BELAJAR DARI MALIKUSSALEH : PENTINGYA KERJASAMA DALAM MELESTARIKAN BUDAYA DAN SEJARAH
Oleh : dr. Zaini Abdullah[1]
Latabelakang
Kesultanan Malikussaleh, sering disebut kerajaan Samudera Pasai dibentuk olehMeurah Silu sebagai raja Pasai pertama dengan gelar Sultan Malik Al Saleh (659-688 H /1261-1289 M). Kerajaan yang diwariskan Malikussaleh ini berakhir ketika Sultan Zainal Abidin Malikul Zahir (Sultan ke 16 sebagai sultan terakhir) di serang Portugis, dan ditawan di Malaka (918-930 H/1511-1523 M). Puteri sultan kemudian menikah dengan Sultan Kerajaan Aceh ke-13 Sultan Alaidin Riayatsyah Al-Qahar. Atas penikahan ini Kesultanan Malikussaleh menyatukan diri dengan kerajaan Aceh Darussalam.
Sebelum mengistiharkan kesultanannya, Malikussaleh menikah dengan Ganggang Sari, seorang putri dari kerajaan Islam Peureulak, yang jauh sebelumnya (sekitar abat ke-7 sudah memeluk Islam). Ketika Malikussaleh berkuasa, kerajaan Samudera Pasai semakin terkenal sebagai kerajaan pertama yang menyebarkan Islam pertama sekali di nusantara. Dari pernikahan itu, lahirlah dua putranya yang bernama Malikul Dhahir dan Malikul Mansyur. Pada masa anaknya memerintah, yaitu anak sulungnya Malikul Dhahir, Samudera Pasai meningkat pesat kemajuannya, rakyatnya hidup damai dan sejahtera. Terakhir setelah Sultan ke 18 Kerajaan Peureulak wafat, yaitu Sultan Makhdum Alaidin Abdul Azissyah Johan berdaulat, maka kerajaan Peureulak di satukan ke dalam kerajaan Samudera Pasai.
Melihat kebesaran Kesultanan Malikusaleh dapat dibuktikan dan dipertangungjawabkan sampai sekarang. Diantaranya makam Sultan Malik Al Saleh (baca: Malikussaleh) dan Makam Sultanah Nahrasyiah merupakan bukti sejarah yang masih tersisa sampai sekarang. Banyak pengembara laut yang singgah ke Pasai seperti Marcopolo, Ibnu Batutah, Laksamana Cheng Ho, dan lain-lain—mencatat kemegahan kesultanan Malikussaleh, yang ketika itu dikenal luas pengaruh dan kemajuannya di nusantara maupun mancanegara.
Pertanyaan bagi kita sekarang, apa yang menyebabkan kerajaan Samudera Pasai begitu terkenal pada masanya, apa kelebihan yang dimilikinya, tentu menjadi catatan penting bagi generasi Aceh sekarang ini ? Tentu, dari keseluruhan sultan yang bertahta setelah Malikussaleh mangkat, dipastikan masing-masing sultan memiliki karakteristik kepemimpinan, kelebihan dan kekurangannya. Kita tidak mengulas secara spesifik titah ke-16 sultan tersebut. Secara umum kita hanya ingin melihat khasanah yang disumbangkan Kesultanan Malikussaleh. Sejarah peradaban Aceh, termasuk Kesultanan Malikussaleh kiranya senantiasa diaktualisasikan agar anak cucu kita tidak lupa tentang “diri dan identitasnya” sebagai sebuah bangsa yang cukup besar peranannya dalam sejarah tempo dulu, sehingga anak cucu kita dapat bertanya, bagaimana Aceh sekarang ini ?
