Oleh Teuku Kemal Fasya
-
ENTAH siapa yang berinisiatif menjadikan sebuah ruas simpang lima Banda Aceh, yaitu Jalan Tgk Daud Beureueh (dulu Jalan T Nyak Arief) sepanjang satu kilometer sebagai hari bebas kenderaan bermotor (Car Free Day/CFD) pada hari Minggu, tetap saja sebuah ide yang cerdas. Jalan itu pada minggu pagi dari pukul 06.00-10.00 WIB telah menjadi milik publik dengan sebenar-benarnya.
Tidak ada mobil penguasa atau pengusaha yang bisa memacu kendaraan di jalan itu pada jam itu. Ruas jalan itu beberapa saat bebas digunakan publik untuk berolahraga, berkesenian, beriklan, atau berjualan. Inilah makna ketika publik benar-benar merasakan arti kotanya, merasakan pembauran sempurna sesama warga dengan penuh ceria, memanfaatkan jalan dan menghirup udara jernih setelah sekian hari teracuni timbel dan karbondioksida.
Ide ini sebenarnya telah dipraktikkan cukup lama di beberapa kota besar Indonesia. Surabaya sudah melaksanakannya sejak tahun 2000, dilanjutkan Jakarta dua tahun kemudian. Di Jakarta CFD dilaksanakan di Jalan Sudirman dan di Surabaya dilaksanakan di tiga jalan (Jalan Raya Darmo, Jalan Kertajaya, dan Jalan Tunjungan). Meskipun telat, kebijakan Kota Banda Aceh ini patut diapresiasi.
Ruang publik
Apa yang dilakukan Banda Aceh telah menjadi etika global terkait pentingnya kota-kota dunia menyediakan ruang terbuka hijau, areal nol pembangunan, dan wilayah cagar budaya. Alasannya agar kota jangan sampai terluka, dan terkepung kepentingan komersialisme dan melupakan perannya sebagai tempat perlindungan (the place of refuge) bagi kemanusiaan, kebudayaan, dan sejarah penduduknya.
Kota yang baik adalah yang mampu menyimpan memorinya dengan baik, yang ditentukan dengan adanya gedung-gedung bersejarah, gedung pertunjukan, museum, dan monumen-monumen. Pemerintah kota yang demokratis harus menyediakan ruang publik yang memadai bagi setiap warganya.
Istilah planologi tentang ruang publik itu adalah public space, yaitu ruang dalam arti harfiah. Namun ada istilah lain yang akan dikisahkan dalam tulisan ini, yaitu ruang publik perspektif Juergen Babermas, yang diterjemahkan public sphere, yaitu ruang yang diimajinasikan tempat terjadinya pertukaran gagasan, ide, dan informasi secara rasional.
Mengapa Habermas memikirkan demikian? Itu karena pengalamannya sebagai warga Jerman ketika ruang publik dibajak oleh penguasa untuk mendiseminasi gagasan-gagasan ideologis dan propagandis, merampas rasionalitas publik dan menjejalnya dengan kemasan politik anti-rasional dan demagogis. Meskipun gagasan ini muncul pada era 1960-an, Habermas melihat ada kesamaan antara semua borjuis politik, yaitu menggiring kesadaran publik tetap infantilis, kekanak-kanakan dan tidak matang.
Ruang publik yang dikatakan oleh Habermas itu akan terjadi jika ada “tindakan komunikasi bertujuan” (kommunikativen Handeln) yang dilakukan oleh setiap warga secara demokratis dan setara. Aksi komunikasi ini akhirnya menghasilkan konsensus yang disebut dengan rasionalitas nilai atau Wertrationalität (F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, 1993).
Tentu yang disebut komunikasi bertujuan itu bukan bisik-bisik warung kopi, fitnah personal di acara arisan, atau gosip-gosip yang tak terketahui juntrungannya, tapi memang komunikasi yang dilakukan secara setara, deliberatif dan sehat. Fitnah, gosip, atau basa-basi memang dimaksudkan sebagai “pekerjaan”, namun dalam bahasa Jerman tindakan seperti itu diklasifikasi sebagai arbeit, belum sampai pada taraf kommunikation.
Definisi ruang publik bukan saja ruang terbuka untuk publik, yang biasa dilakukan oleh mahasiswa dan dosen memanfaatkan suasana di luar kelas seperti taman, perpustakaan, dan museum, tapi juga media massa. Media massa bagi Habermas adalah ruang yang bisa dimanfaatkan publik untuk kepentingan menghela birokratisasi dan formalisasi hukum dan politik yang kerap mengepungnya.
Azas kepatutan, mendahulukan fakta dan bukan opini, keperpihakan pada publik, dan kebaikan bersama harus menjadi dimensi media massa yang sehat. Jika media massa telah dikangkangi oleh kepentingan borjuisme modal, politik, dan agama tertentu maka tidak dapat disebut sebagai instrumen komunkasi yang demokratis.
