

Tetapi masyarakat pendatang juga ikut menggarap di areal sekitar perkebunan tadi. Maka benarlah jika ditelusuri kehadiran perkebunan besar ini selalu bermasalah baik atas dirinya sendiri maupun atas diri orang lain yang mungkin berada di sekitar areal kebun atau rakyat pemilik tanah yang diserahkan oleh raja kepada pengusaha--seakan tanah itu milik raja.

Padahal tidak semua negara di dunia ini, raja adalah wakil Tuhan yang berperan sebagai pemilik tanah. Dengan kata lain jika Belanda misalnya menerapkan bahwa raja adalah wakil Tuhan di bumi, maka mereka menganggap raja adalah pemilik tanah di bumi ini. Pandangan ini di bawa di negara jajahan sehingga pengusaha besar perkebunan Belanda yang menggunakan tanah di negara ini hanya membuat kontrak penggunaan tanah dengan raja saja.

Belanda menjanjikan dan mengiming-iming raja jika bekerjasama, dengan bayaran. Raja-raja lokal yang tergiur bekerjasama dengan Belanda mengekploitasi tanah untuk kepentingan leverantien dan contingenten na Belanda. Padahal di negara ini, teori raja tersebut sama sekali tidak berlaku.

Sebab raja di Indonesia bukan wakil Tuhan, sehingga bukan pemilik tanah. Keberadaan raja di negeri ini diangkat rakyat untuk mengurusi kepentingan seluruh rakyat sehingga mudah menjalankan kehidupan kemasyarakatannya. Raja bukan pemilik tanah tetapi rakyatlah pemiliknya.

Dengan demikian setiap kontrak penguasaan tanah yang dibuat raja bukan kontrak kepemilikan tetapi penggunaan tanah yang disebut konsesi Jika pun belakangan adaerfpact, ini tidak lain karena yang meminjam tanah itu adalah pengusaha swasta, bukan dari dan atasa nama pemerintah Hinda Belanda.

Dalam perjalanannya ternyata di negeri ini jadi berkembang ke arah kontak kepemilikan, diperparah aturan tentang agrasche wet, yang dikenal di dalamnya pengaturan doein vwerklaring (pernyataan domein). Ini dimaknakan, setiap orang atau penduduk negeri ini ada menyatakan tanah adalah domeinya harus dapat dia memberikan pembuktian domein tersebut.

Dan jika tidak dapat dibuktikannya maka menjadilah domein Hindia Belanda. Sehingga sampai saat ini terbawa ke dalam pikiran pengusaha yang mewariskan erfach dan konsesi tadi. Sudah habispun masa HGU di areal tanah perkebunan, tapi tetap dianggap milik perusahaan perkebunan tersebut. Ini jelas salah dan sangat keliru di mata hukum, sebab seharusnya bila habis masa hak penggunaan tanah jika perusahaan masih ingin berusaha harus lebih dahulu memperpanjang kembali HGUnya atau hak pengusahaannya menjadi baru.
Setelah keluar hak atas tanahmya bolehlah tanah tersebut diusahai dengan HGU ini. Jika tidak diperpanjang hak atas tanahnya maka si perusahaan inilah yang menjadi pendatang haram di areal tanah tersebut, apalagi dia tidak memanfaatkan hak keperdataannya. Perusahaan telah berusaha tanpa hak lagi di atas tanah.

Jika demikian masih dapatkah perusahaan mengandalkan hak keperdataannya seperti hak prioritas. Tentu jika kita mengacu ke asas hukum, jelas masih dimungkinkan, sebab pengusahalah yang pertama datang mengusahai tanah tersebut dengan asas “terra manen pacua ocupantie conceditur jus”.

Karenanya juga sebaliknya rakyat yang datang kemudian sekalipun masa hak perusahaan perkebunan tidak dapat diperpanjang rakyat juga tidak serta merta dapat mengklaim tanah itu milik rakyat yang seenaknya dapat diusahai. Artinya jika saja rakyat ingin mengusahai tanah ini, mereka juga harus memerhatikan asas tadi dan sesuai prosedurnya sehingga dilindungi.
Mereka dapat diproses permohonan haknya nanti, seperti dijadikan objek landreform. Jika rakyat juga memaksakan diri justru di sinilah yang menyebabkan pertentangan, dan konflik akan muncul karena terjadi okupasi liar. Bahkan akan menjadi berkepanjangan sebab terdapat klaim mengklaim hak yang bukan haknya.