Mengapa Maju Jaya
Menurut pemahaman kita, sebagai sultan pertama, Malikussaleh telah meletakkan fondasi yang kuat sehingga para sultan sesudahnya dapat memerintah dengan baik, meningkatkan perkembangan dan kemajuan sehinga cukup disegani. Pertama,Samudera Pasai maju karena menjalin dan membuka diri dengan dunia luar dengan membagun pelabuhan yang dapat berlabuh berbagai ukuran kapal layar. Para sultan menjadikan pelabuhan sebagai pilar utama pertahanan, kekuatan ekonomi kerajaan dan rakyat. Kedua, letak Samudera Pasai sangat strategis sebagai pelabuhan dagang internasional karena jalur pelayaran cukup mendukung. Angin muson memudahkan kapal-kapal pulang pergi sehingga membuat pelabuhan Samudera Pasai selalu ramai dikunjungi.
Ketiga, benteng pertahanan kerajaan Pasai adalah kekuatan maritim dan pelabuhan yang bebas bagi siapa saja yang berlabuh di Pasai menyebabkan kerajaan Samudera Pasai tampil sebagai kekuatan perdagangan internasional. Keempat, Samudera Pasai mempunyai mata uang logam yang dibuat dari emas dan timah—inilah yang membedakan kerajaan lain di nusantara. Keempat, kerajaan Samudera Pasai dikenal sebagai kerajaan Islam dan menyebarkan Islam ke nusantara. Pasai banyak dikunjungi dan menetap karena tujuan belajar ilmu dari para ulama di kerajaan ini.
Faktor-faktor tersebut menurut hemat kita menyebabkan Kesultanan yang diwariskan Malikussaleh sangat terkenal ketika itu. Pembesar-pembesar kerajaan cukup menyadari pelabuhan satu-satunya kekuatan dagang. Dengan adanya pelabuhan yang dapat disinggahi kapal-kapal besar maka berbagai komuditas pertanian rakyat dapat di ekspor ke nusantara dan mancanegara. Sebaliknya, para pedagang nusantara dan mancanegara mengimpor barang dan keperluan yang dibutuhkan kerajaan Samudera Pasai. Ibnu Battutah yang mendarat di kerajaan ini menyatakan tanah pasai sebuah tempat yang sangat subur. Perdagangan di tempat ini dikabarkannya sangat maju dimana dalam transaksi dagang sudah menggunakan mata uang emas. Ia semakin takjub ketika turun ke kota mendapati sebuah kota besar yang sangat indah dengan dikelilingi dinding dan menara kayu.
Perkembangan dan kemajuan yang disaksikan Battutah dicatat dalam laporan perjalanannya dengan menyebut kawasan ini sebagai pusat perdagangan internasional. Pelabuhannya diramaikan oleh pedagang-pedagang dari Asia, Afrika, Arab, Cina, dan Eropa. Sultan yang bertitah pada saat itu menyadari betul bahwa kemajuan tidak akan wujud apabila pelabuhan pasai tidak disulap menjadi tempat persinggahan dan transaksi dagang internasional. Hasil bumi yang melimpah akan sia-sia apabila tidak merancang pembangunan pelabuhan dengan baik. Sultan menyadari dermaga tempat berlabuh kapal-kapal asing dan nusantara perlu dibangun sebaik mungkin. Disamping itu, pelabuhan disadari sebagai pertanda pertahanan kekuatan maritim kerajaan sehingga musuh tidak serta merta dapat menganggu pelayaran di kawasan Selat Malaka maupun Samudera Hindia.
Kekuatan, perkembangan dan kemajuan itu dapat berlangsung didukung; Pertama,pelabuhan Samudera Pasai dapat menjamin berlangsungnya ekspor-impor secara yang kontinue. Tanpa adanya jaminan keselamatan berlabuh di pelabuhan ini tentu tidak mungkin Samudera Pasai di kenal sampai keluar negeri. Kedua, hubungan dagang kerajaan Samudera Pasai dengan kerajaan lainnya dijalin dengan mengikatpersahabatan erat, berlangsung harmonis, menjaga keselamatan dan saling menguntungkan. Pajak dan bea cukai disepakati bersama sehingga tidak saling memberatkan dan merugikan satu sama lainnya.
