19 Apr 2013

Menyemai "Qana’ah"


Oleh Anton Widyanto
-
KITA sering disuguhi adegan-adegan pembongkaran kasus-kasus mafioso yang cukup menggelitik rasa keadilan masyarakat mulai dari terbongkarnya mafia pengadilan, mafia perbankan, mafia perpajakan, sampai mafia proyek. Ironisnya, mafia-mafia yang bermain tidak jarang melibatkan kalangan abdi negara yang telah mengucapkan sumpah jabatan untuk berbuat demi kemaslahatan masyarakat, bangsa dan negara. Bahkan ada lagi diantara mereka adalah justru berasal dari lembaga-lembaga yang disumpah untuk mengawal hukum dan keadilan di negeri ini mulai dari hakim, jaksa, maupun polisi. 

Meski pada dasarnya para mafioso yang telah melanggar sumpah jabatan tersebut bukan gambaran utuh institusi penegak hukum negeri ini, tapi yang jelas terbongkarnya kekuatan-kekuatan jahat sedemikian rupa di satu sisi cukup membuat rasa keadilan masyarakat terluka. Di sisi lain, diobok-oboknya kekuatan mafioso ini merupakan langkah positif menuju reformasi institusi penegak hukum di Indonesia. Sebab sebenarnya aroma mafioso sedemikian rupa sudah lama menyeruak, bahkan sejak zaman Orde Lama dan Orde Baru. Tapi seringkali kekuatan hukum kita menjadi impoten untuk menyentuhnya. 

Satu aspek yang menarik dicermati dari tarian mafioso tersebut di atas, ternyata banyak di antara mereka yang sebenarnya masuk dalam kategori orang-orang berpenghasilan “lumayan”. Karena itu tidak mengherankan bila muncul gugatan terhadap konsep pemberian tunjangan bagi instansi tertentu yang ternyata tidak menjamin aparatnya untuk tidak mencari “tunjangan” lain dengan cara-cara yang busuk.

Konsep qana’ah
Di dalam Islam dikenal konsep qana’ah yaitu menerima segala macam peristiwa, nasib dan ketentuan Allah Swt yang dialami dan dijalani dalam hidup ini dengan penuh kesabaran dan rasa tawakal. Kesabaran dan tawakal ini tentu bukan bermakna kepasrahan tanpa daya upaya, akan tetapi kepasrahan yang tetap mengandung optimisme untuk berusaha melakukan hal terbaik di kemudian hari.

Jika memang nasib, peristiwa dan segala ketentuan yang harus dijalani bersifat negatif atau pahit (berupa musibah atau hal-hal tidak mengenakkan lainnya), maka si pelaku menyerahkan ketetapan Allah tersebut kepada-Nya, karena memang hanya Dia satu-satunya Zat Yang Maha Memiliki otoritas untuk menentukan segalanya di alam semesta ini. Tidak perlu kemudian ia memperangkap dirinya sendiri dalam kesedihan, kepedihan atau penyesalan lebih dalam lagi, sehingga optimisme dalam menjalani hiduppun akhirnya terbunuh secara perlahan tanpa disadari. 

Sebaliknya, jika ketentuan Allah swt yang diterima bersifat positif (hal-hal yang membuat hati senang baik berupa material maupun non material), maka ia harus menambah rasa syukurnya kepada Allah swt dengan semakin menambah pundi-pundi amal baiknya (ikhsan). Dia semestinya berpandangan bahwa segala sesuatu yang menggembirakan hatinya itu adalah semata-mata terjadi karena kehendak dan iradah-Nya semata. 

Sikap qana’ah dalam menjalani hidup sebagaimana diuraikan di atas pada dasarnya menyampaikan pesan edukatif bahwa apa pun ketetapan yang diterima (baik maupun buruk) adalah bagian dari skenario Allah Swt, karena itu perlu direspon dengan sabar dan rasa syukur. Bila tidak demikian, maka seseorang akan semakin menjauh dari kasih sayang Allah swt. 

Jika ketentuan hidup yang ia terima selalu berakhir kesedihan maupun kepedihan, ia akan merasa seolah-olah Allah swt sudah tidak adil dalam memperlakukannya. Ia akan merasa bahwa ia adalah orang yang paling merana di dunia ini. Secara tidak langsung, ia pun akan terpeleset dalam pandangan negatif terhadap Allah bahwa Dia adalah penyebab kepedihan hidup yang dialaminya. 

Sebaliknya jika sikap qana’ah tidak dimiliki, maka ketika yang didapatkan adalah kenikmatan, maka ia akan berpandangan bahwa semua itu didapat karena usahanya sendiri, tidak ada campur tangan Allah Swt di dalamnya. Dari pandangan ini tersemailah dalam hatinya sikap angkuh, sombong, takabbur, merasa paling hebat, paling beruntung, paling berkuasa, dst. 

Kembali pada persoalan masih suburnya kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh kalangan masyarakat berkantong tebal dan pejabat publik seperti diungkap di awal tulisan ini, pada prinsipnya adalah terkait dengan keroposnya sikap qana’ah dalam diri mereka. Mereka selalu merasa tidak pernah cukup dengan kenikmatan yang Allah berikan, sehingga cara-cara busuk yang melanggar ketentuan-ketentuanNya maupun aturan negara pun diabaikan. Hal ini semakin menemukan momentumnya ketika virus-virus materialisme dan hedonisme begitu dahsyat menyerbu dan mempengaruhi cara pandang manusia melalui beragam media dewasa ini.

Karakteristik manusia
Memang pada dasarnya, satu karakteristik manusia sebagaimana yang disinggung dalam Alquran (Surat al-Ma’arij: 19-21) adalah sikap berkeluh kesah. Saat menerima musibah (dalam arti hal-hal atau peristiwa yang tidak menyenangkan apapun bentuknya), ia berputus asa. Sebaliknya kalau ia menerima nikmat Allah swt (dalam arti kebahagiaan dan kesenangan dalam bentuk apa pun), ia menjadi lupa diri sehingga bersikap kikir dan sebagainya. 

Namun demikian, kekuatan iman, Islam dan ikhsan-lah yang sebenarnya menjadi katalisator untuk meluruskan beberapa penyakit hati ini. Dengan keimanan dan keberislaman, yang selanjutnya diwujudkan secara nyata dalam dimensi keihsanan dalam perilaku sehari-hari, maka semangat qana’ah dalam menjalani hidup ini akan tersemai dengan baik. Wallahu a’lam bis shawab.

* Dr. Anton Widyanto, M.Ag, Ed.S, Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Email: awidya09@gmail.com

SUMBER: SERAMBI INDONESIA, 19 April 2013 Serambi

Lorem ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry.


EmoticonEmoticon