28 Apr 2013

HAMZAH FANSURI PELETAK DASAR ESTETIKA PUISI MELAYU MODERN

Oleh Riki Dhamparan

Gelombang pribumisasi Islam dalam kebudayaan Nusantara sejak dari abad 14 sampai abad 19 ditandai oleh suburnya penulisan puisi-puisi keagamaan, yang menurut Abdul Hadi WM meliputi: (1) Syair Tasawuf; (2) Syair Nasehat Keagamaan; (3) Syair Nasehat Budi Pekerti dan Adat istiadat (4) Syair Sejarah; (5) Syair Hikayat; (6) Syair Percintaan; (7) Syair Ibarat; dan syair tema-tema lain di luar yang telah disebutkan. Terdapat ribuan manuskrip, baik tanpa nama pengarang maupun yang mempunyai nama pengarang, yang telah ditemukan untuk seluruh kategori itu dan ditulis dalam berbagai bahasa lokal di kawasan kepulauan Nusantara.

Lebih jauh ditegaskan oleh Abdul Hadi WM dalam “Warisan Intelektualisme Islam Di Nusantara”, para penyair Melayu sejak abad ke 14 tidak lagi sekadar menyadur dan menggubah kembali karya-karya Arab dan Parsi, melainkan mulai benar-benar melahirkan karya yang orisional dan ekspresif dan menjadikan Islam itu sebagai ’diri yang sah’ dan utuh dalam sejarah peradaban dan kebudayaan bangsa-bangsa Nusantara.


Di bidang sastra dan tasawuf, tokoh yang meletakkan tonggak dasar pelokalan (khususnya ajaran Tasawuf) ke dalam sastra tulis Melayu adalah Syeikh Hamzah Fansuri, seorang ulama sufi, mufti Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Iskandar Muda. Bahkan bagi pengamat sastra Indonesia, A Teeuw, Hamzah Fansuri adalah penyair modern pertama yang menciptakan bentuk-bentuk baru yang akan membuka jalan bagi kelangsungan sajak modern Indonesia di abad 20.


Ciri-ciri kemodernan syair-syair Hamzah Fansuri menurut A.Teeuw terletak pada tiga hal. Pertama, kesadaran hak cipta. Berbeda dengan pola penulisan sastra Melayu lama, Hamzah Fansuri justru dengan tegas mengemukakan dirinya sebagai pengarang. Dengan demikian Hamzah Fansuri melambangkan era baru dalam sastra, Kedua, Hamzah Fansuri menciptakan bentuk puisi baru untuk mengungkapkan gerak sukmanya. Ketiga, kreatifitas bahasa. Di mana kemunculan kosa kata maupun bahan-bahan Arab dan Parsi dalam syairnya justru tampil dalam kaidah-kaidah lokal. Mengutip Barginsky, Teeuw menegaskan, akibat kreatifitas bahasa yang demikian, bahasa Melayu baru dapat dilahirkan melalui karya Hamzah Fansuri.


Syeikh Hamzah Fansuri adalah tokoh yang paling fenomenal yang selalu muncul dalam sejarah Islam di Indonesia, maupun dalam tulisan-tulisan para penelaah sastra Melayu dalam abad ke 20. Dalam catatan sejarah mengenai pergolakan pemikiran Islam di Aceh, dia adalah tokoh yang mengembangkan tasawuf ke dalam aspek sosial ( Tasawuf Sosial) melalui kritik yang tersublim di dalam syair-syair maupun risalah-risalah tasawufnya. Beliau juga kontroversial karena mengembangkan ajaran Wahdatul Wujud ( Martabat Tujuh ) di Indonesia. Yang menyebabkan dia diserang dan pengikut ajarannya difatwa sesat serta diburu oleh mufti Aceh ( Nuruddin Ar Ranirri ) semasa Sultan Iskandar Tsani.


