Oleh Yuswar Yunus
-
BARANGKALI Syekh Abdul Rauf Al Singkili merasa amat sedih dan prihatin, ketika mengetahui perguruan tinggi yang mengabadikan namanya sebagai Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), harus berhadapan dengan aparat hukum. Satu persatu pimpinan Unsyiah diinterogasi oleh aparatur kejaksaan sebagai saksi, kini terlihat jelas siapa yang menjadi tersangka. Isu korupsi telah lama berkembang, dari dana beasiswa guru daerah terpencil (Gurdacil APBA) yang konon masuk ke rekening pribadi rektor. Bahkan, berbagai aset Unsyiah yang dikomersilkan --mestinya bisa menjadi income generating bagi perguruan tinggi kebanggaan Aceh itu-- dananya masuk ke kantong koruptor.
Boleh jadi Majid Ibrahim, Ibrahim Hasan, dan Dayan Dawood, tiga mantan rektor Unsyiah yang namanya legendaris tersebut dan seluruh civitas akademikanya, harus ber-tafakkur dan prihatin melihat kondisi Unsyiah yang dibawa arus oleh para maling yang tentu memiliki “imam besarnya” untuk memanipulasi kekayaan Unsyiah. Konon pula dilakukan berjamaah dan diprediksi untuk imam besarnya tentu, berada pada katagori V.I.P sebagai komandan untuk bagi-membagi “buah quldi” dalam memperkaya diri.
Kita harapkan, mudah-mudahan para maling sebagai mantan penguasa di kampus Unsyiah punya kebijakan qalbu, untuk berbicara apa adanya dan tidak perlu berkelit, dari pada satu saat di alam ayunan metafisika Tuhan, harus menghadapi pengadilan suci di hadapan Maha Pencipta agar pasrah untuk diazab, dilumat dan dilempar ke api neraka akibat perbuatan --jin jahatnya-- yang bergelamor dengan korupsi.
Menurut sinyalemen, banyak yang dikorupsi dari yang seharusnya menjadi income Unsyiah itu, seperti sewa Gedung AAC Dayan Dawood, sewa Wisma Tamu, sewa Wisma Kompas dan sewa Asrama Komplek Mahasiswa (Askopma), sewa tanah dari dua manara Telkomsel. Konon, pendapatan dari hasil sewa sejak 2006-2012, yang jumlahnya mencapai miliaran rupiah tidak masuk ke kas Unsyiah dan tanpa diaudit oleh akuntan publik. Ini pun kelihatannya didiamkan saja tanpa bergeming untuk diusut.
Realitas yang menjadi berita menarik di media masa tersebut, perlu juga disikapi, bahwa seseorang tidak perlu diberi stempel di jidatnya sebagai maling, kalau pengadilan belum pernah memvonisnya bersalah sebagai koruptor, dan semua kita patut menganut prinsip azas praduga tak bersalah untuk penguasa kampus yang hakikatnya mereka bukan sebagai maling, tetapi terlanjur dalam hobbi di mana ia berpeluang menjadi maling.
Tentu, lembaga ilmiah seperti Unsyiah seharusnya menjadi teladan, suri bagi seluruh civitas akademikanya dan publik untuk menunjukkan jatidirinya sebagai lembaga pendidikan yang didalamnya ditemukan - pemimpin yang amoral - persis seperti ikan hiu yang mematuk apa saja yang ditemukan di sekelilingnya, termasuk bangkai manusia disikatnya, untuk memenuhi hasrat keserahannya dalam urusan tamak-teumamak. Boleh jadi ia lupa siapa dirinya dan bagaimana dengan masa lalunya, semua staf kampus mengetahui pasti.
Adalah Teungku Syiah Kuala yang berumur 105 tahun dan menjadi Kadhi Malikul Adil di Kerajaan Aceh Darussalam, merupakan pemegang amanah dan menjadi panutan dengan kharismanya yang dijadikan teladan bagi rakyat Aceh. Begitu juga Sultan Aceh memangku jabatan sebagai Sultan Malikul Adil ketika itu. Patron dari Kerajaan Aceh Darussalam ini, seharusnya menjadi design di kampus Unsyiah, untuk dinobatkan menjadi Rektor Malikul Jujur.