Semakin sulit
Saat ini memang semakin sulit kita menemukan media massa yang sehat dan bisa mencerahkan; Media yang bisa yang memenuhi rasa dahaga publik untuk memilah mana fakta dan mana proganda. Semakin mudah menunjuk media yang mengaburkan segala sesuatu. Kesaksian media massa adalah membahasakan si bisu dan menolong si lemah dan bukan malah melakukan tindakan sebaliknya.
Industrialisasi media massa memang menjebak (anehnya media suka terjebak) pada kepentingan kapitalisme dan fundamentalisme (aspek yang mengaku hanya ada kebenaran tunggal yaitu dirinya sendiri). Media memang berpihak, tapi sayangnya kepada banalisme atau kedangkalan, seperti mengeksploitasi sisi personal dan hal-hal sensual, tapi gagal menuju hal substansial demi kepentingan sosial dan pengetahuan.
Dalam masyarakat yang telah maju, ketidakpercayaan kepada media mainstream memiliki kanalisasi ke dalam bentuk media sosial. Bagi masyarakat sehat, tindakan komunikasi dalam media sosial memang individual, tapi mampu digunakan untuk memberikan klarifikasi bagi publik, dan tidak membiarkan kedangkalan dilawan dengan kedangkalan baru.
Komunikasi di media sosial dalam masyarakat modern adalah menyasar publik untuk mau belajar mendewasakan cara berpikir dan berkomunikasi secara bersama-sama, sekaligus menjauhi model komunikasi purba; memfitnah dan propaganda.
Inilah trisula untuk menumbuhkan model demokrasi deliberatif, yaitu adanya manusia dewasa yang berbicara demi kepentingan publik secara rasional, adanya ruang publik yang sehat, dan adanya komunikasi yang kuat untuk menghela segala tahyul yang ada di dalam instrumen kultural manusia; pengetahuan, agama, dan seni.
Tanpa itu, kita tak berjalan kemana-mana dalam peradaban politik dan komunikasi saat ini. Pengetahuan tidak bertambah, hanya umur yang bertambah, sayangnya semakin tua semakin kanak-kanak.
* Teuku Kemal Fasya, Penulis Tema-tema Sosial-kemasyarakatan. Email: kemal_antropologi2@yahoo.co.uk
Sumber: Serambi Indonesia, 3 Desember 2012
Page http://aceh.tribunnews.com/2012/12/03/demokrasi-dan-ruang-publik
-
ENTAH siapa yang berinisiatif menjadikan sebuah ruas simpang lima Banda Aceh, yaitu Jalan Tgk Daud Beureueh (dulu Jalan T Nyak Arief) sepanjang satu kilometer sebagai hari bebas kenderaan bermotor (Car Free Day/CFD) pada hari Minggu, tetap saja sebuah ide yang cerdas. Jalan itu pada minggu pagi dari pukul 06.00-10.00 WIB telah menjadi milik publik dengan sebenar-benarnya.
Tidak ada mobil penguasa atau pengusaha yang bisa memacu kendaraan di jalan itu pada jam itu. Ruas jalan itu beberapa saat bebas digunakan publik untuk berolahraga, berkesenian, beriklan, atau berjualan. Inilah makna ketika publik benar-benar merasakan arti kotanya, merasakan pembauran sempurna sesama warga dengan penuh ceria, memanfaatkan jalan dan menghirup udara jernih setelah sekian hari teracuni timbel dan karbondioksida.
Ide ini sebenarnya telah dipraktikkan cukup lama di beberapa kota besar Indonesia. Surabaya sudah melaksanakannya sejak tahun 2000, dilanjutkan Jakarta dua tahun kemudian. Di Jakarta CFD dilaksanakan di Jalan Sudirman dan di Surabaya dilaksanakan di tiga jalan (Jalan Raya Darmo, Jalan Kertajaya, dan Jalan Tunjungan). Meskipun telat, kebijakan Kota Banda Aceh ini patut diapresiasi.
Ruang publik
Apa yang dilakukan Banda Aceh telah menjadi etika global terkait pentingnya kota-kota dunia menyediakan ruang terbuka hijau, areal nol pembangunan, dan wilayah cagar budaya. Alasannya agar kota jangan sampai terluka, dan terkepung kepentingan komersialisme dan melupakan perannya sebagai tempat perlindungan (the place of refuge) bagi kemanusiaan, kebudayaan, dan sejarah penduduknya.
Kota yang baik adalah yang mampu menyimpan memorinya dengan baik, yang ditentukan dengan adanya gedung-gedung bersejarah, gedung pertunjukan, museum, dan monumen-monumen. Pemerintah kota yang demokratis harus menyediakan ruang publik yang memadai bagi setiap warganya.
