Oleh Syarifah Rahmatillah
-
ISTILAH affirmative action yang berarti diskriminasi positif (positive discrimination) atau langkah-langkah khusus yang dilakukan guna mempercepat tercapainya keadilan dan kesetaraan. Istilah ini pertama kali muncul pada masa pemerintahan Presiden John F Kennedy di Amerika Serikat. Upaya ini dimaksudkan untuk menghapus atau menghilangkan pandangan negatif atas perbedaan ras, bangsa, agama, hingga melahirkan daftar anti-diskriminasi yang di dalamnya termasuk perbedaan jenis kelamin (Ann-Marie Rizzo; dalam Gomes, 2003;72).
Tindakan atau kebijakan affirmative bertujuan untuk mempromosikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara, termasuk kaum perempuan. Hal ini sering dilembagakan dalam peraturan pemerintah dan pendidikan untuk memastikan bahwa kelompok-kelompok minoritas dalam suatu masyarakat, dapat masuk ke dalam semua program yang ada. Satu sarana terpenting untuk menerapkannya adalah hukum. Karena itu jaminan pelaksanaannya harus ada dalam konstitusi dan undang-undang (UU).
Hambatan terbesar
Mengapa harus affirmative action bagi perempuan di ranah politik? Hambatan terbesar bagi perempuan untuk masuk ke dalam dunia politik, temasuk menjadi anggota legislatif, adalah nilai dan budaya patriarki. Hal ini dapat dilihat dalam tiga hal yang cukup signifikan: Pertama, dunia politik seolah-olah memiliki jenis kelamin, dicitrakan sebagai domain laki-laki dan bukan milik perempuan.
Kedua, triple burden yang melekat pada perempuan (beban privat, publik, komunitas) memiliki pengaruh yang besar terhadap kehidupan perempuan. Ketiga, lebih terbatasnya kesempatan perempuan untuk memperoleh pendidikan politik dibandingkan laki-laki. Saat ini, peran dari kebanyakan parpol dalam memfasilitasi kader perempuan untuk mengembangkan kapasitas melalui pendidikan politik cenderung masih minim. Untuk itulah affirmative action sudah seharusnya diterapkan.
Wacana publik mengenai pentingnya keterlibatan perempuan dalam pembuatan kebijakan tampaknya belum menyentuh masyarakat luas, terutama di tingkat lokal. Dugaan ini mengantarkan kita pada pertanyaan tentang peran dan perjuangan organisasi perempuan di tingkat lokal untuk soal representasi. Temuan sementara memperlihatkan, organisasi perempuan di tingkat lokal cenderung tidak berpolitik. Mereka lebih fokus pada isu-isu praktis pemenuhan kebutuhan dasar dan cenderung menghindari isu-isu politik dan politik elektoral itu sendiri.
Tantangan lain bagi representasi politik perempuan di antaranya: Pertama, sistem pemilu yang semakin terbuka dan mekanisme suara terbanyak yang mempersulit implementasi tindakan afirmatif; Kedua, persaingan internal partai makin ketat untuk merebut posisi dalam pencalonan legislative; Ketiga, pemilih yang semakin pragmatis sehingga jenis kelamin tidak relevan dalam preferensi pilihan, dan; Keempat, minat perempuan aktivis masyarakat sipil untuk memasuki institusi politik masih rendah, sehingga partai politik masih dikuasai figur-figur pragmatis pula.
Perempuan Indonesia
Jauh sebelum reformasi sebenarnya perjuangan affirmative action sudah dilakukan oleh masyarakat perempuan di Indonesia, namun ketentuan tentang affirmative action baru pada 2000, diatur dalam Amandemen II UUD 1945, dalam Bab X A tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28 H ayat (2) yang menyebutkan: “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”
Pasal ini didasarkan atas kesadaran bahwa suatu peraturan yang netral yang diberlakukan sama kepada seluruh kelompok masyarakat yang berbeda keadaannya, akan menimbulkan kesempatan dan manfaat yang berbeda yang berdampak lahirnya ketidakadilan. Maka Negara berkewajiban membuat peraturan khusus bagi mereka yang karena kondisi dan rintangannya tidak dapat menerima manfaat dari ketentuan yang bersifat netral tadi.