Di sini tak bisa serta merta disimpulkan, bahwa perilaku korupsi adalah semacam anomali atau penyakit khusus yang berlaku pada sejumlah orang, ataukah ia memiliki infrastruktur budaya yang memang mendarah daging secara lebih menyeluruh yang ikut merasuk pada kehidupan pemimpin kampus di Aceh, yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Kondisi Unsyiah yang menjadi cibiran publik dan wajah kampus yang tercoret oleh sifat tamak para pelakunya dan kehilangan rasa malu, karena semakin ia memanfaatkan uang curian (haram), maka hatinya pun akan semakin tertutup untuk lupa daratan, dosa kian ditambah yang pada akhirnya, hatinya kian membatu dan semakin larut dengan keserakahan.
Rektor perlu bertindak
Karenanya diharapkan Rektor Unsyiah sekarang perlu segera bertindak: Pertama, mengundang semua anggota Senat Universitas (umumnya para guru besar) untuk membahas apa yang terjadi di kampus, yang selama ini terkesan tiap persoalan (korupsi) ditutupi dan seakan-akan gampang diselesaikan sesuai jalur hukum. Persoalan besar seperti yang dialami sekarang oleh Unsyiah, tidak cukup Rektor untuk bermusyawarah hanya dengan Pembantu Rektornya yang notabene mereka adalah para status quo.
Kedua, penyakit Unsyiah yang kronis sekarang harus segera dicari solusinya, agar para petinggi Unsyiah sekarang tidak salah kaprah dalam mengambil kebijakan. Perlu membuka pintu selebar-lebarnya, agar Kejaksaaan, BPK, BPKP, Inspektorat dan KPK atau aparat hukum sejenisnya, segera membongkar “lemari besi” Unsyiah, menyimak satu persatu apa yang telah terjadi.
Sinyalemen korupsi oleh penguasa kampus, konon ada temuan lain selain Gurdacil, dengan besaran mencapai Rp 57 miliar lebih yang telah diketahui oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Sinyalemen lain lagi, tentang dana aspirasi DPR RI sebesar Rp 50 miliar untuk University Farm Unsyiah (2010), konon tidak jelas pertanggungan jawabnya (mudah-mudahan ini semua tidak benar dan jika pun benar harus segera diusut).
Ketiga, Kantor Rektorat Unsyiah yang telah dibangun kembali, tidak jelas sumber dananya dan menurut sinyalemen tidak pernah ditender, sehingga itu pun menjadi isu menarik yang perlu dijelaskan kepada anggota Senat Universitas dalam rapat paripurna, agar tidak terkesan bimsalabin... abrakadabra... Unsyiah, sebagai institusi terhormat dan sebagai perguruan tinggi yang memiliki sejarah panjang, hendaknya tidak hanya bangga dengan SDM-nya, lebih dari itu perlu pendidikan sumber daya insani (SDI) agar alumnus dan segenap pimpinannya diharapkan benar-benar bermoral.
Keempat, kehancuran Unsyiah sekarang, patut diprihatini dan bukan diamini oleh civitas akademika kampus yang sekarang muncul kelompok pro-kontra dan terikat oleh siklus atau kelompok Status Quo, sehingga terlihat timbul kelompok baru yang apatis, mereka jenuh atas apa yang terjadi terhadap Unsyiah yang kemalingan, di mana peran Senat Universitas harus segera proaktif dan perlu mengambil inisiatif untuk mendampingi rektor baru. Peran Senat Unsyiah, bukan sebagai tempat bernaung tanpa tujuan, bukan pula sebagai tempat berkumpul tanpa peran. Ide/saran Komisi Senat harus ada realisasinya. Peran senat untuk monitoring dan evaluasi harus difungsikan dan kepemimpinan Unsyiah harus lebih transparan.
