28 Apr 2013

Antropolog Bilang: Dunia Politik Penuh Kutu Loncat

Seorang Antropolog Budaya Gregor Neonbasu SVD, PhD mensinyalir, kini dunia politik dipenuhi kutu loncat atau "papalele", sebuah kecenderungan para politisi pindah parpol setelah partai mereka tak lolos menjadi peserta Pemilu Legislatif 1014.

"Mungkin istilah (papalele-pedagang kecil-red) yang saya gunakan ini tidak benar, namun esensinya sangat jelas, yakni para caleg yang pindah parpol itu tidak tahu apa yang menjadi landasan utama untuk bergeser dari dasar pijak politiknya semula," katanya di Kupang, Sabtu, ketika ditanya Antara soal fenomena caleg pindah parpol.

Antropolog dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang itu mengatakan fenomena para politisi pindah parpol tersebut menjadi sebuah pertanyaan yang sangat fundamental, apakah karena kepentingan politiknya selama ini tidak terakomodir, atau ingin mencari pengalaman baru?

"Ataukah karena terdorong oleh sebuah panggilan politik yang lebih luhur, mulia dan bermartabat? Lalu, mungkinkah terdapat perbedaan antara pindah parpol untuk membaharui misi ’mengabdi’, atau tetap pada partai tertentu untuk lebih mendalami ’usaha mengabdi’...," katanya dalam nada tanya.

Yang pasti, tambah Ketua Komisi Sosial Budaya Dewan Riset Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur, bahwa fenomena pindah parpol tersebut merupakan hak para politisi dan mungkin itu merupakan kreativitas politik agar bisa dipertontonkan banyak orang.

Neonbasu mengatakan ada satu hal sangat janggal, namun menarik untuk direfleksi adalah kata-kata manis dan realitas mendasar, antara topeng dan orang dibaliknya, antara perkataan mereka sekarang dan perbuatan yang pernah mereka lakukan sebagai politisi.

"Seorang politisi hendaknya tidak terkurung dalam mindset, dan terlebih kata-kata manis yang diobral atau seperangkat tingkah laku politik yang terungkap secara liar untuk menarik massa. Ia harus terbebas dari topeng untuk terjun langsung dalam kenyataan masyarakat yang merindu pengabdian tulus," katanya.

Ia menambahkan setiap perubahan sosial dan kultural merupakan pencarian kekuasaan, sehingga memunculkan pertanyaan di sini, "Apakah politisi yang pindah parpol itu sungguh-sungguh dilandasi oleh sebuah strategi untuk mencari lahan guna melayani dan mengabdi kepada masyarakat"?

"Ataukah, fenomena pindah parpol itu sebagai sebuah strategi baru dari politisi tertentu ketika gagal dalam memberi terobosan bagi kehidupan partai, atau inikah pola yang tidak disadari untuk memporakporandakan konstelasi sistem perpolitikan yang semakin suram," katanya dalam nada tanya.

Akhlak politisi
Neonbasu mengatakan akhlak yang selalu melekat pada seorang politisi professional adalah berusaha untuk hidup seperti yang tidak biasa, artinya harus bertindak lain dari biasa, keluar dari diri sendiri dan seakan-akan berbuat seperti ’telah menjadi’, agar dengan mudah menarik perhatian, dan dengan demikian pula banyak orang bisa mengikuti walau tidak mengerti.

Secara kasat mata, kata dia, fenomena pindah parpol tersebut merupakan salah satu bentuk kemunafikan dari politisi tersebut dalam dunia politik kontemporer, karena cikal bakal demokrasi liberal yang sedang berkecambah dan tengah menguasai beberapa belahan politik sejumlah bangsa, lazim meniup-niup fenomena kemunafikan.

"Sering orang tidak menyukai kemunafikan, tetapi herannya bahwa setiap orang nyaris terjerembab di dalamnya. Sulit mengkritisi kemunafikan tanpa terjebak di dalam kemunafikan yang dikritisi seseorang".
"Mungkin sering kita harus bertanya pada diri sendiri, seberapa jauh kita dapat mentolerir kemunafikan oleh karena hal itu bukan lagi menjadi sesuatu yang baru," kata Neonbasu yang juga rohaniawan Katolik itu.

