Oleh : Miswar Sulaiman
-
Janganlah rakyat Aceh dimana saja mereka berada terprovokasi untuk semakin terbelah dalam pro dan kontra soal bendera, wali nanggrou dan lambang, dan himne daerah ini. Semangat keacehan selalu ditandai dengan nilai-nilai keIslaman. Meskipun orang Islam di Aceh belum sepenuhnya menjalankan perintah agamanya. Namun semangat tersebut, akan berkobar-kobar jika dihadapkan pada sebuah kezaliman.
-
Janganlah rakyat Aceh dimana saja mereka berada terprovokasi untuk semakin terbelah dalam pro dan kontra soal bendera, wali nanggrou dan lambang, dan himne daerah ini. Semangat keacehan selalu ditandai dengan nilai-nilai keIslaman. Meskipun orang Islam di Aceh belum sepenuhnya menjalankan perintah agamanya. Namun semangat tersebut, akan berkobar-kobar jika dihadapkan pada sebuah kezaliman.
Sehingga muncullah Perang Aceh 1873-1945, Perang DI/TII 1953-1960, dan Perang Aceh Merdeka 1976-2005. Tersebutlah para pemimpin perang itu, sebagai “Pahlawan Aceh”, dan ada yang telah diakui seagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Perang Aceh dalam konteks kekinian masih bernuansa keIslaman, sebagai tertera dalam warna dan simbol bendera Aceh, serta lambang daerah, yang sudah disahkan oleh DPRA menjadi Qanun nomor 3/2013.
Malahan himne Aceh juga bersuasana keIslaman. Nuansa ini memunculkan nilai-nilai persatuan, persaudaraan, kelembutan dan keramah tamahan. Minus pemaksaan sebuah kemerdekaan Aceh, yang dengan MoU Helsinki 15 Agustus 2005, telah dikuburkan.
Keinginan pemisahan diri yang diperankan oleh Alm.Tgk. Muhammad Daud Beureueh dan muridnya Tgk. Hasan Di Tiro dan para pemimpin DI/TII serta GAM masa lalu, adalah akibat penindasan berkepanjangan yang dialami masyarakat Aceh Terutama dalam sektor politik dan ekonomi Dan itu telah berakhir, ketika hak-hak berpolitik dan ekonomi telah mulai dengan sadar dan wajar diberikan oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan mantan Wapres Jusuf Kalla, sampai hari ini.
Walau bagaimana jasa GAM cukup besar untuk memerdekakan hak-hak berpolitik orang Aceh. Karena partai-partai nasional ketika itu, terutama PPP dan PDI sudah berhasil “dibonsai” oleh rezim alm. Presiden Soeharto. Dan para pemimpin Parpol tersebut, telah menjadi boneka pemerintah RI masa itu.
Jika ada tokoh/pemimpin Parpol itu yang melawan, akan berimbas pada cap ekstrim kanan, komando jihad, antek Aceh Merdeka, atau pengikut GAM. Dengan resiko ditahan, tanpa peradilan Atau keluar dari rumah tahanan, dengan tubuh dan mental cacat Bahkan ada yang syahid.
Meskipun ada yang ditahan, tapi sebelumnya harus menahan penderitaan dalam tahanan “Laksusda”. Disiksa, distrum bukan hanya di badan tapi di alat-alat vital, diancam ditembak, tewas ketika disiksa, atau digonikan dan dibuang tanpa jejak. Tak ada kecuali lelaki atau wanita.
Saksi-saksi hidup masih ada, dan sekarang mereka telah berada dalam lingkaran penting pemerintahan provinsi dan kabupaten, serta di DPRA/DPRK. Demikian pula bukti-bukti tertulis masih tersimpan dalam arsip yang menggambarkan kekejaman dan kesadisan aparat masa lalu.
Karena spirit keIslaman ini pulalah para pemimpin Aceh yang sudah berada dalam lembaga-lembaga politik eksekutif dan legislatif di Aceh, tidak menuntut dan melakukan “tueng bila” (balas dendam). Bahkan mereka menjabat erat tangan para petinggi RI untuk bekerjasama, dalam bingkai RI. Dan bahkan ada yang ikut dalam kelompok politik RI, yang dulunya di situ ada tokoh yang ikut bersama rezim Soeharto, untuk melindas hak-hak hidup orang Aceh.
Ada adagium menyatakan, tak ada teman sejati dan tak ada shahabat yang setia dalam berpolitik. Dulu teman sekarang jadi lawan, dulu seteru sekarang bersahabat. Dan jelas terlihat dalam dunia berpolitik di Aceh dan Indonesia. Dan contoh-contoh tentang adagium tersebut, rakyat di Aceh yang melek politik, telah dapat memahaminya.