Maka sebaiknya negara daerah cepat mengantisipasi karena diberi kewenangan lewat Keppres 34 tahun 2003 khususnya pemerintah kabupaten/kota. Jadi pemerintah tidak perlu ragu, sebab dalam konteks pengaturan keagrariaan Indonesia, negaralah yang menguasai dan berhak pula mengatur peruntukan dan pemelihaaan serta penggunaannya.

Jika tidak ditemukan pengaturannya secara eksplisit dalam konteks hukum, tentu harus diberlakukan asas-asas pemilikan dalam menetapkan siapa sebenarnya yang nanti dapat dijadikan pemilik. Bahkan sebagaimana disebutkan sebelumnya, hak keperdataan memang masih ada pada perusahaan perkebunan.

Tetapi hak keperdataan ini juga ada masanya sehingga tanah tidak menjadi tanah terlantar. Maka benar bahwa di atas tanah itu haknya tidak pernah hilang, namun yang sering menjadi salah adalah peruntukannya bisa tumpang tindih dan tidak sesuai peruntukan semulanya.

Di sinilah peran pemerintah daerah untuk segera mengatur peruntukan tanah tersebut dan kemudian dapat diberikan haknya kembali sejalan dengan peruntukan rencana tata ruang wilayah. Bila pemerintah terlambat dan apalagi terjadi pembiaran, tentu yang lapar tanah dengan segala macam cara akan mengokupansi. Dan jika berlama-lama setelah ada yang masuk areal maka menjadi pekerjaan berat untuk mengusir mereka dan akan membebani.

Sikap Pengadilan
Jika keadaan ini telah sampai ke pengadilan, dan memang sering menentukan siapa yang paling berhak atas tanah ini harus ke pengadilan. Lembaga pengadilan telah benar untuk menentukan siapa yang berhak atas tanah ini. Namun sering pengadilan menerapkan peraturan kurang tepat, akhirnya sering tidak memperoleh rasa keadilan bagi mereka yang mempertengkarkan hak di tanah tersebut.

Sebaiknya pengadilan harus menyadari bahwa persoalannya adalah persoalan agraria, bukan persoalan perdata semata. Sebab jika penyelesaian didasarkan pada keperdataannya saja sudah pasti tidak benar sekalipun ini benda (tanah) atau milik. Namun tanah yang dimaksud adalah tanah yang sudah pernah diatur dalam hukum agraria, maka seharusnya dasar putusan haruslah hukum agraria. Hakim harus mampu memilah persoalan adaministratipnya dengan persoalan keperdataaannya.

Perlu diingat persoalan administratif yang berakhir tidak otomatis menghilangkan hak keperdataannya. Kepemilikannnya yang telah lama ada ini harus dihormati sehingga dapat mendudukkan kembali pada siapa yang paling berhak. Maka jika maksud ini dimengerti sang hakim maka benarlah dia memberikan pada siapa yang berhak atas kepemilikannya kembali. Namun jika hakim kurang menerapkan aturannya maka jelas akan selalu tidak adil bagi pencari keadilan.

Bukankah dalam memberikan keputusan yang tepat sebaiknya jika aturan konkrit yang diterapkan tidak ada tentulah keputusan harus mendasarkan pada asas kepemilikan, seperti asas “terra manen pacua ocupantie conceditur jus” atau asas “nemo plus juris” . Tentulah jika ini dibuat pasti mendudukkan kembali siapa yang paling tepat sebagai pemilik yang berhak atas tanah yang HGU-nya telah habis. Semoga! ***** 

( Prof Dr Muhammad Yamin, SH, MS, CN : Penulis adalah Guru Besar Hukum Agraria USU.)

Sumber: Harian Waspada, 16 April 2013

Lorem ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry.


EmoticonEmoticon