Kelima, kondisi Unsyiah Masa Lalu, dimana keputusan senat kurang diimplementasi dan terkesan sangat otoriter dan semena mena serta tertutup, di sisi lain seluruh civitas akademika Unsyiah merindukan perubahan. Setelah Unsyiah dipimpin oleh Rektor baru sekarang, menjadi optimis, dengan harapan perlu mengedepankan keterbukaan. Tanpa keterbukaan, maka kepemimpinan Unsyiah akan rapuh. Unsyiah sebagai perguruan tinggi tertua di Aceh, menjadi kebanggaan bersama. Tridarma Perguruan Tinggi sebagai obor yang harus dipedomani. Visi dan Misi Unsyiah pembuka jalan menuju Unsyiah yang handal.
Keenam, Rektor Unsyiah sekarang dituntut prestasi kerja selama ia dipercayakan memimpin Unsyiah, kalau memang prestasinya bagus selama sisa waktu sampai 2014, maka ia pasti akan dipilih lagi, karena yang paling utama ia dituntut untuk membersihkan semua anasir yang telah meuligan ek di rektorat (mudah-mudahan Rektor Unsyiah sekarang tidak terlibat korupsi). Apakah Rektor sekarang, mampu untuk bertindak cepat, untuk membongkar seluruh kezaliman manipulasi di Unsyiah? Karena ia sekarang masih dikawal oleh pembantunya, para status quo mantan pembantu pemimpin masa lalu yang menjadi tersangka?
Kita semua berharap, seharusnya buka kulit tampak isi. Siapa pun pemimpin kampus yang durhaka kepada Unsyiah dan yang bakal menerima anugerah vonis sebagai koruptor, maka sebelum ia menginap di hotel prodeo, harus memperbanyak zikir bahkan bila perlu ditepungtawari (dipesijuek) terlebih dulu di lapangan tugu Darussalam, dengan harapan tidak akan muncul lagi tersangka-tersangka baru. Siapa pun ia, tidak kecuali, berjamaah atau bukan harus ditindak sesuai hukum yang berlaku.n
* Yuswar Yunus, Guru Besar Mekanisasi Pertanian Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Email: yuswar_dr@yahoo.com
Sumber : Serambi Indonesia, 23 April 2013
Page http://aceh.tribunnews.com/2013/04/23/koruptor-unsyiah-abrakadabra
-
BARANGKALI Syekh Abdul Rauf Al Singkili merasa amat sedih dan prihatin, ketika mengetahui perguruan tinggi yang mengabadikan namanya sebagai Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), harus berhadapan dengan aparat hukum. Satu persatu pimpinan Unsyiah diinterogasi oleh aparatur kejaksaan sebagai saksi, kini terlihat jelas siapa yang menjadi tersangka. Isu korupsi telah lama berkembang, dari dana beasiswa guru daerah terpencil (Gurdacil APBA) yang konon masuk ke rekening pribadi rektor. Bahkan, berbagai aset Unsyiah yang dikomersilkan --mestinya bisa menjadi income generating bagi perguruan tinggi kebanggaan Aceh itu-- dananya masuk ke kantong koruptor.
Boleh jadi Majid Ibrahim, Ibrahim Hasan, dan Dayan Dawood, tiga mantan rektor Unsyiah yang namanya legendaris tersebut dan seluruh civitas akademikanya, harus ber-tafakkur dan prihatin melihat kondisi Unsyiah yang dibawa arus oleh para maling yang tentu memiliki “imam besarnya” untuk memanipulasi kekayaan Unsyiah. Konon pula dilakukan berjamaah dan diprediksi untuk imam besarnya tentu, berada pada katagori V.I.P sebagai komandan untuk bagi-membagi “buah quldi” dalam memperkaya diri.
Kita harapkan, mudah-mudahan para maling sebagai mantan penguasa di kampus Unsyiah punya kebijakan qalbu, untuk berbicara apa adanya dan tidak perlu berkelit, dari pada satu saat di alam ayunan metafisika Tuhan, harus menghadapi pengadilan suci di hadapan Maha Pencipta agar pasrah untuk diazab, dilumat dan dilempar ke api neraka akibat perbuatan --jin jahatnya-- yang bergelamor dengan korupsi.