Kuota, penjatahan kursi (reserved seats) dan berbagai mekanisme peraturan lain yang pada prinsipnya mengikuti kebijakan affirmative, dimaksudkan sebagai jalan menuju penguatan keterwakilan perempuan dan kelompok marginal. Sejak awal 1990-an, kuota untuk calon anggota legislatif (caleg) perempuan menjadi satu bentuk kebijakan affirmative yang paling umum ditemui. Pangkalan data global tentang demokrasi dan kesetaraan, IDEA, mencatat bahwa ada sekitar 45 dari 90 negara yang menerapkan sistem kuota untuk caleg perempuan.
Kebijakan affirmative dalam rangka meningkatkan representasi perempuan dibidang politik pertama kali diterapkan menjelang pemilu 2004, dengan dimasukkannya ketentuan mengenai pencalonan perempuan minimal 30% dari daftar caleg tiap partai dalam UU No.12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. Hasil Pemilu 2004 menunjukkan, perempuan anggota DPR RI terpilih meningkat menjadi 11,8% dari keseluruhan jumlah anggota dibandingkan hasil Pemilu 1999 yang hanya 9%.
Menjelang Pemilu 2009, kebijakan affirmasi diperkuat lagi dalam UU No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik mengenai jumlah minimal 30% perempuan dalam kepengurusan parpol. Kebijakan affirmasi juga semakin diperkuat dalam UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu, selain harus memenuhi ketentuan jumlah 30% perempuan dalam daftar calon, penempatan caleg perempuan juga diatur dengan ketentuan dalam tiga nama calon terdapat satu nama perempuan. Hasilnya, jumlah perempuan di DPR RI meningkat menjadi 18%.
Menuju Pemilu 2014, pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tampaknya lebih serius memperkuat upaya affirmative action. Hal ini terlihat dalam UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR/DPD/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota, di antaranya mengatur pengajuan Bakal Calon Anggota DPR/DPRD yang berbunyi: “Dalam pengajuan bakal calon, parpol wajib menyertakan 30% keterwakilan perempuan, setiap 3 orang bakal calon terdapat sekurang kurangnya 1 (satu) orang perempuan”.
Peningkatan jumlah perempuan di legislatif hasil Pemilu 2009, menurut hasil penelitian Puskapol Universitas Indonesia (UI), dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya faktor regulasi yang meliputi aturan penempatan perempuan di nomor urut atas dan aturan parliamentary threshold. Mayoritas perempuan terpilih adalah caleg dengan nomor urut 1, 2, dan 3. Untuk DPR RI, 93% dari caleg perempuan terpilih berada di nomor urut 1, 2, dan 3. Untuk DPRD provinsi sebesar 85% dan DPRD Kabupaten/Kota sebanyak 82%. Sedangkan terkait parliamentary threshold, partai yang lolos PT memiliki perolehan kursi lebih besar, menyebabkan peluang perempuan terpilih menjadi besar pula.
Aceh lebih maju
Dalam banyak hal, Aceh lebih maju dari daerah lain di Indonesia. Soal inisiatif lokal dan regulasi, termasuk regulasi tentang penguatan peran perempuan, misalnya, Aceh kerap menjadi inspirasi bagi Indonesia. Kebijakan affirmative diatur dalam beberapa regulasi Aceh seperti: UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Pasal 75 (2) “Partai politik lokal didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 orang warga Negara RI yang telah berusia 21 tahun dan telah berdomisili tetap di Aceh dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”. Dan, banyak lagi Qanun turunan dari UUPA yang memuat kebijakan affirmative di Aceh.
Selain itu, ada Qanun No.2 Tahun 2004 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Pasal 6 (2) menyebutkan: “Keanggotaan KIP minimal 2 (dua) orang dari unsur perempuan”; Qanun No.7 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, Pasal 5 (4): “Keanggotaan KIP Aceh KIP Kabupaten/Kota dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”.