Melalui tatakelola pelabuhan yang telaten telah menyebabkan kapal-kapal asing merasa nyaman berlabuh dan mengadakan transaksi dagang di pasai. Untuk mempertahankan kekuatan dagang, para sultan (raja) menyediakan kebutuhan dagang /barang /produk pertanian sesuai kebutuhan pasar internasional, seperti lada, rempah-rempah, beras, kapur barus, emas, dan lain-lain. Sementara para pedagang mancanegara mengimpor seperti tembikar, tembaga, besi, kain dan lain-lainnya. Keadaan yang saling menguntungkan ini terjaga sekian lama sehingga Samudera Pasai terkenal sebagai pelabuhan perdagangan internasional.
Karakter Pemimpin
Disamping sebagai pusat dagang—kekuatan Pasai disegani karena sebagai pusat pengembangan Islam di nusantara. Pengaruhnya dalam mensyiarkan Islam tak terbantahkan. Para sultan di kerajaan Samudera Pasai adalah pribadi yang taat pada perintah agama. Dalam kisah perjalanannya ke Pasai, Ibnu Battutah menggambarkan Sultan Malikul Dhahir sebagai raja yang sangat shaleh, pemurah, rendah hati, dan mempunyai perhatian kepada fakir miskin. Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Malikul Dhahir tidak pernah bersikap jemawa, tamak dan rakus pada harta.Ia menyatukan kerajaan Peureulak karena mencegah aggressor portugis—dan tentu untuk mengekalkan ajaran Islam. Tak heran pada makamnya ditulis “cahaya dunia sinar agama”.
Karakter dan perilaku terpuji dan keluhuran budi para sultan menyebabkan kerajaan Samudera Pasai dapat mengembangkan kemajuan. Pertama, para sultan sangatmembuka diri dan menghormati setiap kapal-kapal yang singgah dipelabuhannya.Kedua, sultan dan keluarga istana taat pada perintah agama. Islam adalah ideologi kerajaan. Ketiga, sultan berteman setia dengan ulama. Adanya kejujuran dan keikhlasan ulama menasehati para sultan. Keempat, sultan mengutus mubaligh dari keluarga, ulama dan keluarga sayid untuk menyebarkan Islam ke nusantara.
Begitulah fakta sejarah yang kita baca – dimana rakyat di Samudera Pasai dapat hidup damai dan sejahtera karena para sultan taat menjalankan perintah agama. Ia menegakkan shalat dan membangun mesjid dan memberikan perlindungan kepada ulama untuk membela pendidikan untuk tegaknya syiar Islam. Teokrasi menjadi landasan kerajaan sehingga Islam disebarkan ke nusantara, terutama ke pulau Jawa. Para mubalig secara khusus diutus untuk mengislamkan masyarakat Jawa. Anak sultan ke-15, Sultan Mahmud Malikul Zahir, yaitu Syarif Hidayatullah menjadi Panglima Demak melawan Portugis dan mendirikan kerajaan Banten di Jawa Barat – jelas membuktikan Samudera Pasai sangat besar peranannya.
Demikianlah ketika itu, kehidupan masyarakat Samudera Pasai diwarnai oleh agama dan kebudayaan Islam. Tak heran para sultan adalah peribadi yang rendah hati; sabar dan tenang dalam memerintah. Dengan berpegang teguh pada perintah agama sultan dapat memerintah negeri dengan arif, adil dan bijaksana. Para sultan senantiasa berpikir dan berperilaku menyenangkan rakyatnya. Sultan adalah seorang peribadi yang benar-benar prihatin akan nasib bangsa dan rakyatnya.
Dalam merancang dan mengerakkan pembangunan sultan selalu mengedepankan kerjasama dan harmoni, persahabatan dan menolak permusuhan. Namun para sultan tidak pernah diam ketika diserang. Majapahit, Portugis dan para penjelajah asing lainnya yang ingin menguasai negeri ini dengan tamak dan rakus dihadapi dengan kesastria. Begitulah para sultan di negeri ini memerintah dengan kelembutan namun menjadi tegas melayani musuh ketika di serang. Kalaupun memperluas negeri karena faktor diserang dan tidak ada maksud menguasai negeri tersebut kecuali untuk mensyiarkan agama.
