Oleh Hadi Luthfy Dhahira
-
APAKAH ada manusia yang terlahir dengan nama Korupsi? Rasanya, tidak ada orang tua yang rela dan tega menabalkan nama-nama jelek pada anaknya. William Shakespeare boleh bilang “apalah arti sebuah nama”, tapi bagi orang tua kita nama itu adalah doa. Ia akan memilih nama-nama yang bagus untuk anak-anaknya, dengan harapan kelak anak-anaknya akan menjadi orang yang baik, bijak, dan berguna tidak hanya bagi diri dan keluarganya, tetapi juga bagi masyarakat, bangsa, negara dan agama, serta alam lingkungannya.
Karena itu pula, banyak orang tua yang menginginkan agar anaknya bisa sekolah tinggi, bahkan hingga menjadi doktor atau profesor. Namun, dunia pendidikan tentu tidak bisa memilih siapa nama calon anak didiknya, dan tak kuasa pula memastikan atau menjamin; Apakah peserta didik itu nantinya akan menjadi orang baik atau orang jahat? Dinamika kehidupanlah akan menentukan apakah dia kelak menjadi spiderman atau ratman.
Orang-orang tua mendongengkan bahwa pencurian biasanya dilakukan oleh orang bodoh. Nah di era ini, tidak hanya pejabat politik yang ternyata menjadi bodoh dan melakukan pencurian. Para cekgu-cekgu besar dengan segudang gelar pun sekarang telah menjadi bodoh dengan menjadi pancuri. Alangkah mirisnya ternyata cerita itu kini menghampiri Tanah Rencong.
Tersangka korupsi
Berita di Serambi (Sabtu, 20/4/2013) lalu benar-benar kembali membuktikan bahwa memperoleh pendidikan tinggi dengan berbagai gelar akademis tidak akan menjamin moral seseorang ikut tinggi pula, bahkan bisa jadi moral mereka lebih rendah dari orang-orang yang tidak punya gelar. Dua orang profesor doktor (Prof. Dr.) di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), secara resmi telah ditetapkan oleh Kejati Aceh sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) program beasiswa Pemerintah Aceh di Unsyiah sebesar Rp 3,6 miliar dari sumber APBA 2009-2010.
Terlepas dari proses hukum yang sedang berjalan dan asas praduga tidak bersalah, penetapan tersangka terhadap dua orang guru besar universitas jantong hate rakyat Aceh ini merupakan pukulan telak bagi dunia pendidikan Aceh. Mereka merupakan guru besar dengan berlatar pendidikan dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang notabenenya adalah orang-orang yang bekerja sebagai pendidik para calon guru di Aceh. Apa jadinya para guru kita bila mereka dididik oleh “Prof. Dr. Korupsi, M.So”?
Jelas bahwa output dari penetapan tersangka ini akan berdampak luas terhadap mental calon guru yang selama ini dididik mereka. Slogan tentang pembangunan manusia melalui peningkatan mutu pendidikan menjadi semakin runyam saja. Bagaimana tidak, mental korupsi yang memang telah mengakar dilevel paling sepele ternyata juga merambah ketingkat elit sehingga kredibilitas Unsyiah sebagai sarang insan akademis bermental syariat dapat berubah dalam sejenak menjadi sarang tikus bergelar profesor.
Gelar profesor dalam bahasa latin dapat diartikan sebagai seseorang yang dikenal oleh publik yang berprofesi sebagai pakar. Dalam bahasa Inggris, professor dimaknai sebagai seorang guru senior, dosen atau peneliti yang biasanya dipekerjakan oleh lembaga/institusi pendidikan, perguruan tinggi ataupun universitas.
Layaknya sebagai pakar, beliau-beliau ini umumnya memiliki beberapa kewajiban: Pertama, memberi kuliah atau memimpin seminar pada bidang ilmu yang mereka kuasai; Kedua, melakukan penelitian dalam bidang ilmunya hingga memberikan manfaat pada khalayak; Ketiga, pengabdian pada masyarakat, termasuk konsultatif (baik dalam bidang pemerintahan ataupun bidang-bidang lainnya secara nonprofit), dan; Keempat, melatih para akademisi muda/mahasiswa agar kemudian dapat menjadi seperti atau bahkan lebih hebat dari dirinya.
Fungsi-fungsi ini tentunya tidak dapat dijalankan dengan baik oleh Prof Dr Korupsi MSo. Bagaimana mungkin dapat melatih akademisi muda dengan baik sedangkan prilaku beliau sendiri sangatlah nista? Apakah mungkin beliau melakukan pengabdian kepada masyarakat sedangkan uang rakyat terus beliau “makan” secara haram? Dan, bagaimana mungkin beliau bisa memimpin seminar/perkuliahan sedangkan beliau belum mampu mengontrol birahinya terhadap kepemilikan harta.