Menurut sinyalemen, banyak yang dikorupsi dari yang seharusnya menjadi income Unsyiah itu, seperti sewa Gedung AAC Dayan Dawood, sewa Wisma Tamu, sewa Wisma Kompas dan sewa Asrama Komplek Mahasiswa (Askopma), sewa tanah dari dua manara Telkomsel. Konon, pendapatan dari hasil sewa sejak 2006-2012, yang jumlahnya mencapai miliaran rupiah tidak masuk ke kas Unsyiah dan tanpa diaudit oleh akuntan publik. Ini pun kelihatannya didiamkan saja tanpa bergeming untuk diusut.
Realitas yang menjadi berita menarik di media masa tersebut, perlu juga disikapi, bahwa seseorang tidak perlu diberi stempel di jidatnya sebagai maling, kalau pengadilan belum pernah memvonisnya bersalah sebagai koruptor, dan semua kita patut menganut prinsip azas praduga tak bersalah untuk penguasa kampus yang hakikatnya mereka bukan sebagai maling, tetapi terlanjur dalam hobbi di mana ia berpeluang menjadi maling.
Tentu, lembaga ilmiah seperti Unsyiah seharusnya menjadi teladan, suri bagi seluruh civitas akademikanya dan publik untuk menunjukkan jatidirinya sebagai lembaga pendidikan yang didalamnya ditemukan - pemimpin yang amoral - persis seperti ikan hiu yang mematuk apa saja yang ditemukan di sekelilingnya, termasuk bangkai manusia disikatnya, untuk memenuhi hasrat keserahannya dalam urusan tamak-teumamak. Boleh jadi ia lupa siapa dirinya dan bagaimana dengan masa lalunya, semua staf kampus mengetahui pasti.
Adalah Teungku Syiah Kuala yang berumur 105 tahun dan menjadi Kadhi Malikul Adil di Kerajaan Aceh Darussalam, merupakan pemegang amanah dan menjadi panutan dengan kharismanya yang dijadikan teladan bagi rakyat Aceh. Begitu juga Sultan Aceh memangku jabatan sebagai Sultan Malikul Adil ketika itu. Patron dari Kerajaan Aceh Darussalam ini, seharusnya menjadi design di kampus Unsyiah, untuk dinobatkan menjadi Rektor Malikul Jujur.
Di sini tak bisa serta merta disimpulkan, bahwa perilaku korupsi adalah semacam anomali atau penyakit khusus yang berlaku pada sejumlah orang, ataukah ia memiliki infrastruktur budaya yang memang mendarah daging secara lebih menyeluruh yang ikut merasuk pada kehidupan pemimpin kampus di Aceh, yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Kondisi Unsyiah yang menjadi cibiran publik dan wajah kampus yang tercoret oleh sifat tamak para pelakunya dan kehilangan rasa malu, karena semakin ia memanfaatkan uang curian (haram), maka hatinya pun akan semakin tertutup untuk lupa daratan, dosa kian ditambah yang pada akhirnya, hatinya kian membatu dan semakin larut dengan keserakahan.
Rektor perlu bertindak
Karenanya diharapkan Rektor Unsyiah sekarang perlu segera bertindak: Pertama, mengundang semua anggota Senat Universitas (umumnya para guru besar) untuk membahas apa yang terjadi di kampus, yang selama ini terkesan tiap persoalan (korupsi) ditutupi dan seakan-akan gampang diselesaikan sesuai jalur hukum. Persoalan besar seperti yang dialami sekarang oleh Unsyiah, tidak cukup Rektor untuk bermusyawarah hanya dengan Pembantu Rektornya yang notabene mereka adalah para status quo.
Kedua, penyakit Unsyiah yang kronis sekarang harus segera dicari solusinya, agar para petinggi Unsyiah sekarang tidak salah kaprah dalam mengambil kebijakan. Perlu membuka pintu selebar-lebarnya, agar Kejaksaaan, BPK, BPKP, Inspektorat dan KPK atau aparat hukum sejenisnya, segera membongkar “lemari besi” Unsyiah, menyimak satu persatu apa yang telah terjadi.