Keruntuhan
Dalam sejarahnya, patut dicatat bahwa Pasai tidak memulai menyerang kecuali di serang. Banyak raja-raja di nusantara termasuk pendatang asing iri dan dengki melihat kemajuan Samudera Pasai. Mereka ingin menaklukkan dan menguasai pasai karena tanahnya yang subur dan kekayaan yang tersimpan di perut buminya melimpah. Banyak faktor sebuah kerajaan mengalami kemajuan, kegemilangan, kemunduran dan pada akhirnya mencapai keruntuhan. Fakta sejarah mengajarkan, baik dari Kerajaan Peureulak, Samudera Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam bahwa kerajaan mengalami kegoncangan ketika faktor internal dan eksternal. Konflik yang saling membelenggu; dengki dan penuh intriks kepentingan sesaat serta memperturutkan hawa nafsu.
Keruntuhan awalnya dipicu ketika pemimpin (para sultan yang memerintah) dilecehkan oleh bangsanya sendiri. Sebuah bangsa mengalami kemunduran karena kepemimpinan tidak dipegang oleh yang berhak, abai terhadap amanah dan tidak bertanggungjawab serta tidak berjuang keras memajukan bangsanya. Ketika anak-anak bangsa orientasinya ingin berkuasa semata atas perjuangan para endatunya—maka itu pertanda awal keruntuhan sebuah bangsa. Demikian halnya dengan Kesultanan Malikussaleh, dimana dapat disimpulkan hal-hal yang menyebabkan keruntuhan, diantaranya; Pertama, terjadinya perebutan kekuasaan. Intriks dan persengkongkolan di internal kesultanan untuk merebut kekuasaan memicu situasi kerajaan dalam kegelisahan yang berkepanjangan. Kedua, raja yang zalim. Hal inidipicu oleh kerakusan harta dan memperturutkan hawa nafsu. Sultan Sultan Ahmad Permala (sultan ke 8) dikenal sebagai sultan yang zalim di Kesultanan Malikussaleh ini.
Kemunduran Kesultanan Malikussaleh ditandai pula oleh munculnya aliran “Wujudiah”yang bertentangan dengan kerajaan. Seterusnya membungkam peran Ulama sebagai penasehat raja. Kita tau bagaimana Mangkubumi Ariya Bakoi rela membunuh ulama ketika ia disanggah untuk tidak menikahi putrinya. Demikian pula ketika orang-orang dekat dengan sultan bersikap begis dengan rakyat satu sisi dan memuja-muja sultan dilain kesempatan, atau ketika orang-orang di sekitar sultan berhasil menjauhkan dengan ulama dan rakyat, maka sejak itulah kerakusan dan ketamakan menuai benihnya. Bahkan tak heran kemudian mereka-mereka itu dengan licik dan tanpa memiliki rasa malu rela bersengkongkol dengan musuh saat kerajaan dalam keadaan kritis. Zainuddin, anak sultan Mahmud Malikul Zahir rela bekerjasama dengan Portugis demi kuasa dan haus harta.
Faktor-faktor tersebut menjadi penyebab Samudera Pasai mengalami kemunduran dan keruntuhan, ditambah penyerangan Portugis terus-menerus, pada akhirnya untuk menjaga maruah bangsa, kerajaan ini dileburkan ke dalam Kerajaan Aceh Darussalam. Satu riwayat kerajaan ini mulai disatukan pada masa Sultanah Nahrisyah karena menikah dengan Sultan Kerajaan Aceh ke-7 yang bernama Sultan Alaiddin Husain Syah Abdul Malik Al-Mubin. Namun, kerajaan Samudera Pasai resmi disatukan dengan kerajaan Aceh setelah sultan ke 16 yang bernama Sultan Zainal Abidin Malikul Zahir di serang oleh Portugis dan di tawan di Malaka. Seorang puteri sultan ini dinikahkan oleh Sultan Alaiddin Riayatsyah Al-Qahar (sultan ke 13 Kerajaan Aceh Darussalam).