Oleh karena itu dalam konteks pencalonan anggota legislatif dengan kuota 30% perempuan, aneh rasanya kalau kita masih mendengar adanya kegalauan dan ketidaksiapan partai politik khususnya diaceh dalam memenuhi 30% perempuan dalam pencalonan legislatif. Apalagi sangat jelas bahwa Negara telah mewajibkan partai politik untuk memberikan pendidikan politik bagi masyarakat termasuk perempuan, dan hal itu harusnya bukan hanya dilakukan menjelang pemilu saja.
Keraguan bahwa tidak banyak perempuan di Aceh yang berkualitas untuk menjadi pengurus parpol amat tidak berdasar. Sebab, menurut catatan sejarah, tidak ada daerah lain di Indonesia selain Aceh, di mana paling banyak perempuannya yang menjadi pemimpin masyarakat dan pimpinan perang. Selama 59 tahun, Aceh sempat di bawah pemerintahan Ratu. Bahkan pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin, dari 73 anggota Majelis Mahkamah Rakyat, 22 orang (31%) adalah perempuan.
Semoga ini cukup argumentative untuk menjawab keraguan banyak pihak terhadap pentingnya peningkatan keterlibatan perempuan dalam politik dan pemilu. Selanjutnya menjadi agenda kita bersama ke depan untuk merajut dan memastikan kuatnya keterikatan antara caleg perempuan dan basisnya. Hal itu tak lain untuk memperjuangkan keberpihakan dan komitmen terhadap penghapusan ketimpangan sosial, politik, budaya, dan ekonomi demi keadilan bagi seluruh masyarakat perempuan.
* Syarifah Rahmatillah, Direktur Eksekutif Mitra Sejati Perempuan Indonesia (MiSPI), dan Kasubag Sosialisasi Produk Hukum Sekda Aceh. Email: syarifahmispi@yahoo.co.id
Sumber: Serambi Indonesia, 29 April 2013
Opini Terkait Lainnya;
-
ISTILAH affirmative action yang berarti diskriminasi positif (positive discrimination) atau langkah-langkah khusus yang dilakukan guna mempercepat tercapainya keadilan dan kesetaraan. Istilah ini pertama kali muncul pada masa pemerintahan Presiden John F Kennedy di Amerika Serikat. Upaya ini dimaksudkan untuk menghapus atau menghilangkan pandangan negatif atas perbedaan ras, bangsa, agama, hingga melahirkan daftar anti-diskriminasi yang di dalamnya termasuk perbedaan jenis kelamin (Ann-Marie Rizzo; dalam Gomes, 2003;72).
Tindakan atau kebijakan affirmative bertujuan untuk mempromosikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara, termasuk kaum perempuan. Hal ini sering dilembagakan dalam peraturan pemerintah dan pendidikan untuk memastikan bahwa kelompok-kelompok minoritas dalam suatu masyarakat, dapat masuk ke dalam semua program yang ada. Satu sarana terpenting untuk menerapkannya adalah hukum. Karena itu jaminan pelaksanaannya harus ada dalam konstitusi dan undang-undang (UU).
Hambatan terbesar
Mengapa harus affirmative action bagi perempuan di ranah politik? Hambatan terbesar bagi perempuan untuk masuk ke dalam dunia politik, temasuk menjadi anggota legislatif, adalah nilai dan budaya patriarki. Hal ini dapat dilihat dalam tiga hal yang cukup signifikan: Pertama, dunia politik seolah-olah memiliki jenis kelamin, dicitrakan sebagai domain laki-laki dan bukan milik perempuan.
Kedua, triple burden yang melekat pada perempuan (beban privat, publik, komunitas) memiliki pengaruh yang besar terhadap kehidupan perempuan. Ketiga, lebih terbatasnya kesempatan perempuan untuk memperoleh pendidikan politik dibandingkan laki-laki. Saat ini, peran dari kebanyakan parpol dalam memfasilitasi kader perempuan untuk mengembangkan kapasitas melalui pendidikan politik cenderung masih minim. Untuk itulah affirmative action sudah seharusnya diterapkan.