Sinyalemen korupsi oleh penguasa kampus, konon ada temuan lain selain Gurdacil, dengan besaran mencapai Rp 57 miliar lebih yang telah diketahui oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Sinyalemen lain lagi, tentang dana aspirasi DPR RI sebesar Rp 50 miliar untuk University Farm Unsyiah (2010), konon tidak jelas pertanggungan jawabnya (mudah-mudahan ini semua tidak benar dan jika pun benar harus segera diusut).
Ketiga, Kantor Rektorat Unsyiah yang telah dibangun kembali, tidak jelas sumber dananya dan menurut sinyalemen tidak pernah ditender, sehingga itu pun menjadi isu menarik yang perlu dijelaskan kepada anggota Senat Universitas dalam rapat paripurna, agar tidak terkesan bimsalabin... abrakadabra... Unsyiah, sebagai institusi terhormat dan sebagai perguruan tinggi yang memiliki sejarah panjang, hendaknya tidak hanya bangga dengan SDM-nya, lebih dari itu perlu pendidikan sumber daya insani (SDI) agar alumnus dan segenap pimpinannya diharapkan benar-benar bermoral.
Keempat, kehancuran Unsyiah sekarang, patut diprihatini dan bukan diamini oleh civitas akademika kampus yang sekarang muncul kelompok pro-kontra dan terikat oleh siklus atau kelompok Status Quo, sehingga terlihat timbul kelompok baru yang apatis, mereka jenuh atas apa yang terjadi terhadap Unsyiah yang kemalingan, di mana peran Senat Universitas harus segera proaktif dan perlu mengambil inisiatif untuk mendampingi rektor baru. Peran Senat Unsyiah, bukan sebagai tempat bernaung tanpa tujuan, bukan pula sebagai tempat berkumpul tanpa peran. Ide/saran Komisi Senat harus ada realisasinya. Peran senat untuk monitoring dan evaluasi harus difungsikan dan kepemimpinan Unsyiah harus lebih transparan.
Kelima, kondisi Unsyiah Masa Lalu, dimana keputusan senat kurang diimplementasi dan terkesan sangat otoriter dan semena mena serta tertutup, di sisi lain seluruh civitas akademika Unsyiah merindukan perubahan. Setelah Unsyiah dipimpin oleh Rektor baru sekarang, menjadi optimis, dengan harapan perlu mengedepankan keterbukaan. Tanpa keterbukaan, maka kepemimpinan Unsyiah akan rapuh. Unsyiah sebagai perguruan tinggi tertua di Aceh, menjadi kebanggaan bersama. Tridarma Perguruan Tinggi sebagai obor yang harus dipedomani. Visi dan Misi Unsyiah pembuka jalan menuju Unsyiah yang handal.
Keenam, Rektor Unsyiah sekarang dituntut prestasi kerja selama ia dipercayakan memimpin Unsyiah, kalau memang prestasinya bagus selama sisa waktu sampai 2014, maka ia pasti akan dipilih lagi, karena yang paling utama ia dituntut untuk membersihkan semua anasir yang telah meuligan ek di rektorat (mudah-mudahan Rektor Unsyiah sekarang tidak terlibat korupsi). Apakah Rektor sekarang, mampu untuk bertindak cepat, untuk membongkar seluruh kezaliman manipulasi di Unsyiah? Karena ia sekarang masih dikawal oleh pembantunya, para status quo mantan pembantu pemimpin masa lalu yang menjadi tersangka?
Kita semua berharap, seharusnya buka kulit tampak isi. Siapa pun pemimpin kampus yang durhaka kepada Unsyiah dan yang bakal menerima anugerah vonis sebagai koruptor, maka sebelum ia menginap di hotel prodeo, harus memperbanyak zikir bahkan bila perlu ditepungtawari (dipesijuek) terlebih dulu di lapangan tugu Darussalam, dengan harapan tidak akan muncul lagi tersangka-tersangka baru. Siapa pun ia, tidak kecuali, berjamaah atau bukan harus ditindak sesuai hukum yang berlaku.n
* Yuswar Yunus, Guru Besar Mekanisasi Pertanian Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Email: yuswar_dr@yahoo.com
Sumber : Serambi Indonesia, 23 April 2013
Page http://aceh.tribunnews.com/2013/04/23/koruptor-unsyiah-abrakadabra
EmoticonEmoticon