Ketika Samudera Pasai disatukan dalam kerajaan Aceh Darussalam babak baru sejarah Aceh bukan mengalami kemunduran, namun tampil gemilang dengan segenap kemajuannya, tidak luput pula oleh sebab-sebab keruntuhannya, namun ketika diperebutkan—kemudian dengan gagah perkasa melawan aggresor yang ingin menguasai dan menjajahnya itu. Patut digarisbawahi bahwa kebesaran Kerajaan Aceh Darussalam tidak lepas begitu saja oleh jasanya yang begitu besar disumbangkan Kerajaan Samudera Pasai (Kesultanan Malikussaleh). Episode sejarah Aceh yang berkesinambungan itu, patut kita renungkan apa hikmahnya dapat kita ambil untuk generasi sekarang, terutama dari Kesultanan Malikussaleh.
Belajar Dari Malikussaleh
Melihat rentang sejarah peradaban Aceh jelas ada kesinabungan sejarah antara Kerajaan Peureulak, Samudera Pasai dan terakhir kerajaan Aceh Darussalam. Boleh dikatakan kebesaran Kesultanan Malikussaleh berada ditengah-tengahnya sebagai kesinambungan yang cukup membawa pengaruh penting dalam sejarah peradaban Aceh–tentu tidak boleh dilupakan sebagai penyambung lidah kemegahan Kerajaan Aceh Darussalam.
Kita perlu mendudukkan peran sejarah masa lalu untuk membangun Aceh masa kini. Hubungan kerjasama bilateral misalnya dengan Malaysia, Thailand, Cina, India, Turki, Arab, Eropa dan lain-lainnya perlu diperkuat kembali. Hubungan dagang dan pelabuhan-pelabuhan di Aceh perlu ditata ulang agar rentang sejarah tempo dulu dapat disambung kembali, untuk kepentingan yang tidak jauh berbeda, yaitu berbagi kepentingan dan kemakmuran dan kerjasama yang saling menguntungkan, seperti yang telah dirintis para endatu kita tempo dulu.
Ke depan kerangka kerjasama untuk kepentingan Aceh saat ini hendaknya dilakukan tanpa melupakan akar sejarah yang pernah terjalin erat dengan Malikussaleh tempo dulu. Kita punya modal sejarah yang sering kita lupakan atau mungkin sengaja kita pinggirkan. Kesadaran sejarah hanya mungkin semakin bermakna ketika pemiliknya cukup menghargainya sebagai warisan yang tidak dapat dinilai dengan apapun. Nampak kita belum belajar sepenuhnya pada akar sejarah yang kita miliki. Sangat mungkin karena pergolakan demi pergolakan tidak berhenti—karena memang kita rakyat Aceh senantiasa berjuang untuk keadilan, martabat dan maruahnya yang selalu dicabik-cabik.
Rentang pergolakan politik yang cukup panjang itu, dimana kita sendiri mengambil sikap bergabung dalam barisan utama yang dipimpin oleh Yang Mulia Wali Negara Teungku Syik Hasan Tiro, yang bertujuan mengembalikan martabat dan maruah Aceh. Pahit getir dalam hijrah, terluka perasaan, tergores jiwa dan oleh beban sejarah – tentu telah membuat kita semakin memahami maju mundurnya sebuah peradaban. Kini, setelah disepakatinya MoU Helsinki dengan pemerintah di Jakarta keadaan membentang sejuta harapan. Maknanya Aceh punya harapan membangun sejarahnya lebih gemilang. Apa yang kita miliki sekarang kita pugar untuk membangun Aceh lebih baik.
Oleh karena itu, belajar dari Kesultanan Malikussaleh kita perlu menelusuri kembali kerjasama yang pernah dirintis tempo dulu itu. Sejarah tempo dulu perlu kita dudukkan pada posisinya dalam rentang waktu kekinian. Adalah kita senantiasa perlu merevitalisasi sejarah masa lalu untuk kita tentukan masa kini dan arahkan pembangunan Aceh masa depan. Sebab itu, ke depan, setiap promosi dan hubungan bilateral Aceh, hendaknya diikat oleh sejarah masa lalu. Para tamu atau pejabat negara dan pemerintahan yang datang ke Aceh hendaknya jangan lagi dihadiahkan cenderamata seperti rencong atau simbol-simbol yang sifatnya simbolik semata. Ke depan siapapun yang berkunjung atas nama pejabat atau pelaku bisnis hendaknya diberikan buku-buku sejarah yang mengikat mereka bahwa tempo dulu dan sekarang sebuah rentang waktu yang tidak terputus dengan Aceh.