Wacana publik mengenai pentingnya keterlibatan perempuan dalam pembuatan kebijakan tampaknya belum menyentuh masyarakat luas, terutama di tingkat lokal. Dugaan ini mengantarkan kita pada pertanyaan tentang peran dan perjuangan organisasi perempuan di tingkat lokal untuk soal representasi. Temuan sementara memperlihatkan, organisasi perempuan di tingkat lokal cenderung tidak berpolitik. Mereka lebih fokus pada isu-isu praktis pemenuhan kebutuhan dasar dan cenderung menghindari isu-isu politik dan politik elektoral itu sendiri.
Tantangan lain bagi representasi politik perempuan di antaranya: Pertama, sistem pemilu yang semakin terbuka dan mekanisme suara terbanyak yang mempersulit implementasi tindakan afirmatif; Kedua, persaingan internal partai makin ketat untuk merebut posisi dalam pencalonan legislative; Ketiga, pemilih yang semakin pragmatis sehingga jenis kelamin tidak relevan dalam preferensi pilihan, dan; Keempat, minat perempuan aktivis masyarakat sipil untuk memasuki institusi politik masih rendah, sehingga partai politik masih dikuasai figur-figur pragmatis pula.
Perempuan Indonesia
Jauh sebelum reformasi sebenarnya perjuangan affirmative action sudah dilakukan oleh masyarakat perempuan di Indonesia, namun ketentuan tentang affirmative action baru pada 2000, diatur dalam Amandemen II UUD 1945, dalam Bab X A tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28 H ayat (2) yang menyebutkan: “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”
Pasal ini didasarkan atas kesadaran bahwa suatu peraturan yang netral yang diberlakukan sama kepada seluruh kelompok masyarakat yang berbeda keadaannya, akan menimbulkan kesempatan dan manfaat yang berbeda yang berdampak lahirnya ketidakadilan. Maka Negara berkewajiban membuat peraturan khusus bagi mereka yang karena kondisi dan rintangannya tidak dapat menerima manfaat dari ketentuan yang bersifat netral tadi.
Kuota, penjatahan kursi (reserved seats) dan berbagai mekanisme peraturan lain yang pada prinsipnya mengikuti kebijakan affirmative, dimaksudkan sebagai jalan menuju penguatan keterwakilan perempuan dan kelompok marginal. Sejak awal 1990-an, kuota untuk calon anggota legislatif (caleg) perempuan menjadi satu bentuk kebijakan affirmative yang paling umum ditemui. Pangkalan data global tentang demokrasi dan kesetaraan, IDEA, mencatat bahwa ada sekitar 45 dari 90 negara yang menerapkan sistem kuota untuk caleg perempuan.
Kebijakan affirmative dalam rangka meningkatkan representasi perempuan dibidang politik pertama kali diterapkan menjelang pemilu 2004, dengan dimasukkannya ketentuan mengenai pencalonan perempuan minimal 30% dari daftar caleg tiap partai dalam UU No.12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. Hasil Pemilu 2004 menunjukkan, perempuan anggota DPR RI terpilih meningkat menjadi 11,8% dari keseluruhan jumlah anggota dibandingkan hasil Pemilu 1999 yang hanya 9%.
Menjelang Pemilu 2009, kebijakan affirmasi diperkuat lagi dalam UU No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik mengenai jumlah minimal 30% perempuan dalam kepengurusan parpol. Kebijakan affirmasi juga semakin diperkuat dalam UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu, selain harus memenuhi ketentuan jumlah 30% perempuan dalam daftar calon, penempatan caleg perempuan juga diatur dengan ketentuan dalam tiga nama calon terdapat satu nama perempuan. Hasilnya, jumlah perempuan di DPR RI meningkat menjadi 18%.
