Keterlaluan! Mungkin itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan terjadinya pengendalian peredaran narkotika dari penjara!
(Tajuk Rencana Kompas cetak, 30 Jan 2013)
Cerita itu bukanlah fiksi! Peristiwa itu beberapa kali terjadi. Informasi itu dapat dengan mudah diakses melalui Google, misalnya kejadian di Lembaga Pemasyarakatan Madiun dan LP Nusakambangan beberapa waktu lalu. Selasa, harian ini memberitakan, Direktorat Reserse Polda Metro Jaya menangkap 26 pengedar narkotika berjaringan internasional. Mengutip penjelasan Wakil Kepala Polda Metro Jaya Brigadir Jenderal (Pol) Sudjarno, pengedar itu dikendalikan tiga terpidana kasus narkotika yang mendekam di LP Nusakambangan dan LP Cipinang. Mereka adalah Lee Che Hen (Malaysia) yang mendekam di LP Cipinang serta Adam Wilson (Nigeria) dan Tan Swe Kon (Singapura) yang ditahan di LP Nusakambangan.
Di Malaysia dan Singapura, hukuman terhadap pelaku kasus narkotika sangat keras. Siapa pun yang kedapatan membawa narkotika diancam hukuman mati. Kini, justru warga negara asing itu mengendalikan peredaran narkotika dari balik jeruji besi penjara Indonesia. Gugatan harus ditujukan kepada Kementerian Hukum dan HAM. Mengapa pengendalian bisnis narkotika bisa dijalankan di LP yang dilakukan dengan pengamanan ketat? Apakah negara sudah tak berdaya? Atau ada main mata di sana?
Penyelundupan narkotika ke Indonesia sudah lama terjadi. Tahun 1968, harian ini mencatat penyelundupan candu dari Singapura masuk melalui Cirebon. Pada 12 April 1971, harian ini memberitakan peringatan bahwa kejahatan narkotika tersebar di seluruh Indonesia dan pada saat yang sama Jaksa Muda Intel Ali Said mengatakan, masalah narkotika harus segera ditangani sebelum mencapai stadium serius. Namun, 44 tahun kemudian, kondisinya tak banyak berubah. Para pejabat masih mendiskusikan hal yang sama, sementara korban berjatuhan.
Kita memandang merebaknya peredaran narkotika tak bisa dilepaskan dari lemahnya sistem dan penegakan hukum. Mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga hakim yang memberi kata akhir. Setelah pengadilan, masih ada kebijakan pemberian remisi dan grasi. Eksekusi terhadap terpidana mati narkotika tak kunjung dilaksanakan. Bahkan, terpidana terbuka mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung atau meminta grasi.
Narkotika adalah kejahatan luar biasa yang mengancam masa depan bangsa. Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional, 68 persen tersangka kasus narkotika berasal dari kalangan karyawan, profesional, dan pengusaha. Melihat besarnya ancaman itu, kita berharap penegak hukum memiliki sense of crisis yang sama. Memutus komunikasi terpidana narkotika di penjara dengan dunia luar dapat dilakukan secara teknologi. Memberikan hukuman berat bagi bandar narkotika harus menjadi keniscayaan. Kebijakan pemberian remisi dan grasi harus dihentikan sebagai bentuk nyata perang terhadap narkotika. Pemberantasan narkotika tak cukup hanya dengan pidato!
(Tajuk Rencana Kompas cetak, 30 Jan 2013)
EmoticonEmoticon