Istilah planologi tentang ruang publik itu adalah public space, yaitu ruang dalam arti harfiah. Namun ada istilah lain yang akan dikisahkan dalam tulisan ini, yaitu ruang publik perspektif Juergen Babermas, yang diterjemahkan public sphere, yaitu ruang yang diimajinasikan tempat terjadinya pertukaran gagasan, ide, dan informasi secara rasional.
Mengapa Habermas memikirkan demikian? Itu karena pengalamannya sebagai warga Jerman ketika ruang publik dibajak oleh penguasa untuk mendiseminasi gagasan-gagasan ideologis dan propagandis, merampas rasionalitas publik dan menjejalnya dengan kemasan politik anti-rasional dan demagogis. Meskipun gagasan ini muncul pada era 1960-an, Habermas melihat ada kesamaan antara semua borjuis politik, yaitu menggiring kesadaran publik tetap infantilis, kekanak-kanakan dan tidak matang.
Ruang publik yang dikatakan oleh Habermas itu akan terjadi jika ada “tindakan komunikasi bertujuan” (kommunikativen Handeln) yang dilakukan oleh setiap warga secara demokratis dan setara. Aksi komunikasi ini akhirnya menghasilkan konsensus yang disebut dengan rasionalitas nilai atau Wertrationalität (F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, 1993).
Tentu yang disebut komunikasi bertujuan itu bukan bisik-bisik warung kopi, fitnah personal di acara arisan, atau gosip-gosip yang tak terketahui juntrungannya, tapi memang komunikasi yang dilakukan secara setara, deliberatif dan sehat. Fitnah, gosip, atau basa-basi memang dimaksudkan sebagai “pekerjaan”, namun dalam bahasa Jerman tindakan seperti itu diklasifikasi sebagai arbeit, belum sampai pada taraf kommunikation.
Definisi ruang publik bukan saja ruang terbuka untuk publik, yang biasa dilakukan oleh mahasiswa dan dosen memanfaatkan suasana di luar kelas seperti taman, perpustakaan, dan museum, tapi juga media massa. Media massa bagi Habermas adalah ruang yang bisa dimanfaatkan publik untuk kepentingan menghela birokratisasi dan formalisasi hukum dan politik yang kerap mengepungnya.
Azas kepatutan, mendahulukan fakta dan bukan opini, keperpihakan pada publik, dan kebaikan bersama harus menjadi dimensi media massa yang sehat. Jika media massa telah dikangkangi oleh kepentingan borjuisme modal, politik, dan agama tertentu maka tidak dapat disebut sebagai instrumen komunkasi yang demokratis.
Semakin sulit
Saat ini memang semakin sulit kita menemukan media massa yang sehat dan bisa mencerahkan; Media yang bisa yang memenuhi rasa dahaga publik untuk memilah mana fakta dan mana proganda. Semakin mudah menunjuk media yang mengaburkan segala sesuatu. Kesaksian media massa adalah membahasakan si bisu dan menolong si lemah dan bukan malah melakukan tindakan sebaliknya.
Industrialisasi media massa memang menjebak (anehnya media suka terjebak) pada kepentingan kapitalisme dan fundamentalisme (aspek yang mengaku hanya ada kebenaran tunggal yaitu dirinya sendiri). Media memang berpihak, tapi sayangnya kepada banalisme atau kedangkalan, seperti mengeksploitasi sisi personal dan hal-hal sensual, tapi gagal menuju hal substansial demi kepentingan sosial dan pengetahuan.
Dalam masyarakat yang telah maju, ketidakpercayaan kepada media mainstream memiliki kanalisasi ke dalam bentuk media sosial. Bagi masyarakat sehat, tindakan komunikasi dalam media sosial memang individual, tapi mampu digunakan untuk memberikan klarifikasi bagi publik, dan tidak membiarkan kedangkalan dilawan dengan kedangkalan baru.
Komunikasi di media sosial dalam masyarakat modern adalah menyasar publik untuk mau belajar mendewasakan cara berpikir dan berkomunikasi secara bersama-sama, sekaligus menjauhi model komunikasi purba; memfitnah dan propaganda.
Inilah trisula untuk menumbuhkan model demokrasi deliberatif, yaitu adanya manusia dewasa yang berbicara demi kepentingan publik secara rasional, adanya ruang publik yang sehat, dan adanya komunikasi yang kuat untuk menghela segala tahyul yang ada di dalam instrumen kultural manusia; pengetahuan, agama, dan seni.
Tanpa itu, kita tak berjalan kemana-mana dalam peradaban politik dan komunikasi saat ini. Pengetahuan tidak bertambah, hanya umur yang bertambah, sayangnya semakin tua semakin kanak-kanak.
* Teuku Kemal Fasya, Penulis Tema-tema Sosial-kemasyarakatan. Email: kemal_antropologi2@yahoo.co.uk
Sumber: Serambi Indonesia, 3 Desember 2012
Page http://aceh.tribunnews.com/2012/12/03/demokrasi-dan-ruang-publik
EmoticonEmoticon