Menuju Pemilu 2014, pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tampaknya lebih serius memperkuat upaya affirmative action. Hal ini terlihat dalam UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR/DPD/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota, di antaranya mengatur pengajuan Bakal Calon Anggota DPR/DPRD yang berbunyi: “Dalam pengajuan bakal calon, parpol wajib menyertakan 30% keterwakilan perempuan, setiap 3 orang bakal calon terdapat sekurang kurangnya 1 (satu) orang perempuan”.
Peningkatan jumlah perempuan di legislatif hasil Pemilu 2009, menurut hasil penelitian Puskapol Universitas Indonesia (UI), dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya faktor regulasi yang meliputi aturan penempatan perempuan di nomor urut atas dan aturan parliamentary threshold. Mayoritas perempuan terpilih adalah caleg dengan nomor urut 1, 2, dan 3. Untuk DPR RI, 93% dari caleg perempuan terpilih berada di nomor urut 1, 2, dan 3. Untuk DPRD provinsi sebesar 85% dan DPRD Kabupaten/Kota sebanyak 82%. Sedangkan terkait parliamentary threshold, partai yang lolos PT memiliki perolehan kursi lebih besar, menyebabkan peluang perempuan terpilih menjadi besar pula.
Aceh lebih maju
Dalam banyak hal, Aceh lebih maju dari daerah lain di Indonesia. Soal inisiatif lokal dan regulasi, termasuk regulasi tentang penguatan peran perempuan, misalnya, Aceh kerap menjadi inspirasi bagi Indonesia. Kebijakan affirmative diatur dalam beberapa regulasi Aceh seperti: UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Pasal 75 (2) “Partai politik lokal didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 orang warga Negara RI yang telah berusia 21 tahun dan telah berdomisili tetap di Aceh dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”. Dan, banyak lagi Qanun turunan dari UUPA yang memuat kebijakan affirmative di Aceh.
Selain itu, ada Qanun No.2 Tahun 2004 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Pasal 6 (2) menyebutkan: “Keanggotaan KIP minimal 2 (dua) orang dari unsur perempuan”; Qanun No.7 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, Pasal 5 (4): “Keanggotaan KIP Aceh KIP Kabupaten/Kota dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”.
Oleh karena itu dalam konteks pencalonan anggota legislatif dengan kuota 30% perempuan, aneh rasanya kalau kita masih mendengar adanya kegalauan dan ketidaksiapan partai politik khususnya diaceh dalam memenuhi 30% perempuan dalam pencalonan legislatif. Apalagi sangat jelas bahwa Negara telah mewajibkan partai politik untuk memberikan pendidikan politik bagi masyarakat termasuk perempuan, dan hal itu harusnya bukan hanya dilakukan menjelang pemilu saja.
Keraguan bahwa tidak banyak perempuan di Aceh yang berkualitas untuk menjadi pengurus parpol amat tidak berdasar. Sebab, menurut catatan sejarah, tidak ada daerah lain di Indonesia selain Aceh, di mana paling banyak perempuannya yang menjadi pemimpin masyarakat dan pimpinan perang. Selama 59 tahun, Aceh sempat di bawah pemerintahan Ratu. Bahkan pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin, dari 73 anggota Majelis Mahkamah Rakyat, 22 orang (31%) adalah perempuan.
Semoga ini cukup argumentative untuk menjawab keraguan banyak pihak terhadap pentingnya peningkatan keterlibatan perempuan dalam politik dan pemilu. Selanjutnya menjadi agenda kita bersama ke depan untuk merajut dan memastikan kuatnya keterikatan antara caleg perempuan dan basisnya. Hal itu tak lain untuk memperjuangkan keberpihakan dan komitmen terhadap penghapusan ketimpangan sosial, politik, budaya, dan ekonomi demi keadilan bagi seluruh masyarakat perempuan.
* Syarifah Rahmatillah, Direktur Eksekutif Mitra Sejati Perempuan Indonesia (MiSPI), dan Kasubag Sosialisasi Produk Hukum Sekda Aceh. Email: syarifahmispi@yahoo.co.id
Sumber: Serambi Indonesia, 29 April 2013
Opini Terkait Lainnya;
EmoticonEmoticon