Untuk mencapai cita-cita tersebut, maka pengalaman-pengalaman sejarah tempo dulu dengan negara-negara asing yang pernah berhubungan dengan Aceh perlu ditulis kembali, setidaknya dalam bahasa Inggris dan Arab, sehingga nilai-nilai sejarah lebih faktuail diterjemahkan untuk kebaikan bersama untuk masa kini, dan kepentingan akan datang—tanpa meminggirkan orisinilitas fakta sejarah yang sesungguhnya berlangsung.
Belajar dari Malikussaleh, semua jejak sejarahnya perlu dikumpulkan kembali. Kita belum melihat perpustakaan yang utuh menyimpan khasanah atau buku-buku tentang Kesultanan Malikussaleh, maupun sejarah Aceh lainnya dengan lengkap. Banyak hal dapat kita lakukan sebenarnya—seperti menduplikat dokumen-dokumen sejarah Aceh yang masih tersimpan di berbagai negara, dan melacak situs makam-makam yang ada kaitannya dengan kerajaan Samudera Pasai. Mari sama-sama kita kembali menata kebesaran sejarah kita yang retak dan terpenggal itu, demi penghargaaan terhadap endatu dan anak cucu kita di masa akan datang. Wallahu’aklam.
Referensi
Ali Hasjmy, Sejarah Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, Al-Ma’arif, Jakarta, 1981
Anthony Reid, Asal Mula Konflik Aceh; Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera Hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Gramedia, Jakarta, 2006
Pocut Haslinda Syahrul, Silsilah Raja-Raja Islam di Aceh dan Hubungannya dengan Raja-Raja islam di Nusantara, Pelita Hidup Insani, Jakarta, 2008
Lampiran : Sultan-Sultan Kerajaan Samudera Pasai
1. Sultan ke-1 : Sultan Malikus Saleh (659-688H/1261-1289M)
2. Sultan ke-2 : Sultan Muhammad Malikul Zahir (688-725H/1289-1326M)
3. Sultan ke-3 : Sultan Mahmud Malikul Zahir (725-745H/1326-1345M)
4. Sultan ke-4 : Sultan Ahmad Malikul Zahir (745-783H/1345-1383M)
5. Sultan ke-5 : Sultan Zainal Abidin Malikul Zahir (783-804H/1383-1404M)
6. Sultan ke-6 : Sultan Muhammad Said Malikul Zahir (804-806H/1403-1405M)
7. Sultan ke-7 : Sultanah Bahiah (806-812H/1405-1411M)
8. Sultan ke-8 : Sultan Ahmad Permala (812-815H/1411-1412M)
9. Sultan ke-9 : Sultan Khaidir Malikul Zahir (815-824H/1412-1420M)
10. Sultan ke-10 : Sultanah Nahrisyah Malikul Zahir (824-832H/1420-1428M)
11. Sultan ke-11 : Sultan Bahrain Syah (832-848H/1428-1444M)
12. Sultan ke-12 : Sultan Abu Zaid Malikul Zahir (848-859H/1444-1455M)
13. Sultan ke-13 : Sultan Zainal Abidin Malikul Zahir (859-875H/1455-1470M)
14. Sultan ke-14 : Sultan Abdullah Malikul Zahir (875-896H/1470-1491M)
15. Sultan ke-15 : Sultan Mahmud Malikul Zahir (896-918H/1491-1511M)
16. Sultan ke-16 : Sultan Zainal Abidin Malikul Zahir (918-930H/1511-1523M)
[1].Penulis adalah pelaku sejarah dan pendiri Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1976. Disampaikanpada Konferensi dan Seminar Malikussaleh : Dulu, Kini dan Yang Akan Datang. Tanggal 11-12 Juli 2011 diGedung ACC Universitas Malikussaleh
Sumber :Kutipan
EmoticonEmoticon