Sulit dibendung
Berkaca pada buruknya moral Prof Dr Korupsi MSo, maka sangat wajar jika prilaku korup kian sulit dibendung perkembangbiakannya. Karena tidak hanya para pemimpin politik yang “hobi” korupsi, para guru besar juga sudah demikian. Skandal korupsi yang merugikan rakyat lebih dari Rp 3,6 miliar tersebut tidak hanya menggerus keuangan daerah, namun korupsi ini bisa menyebabkan banyak mahasiswa calon guru daerah terpencil (cagurdacil) dan mahasiswa dari item beasiswa lain yang mendapat santunan beasiswa harus “mengetatkan ikat pingang” menahan kesusahan akibat kekurangan rupiah.
Menurut penulis, perlu kiranya pihak Dikti mengevaluasi kembali terkait dengan gelar Guru Besar kepada mereka yang tersangkut kasus korupsi. Tidak layak rasanya apabila sebutan guru besar masih disandang oleh mereka yang sudah terbukti melakukan korupsi. Apabila gelar tersebut masih disematkan pada mereka, maka hal tersebut sama saja dengan menjustifikasi perkara korupsi sesuai dengan pepatah masa kini “ayah kencing berdiri anak kencing terbang”
Para guru besar selayaknya menjadi panutan bagi setiap insan akademis dalam meningkatkan kualitas hidup sebagai manusia beradap. Mereka akan menjadi tempat bertanya ketika mahasiswa, dosen, guru atau masyarakat umumnya ketika dilanda kebingungan. Rakyat pun menanti buah pikir mereka guna melanjutkan pembangunan. Dengan ditetapkannya para guru besar ini sebagai tersangka, penulis masih berharap bahwa pihak kejati salah dalam penetapan itu. Meskipun kecil kemungkinan hal itu terjadi.
Untuk memutus mata rantai korupsi diperlukan sebuah upaya konkret yang dapat diawali dari dunia pendidikan. Maka sudah seharusnya Mulai dari guru besar, dosen, guru, mahasiswa, maupun para siswa kembali menghayati nilai-nilai luhur kehidupan manusia sebagai mahkluk sosial yang pastinya akan akan saling sambung-menyambung estafet kepemimpinan.
Hadi Luthfy Dhahira, Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. Email: hadi.ellde795@yahoo.com
Sumber: Serambi Indonesia, 27 April 2013
Baca lagi
-
APAKAH ada manusia yang terlahir dengan nama Korupsi? Rasanya, tidak ada orang tua yang rela dan tega menabalkan nama-nama jelek pada anaknya. William Shakespeare boleh bilang “apalah arti sebuah nama”, tapi bagi orang tua kita nama itu adalah doa. Ia akan memilih nama-nama yang bagus untuk anak-anaknya, dengan harapan kelak anak-anaknya akan menjadi orang yang baik, bijak, dan berguna tidak hanya bagi diri dan keluarganya, tetapi juga bagi masyarakat, bangsa, negara dan agama, serta alam lingkungannya.
Karena itu pula, banyak orang tua yang menginginkan agar anaknya bisa sekolah tinggi, bahkan hingga menjadi doktor atau profesor. Namun, dunia pendidikan tentu tidak bisa memilih siapa nama calon anak didiknya, dan tak kuasa pula memastikan atau menjamin; Apakah peserta didik itu nantinya akan menjadi orang baik atau orang jahat? Dinamika kehidupanlah akan menentukan apakah dia kelak menjadi spiderman atau ratman.
Orang-orang tua mendongengkan bahwa pencurian biasanya dilakukan oleh orang bodoh. Nah di era ini, tidak hanya pejabat politik yang ternyata menjadi bodoh dan melakukan pencurian. Para cekgu-cekgu besar dengan segudang gelar pun sekarang telah menjadi bodoh dengan menjadi pancuri. Alangkah mirisnya ternyata cerita itu kini menghampiri Tanah Rencong.
Tersangka korupsi
Berita di Serambi (Sabtu, 20/4/2013) lalu benar-benar kembali membuktikan bahwa memperoleh pendidikan tinggi dengan berbagai gelar akademis tidak akan menjamin moral seseorang ikut tinggi pula, bahkan bisa jadi moral mereka lebih rendah dari orang-orang yang tidak punya gelar. Dua orang profesor doktor (Prof. Dr.) di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), secara resmi telah ditetapkan oleh Kejati Aceh sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) program beasiswa Pemerintah Aceh di Unsyiah sebesar Rp 3,6 miliar dari sumber APBA 2009-2010.