Bertolak belakang dengan fatwa itu, dalam bidang sastra semua pengkaji kebudayaan Melayu justru berpendapat, syair Hamzah Fansuri adalah syair Melayu pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu serta yang menciptakan kaidah-kaidah penulisan sajak Melayu modern dan menjadi dasar dari penciptaan sajak-sajak berbahasa Melayu di kemudian hari. Karena itu ia dijuluki peletak dasar estetika puisi tulis bahasa Melayu. Pengaruhnya yang besar membuat para pengkaji budaya Islam Nusantara kemudian menyimpulkan bahwa “penulis-penulis Melayu abad ke-17 dan ke-18 kebanyakan berada dibawah bayang-bayang kegeniusan dan kepiawaian Syekh Hamzah Fansuri…”


Ungkapan-ungkapan dalam bahasa metafisika dan ilmu ilahi hampir tidak terdapat di dalam risalah-risalah Hamzah Fanshuri. Kutipan reminisensi dari al-Qur’an memang sedikit sekali. Dan kadang-kadang kutipan itupun tampil dalam versi Melayu, bukannya versi Arab.


Di bidang filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra, Hamzah Fansuri telah pula mempelopori penerapan metode takwil atau hermeneutika kerohanian. Kepiawaian Hamzah Fansuri di bidang hermeneutika terlihat di dalam Asrar al’Arifin, sebuah risalah tasawuf penting berbobot yang pernah dihasilkan oleh ahli tasawuf nusantara. Di situ ia memberi tafsir dan takwil atas puisinya sendiri, dengan analisis yang tajam dan landasan pengetahuan yang luas mencakup metafisika, teologi, logika, epistimilogi dan estetika.


Ciri lainnya yang menonjol dari karya Hamzah Fansuri adalah usaha mengangkat tamsil bahari yang menjadi ciri dunia Melayu ke dalam ajaran sufi. Ungkapan-ungkapan dari perbendaharaan bahari lokal seperti perahu, kayu, kapur barus, hadir di dalam syair-syair Hamzah Fansuri dalam makna yang universal.


Tamsil perahu, anak dagang, anak jameu, merupakan metafor yang merakyat dalam imajinasi dunia Melayu. Sesudah Hamzah Fansuri mengangkatnya dalam syair tertulis ungkapan-ungkapan itu masih terus direproduksi secara terus menerus dalam karya-karya sufi Nusantara sesudahnya. Bahkan, kata “Barus” dan “Kapur” yang ia gunakan dalam Syair Perahu, oleh para peneliti dijadikan sebagai salah satu rujukan untuk mendukung “teori kapur barus” dalam menelusuri sejarah masuknya Islam ke Nusantara.


Di bawah ini adalah kutipan dari Syair Perahu Hamzah Fansuri:
Hamzah Fansuri di negeri MelayuTempatnya kapur di dalam kayuAsalnya manikam di manakan layuDengan ilmu dunia di manakan payu
Hamzah Syahr Nawi terlalu hapusSeperti kayu sekalian hangusAsalnya laut tiada berarusMenjadi kapur di dalam barus
(kutipan Syair Perahu)
Kerjamu itu hai anak dagangPada ahl-ma’rifat terlalu malangMarikab Tauhid Yogya kau parangDi tengah laut yang berkarang
(Kutipan Syair Dagang)


Ada pengkaji yang mengatakan bahwa sajak-sajak yang dinisbatkan kepada nama Hamzah Fansuri ini dikarang oleh murid-muridnya. Mengapa nama Hamzah Fansuri tetap muncul sebagai pengarang, itu karena dalam tradisi orang tasawuf menisbatkan sebuah karya kepda guru adalah hal yang lazim. Mungkin inilah beda yang mendasar antara tradisi penulisan di zaman Hamzah Fansuri dengan tradisi penulisan zaman kita sekarang.


Klaim terhadap hak cipta, bukanlah soal penting, karena sebuah ciptaan hanya boleh dimonopoli oleh Sang Pencipta yang sejati, yaitu Allah Yang Esa. Seorang Mursyd atau Guru Rohani dalam hal ini, merupakan juru kunci yang akan membuka jalan ke keluasan Ilmu Allah itu. Karenanya, menisbatkan karya kepada Mursyd sama artinya membuka jalan pada dan harapan akan keridaan Allah Taala.


Tidak diketahui kapan dan di mana Hamzah Fansuri wafat. Bahkan tahun dan tempat lahirnya masih dalam perdebatan mengingat ada beberapa sumber yang berbeda. Namun demikian, lewat syair-syairnya yang dalam dan indah itu, Hamzah Fansuri telah meninggalkan suatu warisan yang penting buat ilmu pengetahuan dan perkembangan bahasa Melayu di kemudian hari.
(Dipetik dari Kulturpedia, sesuai dengan aslinya)


Sumber: Bengkel Puisi

Lorem ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry.


EmoticonEmoticon