Jangan Terprovokasi
Dalam era kini, kesatuan dan kesetiakawanan rakyat Aceh dari pelbagai etnis, perlu kita rajut bersama. Jangan sampai diprovokasi pihak-pihak yang bertujuan pangkat dan jabatan. Sebab tak pernah terjadi pemimpin Aceh pesisir menindas dan menjajah rakyat di pedalaman, seperti Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Barat-Selatan, Aceh Tenggara, Singkil, Simeulue dan sebagainya.
Jika ada yang berpendapat semacam itu, tiada lain sebagai usaha memecahbelah rakyat Aceh, yang telah bersatu sejak melawan Belanda pada tahun 1873 dahulu. Karenanya pikiran-pikiran yang ingin mendirikan provinsi lain di Aceh, sebaiknya dimusiumkan.
Dan diganti dengan berjabat erat, untuk bersama membangun daerah ini. Sebagaimana Allahyarham Tgk. Muhammad Daud Beureueh membangunnya pada masa lalu. Bersama tokoh-tokoh, raja dan ‘ulama Tanah Gayo, seperti Tgk. Ilyas Leubee, tokoh-tokoh di kawasan Barat Selatan, Tenggara, Singkil, Gayo Lues dan lainnya.
Pemimpin Aceh masa kini, adalah sosok yang demokratis, dapat diajak berdiskusi. Meskipun ada beda pendapat, tapi terbuka peluang untuk membangun kebersamaan dan kesatuan, sehingga mewujudkan Aceh Baru yang sejahtera, adil dan bersatu.
Sebetulnya yang menelantarkan pembangunan di kawasan pedalaman seperti di Tanah Gayo, Aceh Barat, Aceh Selatan, Singkil, Simeulue, Aceh Tenggara, bukanlah generasi yang kini sedang memimpin Aceh. Tapi mereka yang bersanding bahu dengan rezim orba. Kita dapat menunjukkan sejumlah bukti sejarah. Orang-orangnya kini sedang berjuang membangun provinsi baru tersebut.
Pada masa mereka berkuasa, sangat kecil upayanya, membangun daerahnya, tapi lebih kuat membangun ekonomi pribadi. Sehingga kekayaan mereka cukup untuk 7 keturunan, sementara rakyat di kawasan pedalaman itu, sangat menderita dan miskin sengsara dalam segala sisi.
Tetap Dihargai
Kini, janganlah rakyat Aceh dimana saja mereka berada terprovokasi untuk semakin terbelah dalam pro dan kontra soal bendera, wali nanggrou dan lambang, dan himne daerah ini.
Mari kita dukung beramai-ramai, dan yakinlah bahwa bendera merah putih tetap dihargai di Aceh. Dia akan senantiasa berdampingan dengan bendera Aceh. Karena Aceh tidak berdiri sebagai sebuah republik seperti Timor Leste, tapi tetap di bawah NKRI.
Yang perlu kita perjuangkan bersama, adalah bagaimana mereduksi cap nasional untuk Aceh, sebagai daerah nomor dua yang pejabatnya korupsi, provinsi dengan nilai pendidikan yang rendah, kawasan yang dikenal sebagai kantong bisnis Narkoba, toke-toke besar sabu, juga tersohor kebanyakan rumah tahanan berisi napi termasuk di pulau Jawa, pedagang barang-barang haram tersebut banyak yang berasal dari Aceh.
Juga kita perlu mendorong daerah-daerah tingkat dua di Aceh untuk membangun irigasi yang baik untuk rakyatnya. Jalan-jalan desa beraspal beton seperti di Malaysia dan Thailand, tempat-tempat pembuangan sampah yang memadai, sehingga jika ada turis dalam dan luar negeri datang kemari, jangan menengok Aceh yang jorok.
Demikian pula kita bersama membangun masjid-masjid dan mushalla-meunasah-meunasah yang indah, nyaman dan dipenuhi dengan shalat jamaah. Serta dengan toilet yang bersih dan harum seperti di Singapura.
Juga dengan pengajian para ‘ulama, yang dapat kita ikuti dengan semangat Sunnah Nabi SAW, dan mengenyampingkan perbedaan aliran serta mazhab. Kalau terus kita terjerumus dalam pertikaian benda-benda dunia tersebut, kapan kita akan membangun aceh yang agamis, cerdas, sejahtera, demokratis serta bersatu ? Wallahu a’lam bissawab. *****
( Miswar Sulaiman : Penulis adalah Mantan Juru Runding GAM 2001. )
Sumber : Harian Waspada. 18 April 2013
EmoticonEmoticon