Terlepas dari proses hukum yang sedang berjalan dan asas praduga tidak bersalah, penetapan tersangka terhadap dua orang guru besar universitas jantong hate rakyat Aceh ini merupakan pukulan telak bagi dunia pendidikan Aceh. Mereka merupakan guru besar dengan berlatar pendidikan dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang notabenenya adalah orang-orang yang bekerja sebagai pendidik para calon guru di Aceh. Apa jadinya para guru kita bila mereka dididik oleh “Prof. Dr. Korupsi, M.So”?
Jelas bahwa output dari penetapan tersangka ini akan berdampak luas terhadap mental calon guru yang selama ini dididik mereka. Slogan tentang pembangunan manusia melalui peningkatan mutu pendidikan menjadi semakin runyam saja. Bagaimana tidak, mental korupsi yang memang telah mengakar dilevel paling sepele ternyata juga merambah ketingkat elit sehingga kredibilitas Unsyiah sebagai sarang insan akademis bermental syariat dapat berubah dalam sejenak menjadi sarang tikus bergelar profesor.
Gelar profesor dalam bahasa latin dapat diartikan sebagai seseorang yang dikenal oleh publik yang berprofesi sebagai pakar. Dalam bahasa Inggris, professor dimaknai sebagai seorang guru senior, dosen atau peneliti yang biasanya dipekerjakan oleh lembaga/institusi pendidikan, perguruan tinggi ataupun universitas.
Layaknya sebagai pakar, beliau-beliau ini umumnya memiliki beberapa kewajiban: Pertama, memberi kuliah atau memimpin seminar pada bidang ilmu yang mereka kuasai; Kedua, melakukan penelitian dalam bidang ilmunya hingga memberikan manfaat pada khalayak; Ketiga, pengabdian pada masyarakat, termasuk konsultatif (baik dalam bidang pemerintahan ataupun bidang-bidang lainnya secara nonprofit), dan; Keempat, melatih para akademisi muda/mahasiswa agar kemudian dapat menjadi seperti atau bahkan lebih hebat dari dirinya.
Fungsi-fungsi ini tentunya tidak dapat dijalankan dengan baik oleh Prof Dr Korupsi MSo. Bagaimana mungkin dapat melatih akademisi muda dengan baik sedangkan prilaku beliau sendiri sangatlah nista? Apakah mungkin beliau melakukan pengabdian kepada masyarakat sedangkan uang rakyat terus beliau “makan” secara haram? Dan, bagaimana mungkin beliau bisa memimpin seminar/perkuliahan sedangkan beliau belum mampu mengontrol birahinya terhadap kepemilikan harta.
Sulit dibendung
Berkaca pada buruknya moral Prof Dr Korupsi MSo, maka sangat wajar jika prilaku korup kian sulit dibendung perkembangbiakannya. Karena tidak hanya para pemimpin politik yang “hobi” korupsi, para guru besar juga sudah demikian. Skandal korupsi yang merugikan rakyat lebih dari Rp 3,6 miliar tersebut tidak hanya menggerus keuangan daerah, namun korupsi ini bisa menyebabkan banyak mahasiswa calon guru daerah terpencil (cagurdacil) dan mahasiswa dari item beasiswa lain yang mendapat santunan beasiswa harus “mengetatkan ikat pingang” menahan kesusahan akibat kekurangan rupiah.
Menurut penulis, perlu kiranya pihak Dikti mengevaluasi kembali terkait dengan gelar Guru Besar kepada mereka yang tersangkut kasus korupsi. Tidak layak rasanya apabila sebutan guru besar masih disandang oleh mereka yang sudah terbukti melakukan korupsi. Apabila gelar tersebut masih disematkan pada mereka, maka hal tersebut sama saja dengan menjustifikasi perkara korupsi sesuai dengan pepatah masa kini “ayah kencing berdiri anak kencing terbang”
Para guru besar selayaknya menjadi panutan bagi setiap insan akademis dalam meningkatkan kualitas hidup sebagai manusia beradap. Mereka akan menjadi tempat bertanya ketika mahasiswa, dosen, guru atau masyarakat umumnya ketika dilanda kebingungan. Rakyat pun menanti buah pikir mereka guna melanjutkan pembangunan. Dengan ditetapkannya para guru besar ini sebagai tersangka, penulis masih berharap bahwa pihak kejati salah dalam penetapan itu. Meskipun kecil kemungkinan hal itu terjadi.
Untuk memutus mata rantai korupsi diperlukan sebuah upaya konkret yang dapat diawali dari dunia pendidikan. Maka sudah seharusnya Mulai dari guru besar, dosen, guru, mahasiswa, maupun para siswa kembali menghayati nilai-nilai luhur kehidupan manusia sebagai mahkluk sosial yang pastinya akan akan saling sambung-menyambung estafet kepemimpinan.
Hadi Luthfy Dhahira, Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. Email: hadi.ellde795@yahoo.com
Sumber: Serambi Indonesia, 27 April 2013
Baca lagi
EmoticonEmoticon