Ia menambahkan dalam jantung hati politik demokrasi liberal, fenomena itu bisa bertahan lama jika bercampur dengan sejumlah penipuan dan kepura-puraan.

"Masalah utama dari citra dunia perpolitikan kita saat ini adalah bahwa masyarakat liberal merupakan atau telah menjadi masyarakat demokratis, sehingga tidak ada lagi batas antara apa yang disebut liberal dan demokrasi," ujarnya.

Dalam situasi ini, tambahnya, para politisi demokratis nampaknya terperangkap dan tergoda untuk bersikap liberal serta hanyut dalam upaya mengejar kekuasaan dan mendapatkan suara.

"Apakah dengan adanya fenomena pindah parpol tersebut, kemunafikan politik dalam bingkai pemikiran para ahli akan dapat diatasi atau malah menjadi semakin lebar. Dalam bingkai NTT, telah lama kita berbenah diri untuk membangun masyarakat dengan berpedoman pada budaya kerukunan antaretnik, dan mencipta suasana hidup beragama yang bermartabat," katanya.

Dengan demikian, tambah Neonbasu, para politisi memiliki tanggungjawab moral untuk memelihara dan terus menjaga api kehidupan dalam bingkai budaya kerukunan antaretnik dan mencipta suasana hidup beragama yang bermartabat sebagai cermin kehidupan pribadi dan bermasyarakat.

Menurut dia, hal-hal tersebut pada sisi tertentu sangat baik untuk direvitalisasi dalam rangka mendukung usaha menjamin kerukunan dalam kehidupan bersama.

Reiuvenasi
Neonbasu mengatakan revitalisasi tersebut selalu merujuk pada apa yang disebut revisitasi yakni usaha untuk mengunjungi kembali nilai-nilai dan makna yang akan dikembangkan kembali.

"Revisitasi akan semakin mengarah pada cinta pada nilai-nilai terpuji serta sikap respek terhadap makna hidup yang terpandang. Namun, hal itu baru akan memungkinkan apabila diikuti oleh apa yang disebut ’reiuvenasi’, yakni usaha untuk meremajakan kembali makna dan nilai-nilai yang hendaknya menjadi akar dan fundasi kehidupan pribadi dan masyarakat," katanya.

Menurut dia, selalu muncul kesulitan jika revitalisasi langsung tertuju pada usaha menghidupkan kembali lantas tidak ada usaha untuk mengunjungi lagi patahan waktu yang telah lewat, karena aliran waktu yang sulit diredam atau sangat sukar dihentikan.

"Yang perlu diwaspadai dari politisi papalele adalah menjaga kerukunan hidup beragama, yang di dalamnya terdapat juga apresiasi masyarakat terhadap nilai-nilai dan makna yang terkristalisasi dalam budaya masyarakat," katanya.

Ia menambahkan pada satu sisi, budaya masyarakat pada semua tempat (dan suku) selalu menghargai dengan tulus hidup rukun antaragama, hidup selaras tanpa mempersoalkan perbedaan berkenaan dengan beda etnik, dan selalu waspada untuk tidak bersikap munafik.

Ide dasar kerukunan tersebut, tambahnya, selalu haram terhadap sikap munafik dan senantiasa lekat pada tradisi dan budaya masyarakat biasa, ketika masyarakat tradisional belum terkontaminasi dengan trend-trend modern.

Ia mengatakan dalam upaya untuk menanamkan makna dan nilai kerukunan hidup beragama dan terlebih berkenaan dengan strategi yang sinergis untuk menjawab berbagai tantangan politik dewasa ini adalah menerapkan dialog kehidupan dengan mencari cara, pola, sistem dan pendekatan dialog yang langsung berkenaan dengan suasana kehidupan nyata dalam masyarakat setiap hari.

"Hidup rukun dan sikap tolerans harus ditunjuk dalam berbagai lini tingkah laku dalam masyarakat. Pola hidup rukun dan damai hendaknya dijadikan sebagai ujung tombak berbagai program pembangunan yang semakih mengglobal menuju masyarakat Indonesa baru yang lebih bermartabat," demikian Gregor Neonbasu.

Sumber :Oase Kompas

Lorem ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry.


EmoticonEmoticon