Oleh Farhati M. Tatar
-
MENGAPA dunia pendidikan Aceh sekarang berada dalam kondisi terpuruk dan terbelakang? Apakah karena kuantitas dan kualitas (moralitas) rakyat Aceh yang menggeluti dunia pendidikan di Aceh semakin minim? Jika iya, kenapa hal ini berlaku di Aceh sekarang? Bukankah dulu banyak pelajar luar Aceh dan asing, terutama dari pulau Jawa dan negara jiran berduyun-duyun datang menimba ilmu di Aceh. Namun kenapa sekarang sebaliknya berlaku, banyak mahasiswa Aceh yang menuntut ilmu di sana? Tulisan ini ingin menguak misteri penyebab terperosoknya sistem pendidikan Aceh dan sekaligus merekomendasikan beberapa kiat khusus untuk kembali memartabatkan pendidikan Aceh. Sistem pendidikan yang meliputi kurikulum, fasilitas, tenaga pengajar, mahasiswa dan birokrasi pendidikan serta ketersediaan lapangan kerja bagi lulusan institusi pendidikan tinggi di Aceh akan disoroti.
Berhasil tidaknya tujuan pendidikan itu direalisasikan tidak terlepas dari substansi kurikulum pendidikan itu sendiri. Sebagaimana digariskan Islam, maka sistem pendidikan Aceh harus mampu melahirkan generasi yang berilmu, beriman dan bertakwa. Anugerah status otonomi khusus (otsus) bagi Aceh mesti dimanfaatkan Pemerintah Aceh dan jajarannya, terutama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, untuk mereformasi substansi kurikulum pendidikannya berlandaskan Alquran dan Hadis.
Kehidupan sempurna
Almarhum Abu Daud Beureueh, seperti ditulis John L. Esposito (1987) dalam bukunya Islam in Asia: Religion, Politics and Society pernah berkata: “..agama Islam yang membuat kehidupan umat sempurna tidak bisa dipisahkan antara satu aspek dengan aspek kehidupan lainnya. Sila pertama dari Pancasila, percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa itu tidak lebih dari manuver politik belaka. Yang paling esensial adalah merujuk pada Kitabullah dan Sunnatullah secara kaffah. Jika hukum Allah tidak dilaksanakan secara sempurna, berarti kita telah mengingkari kepercayaanNya sehingga menyebabkan kita sesat sepanjang hayat.”
Oleh karena itu, kurikulum pendidikan Aceh mesti disusun sedemikian rupa dengan mangakomodir nilai-nilai keislaman sehingga institusi pendidikan Aceh akan melahirkan alumni-alumni berilmu dan bermoral. Kita tidak perlu lagi mempertahankan substansi kurikulum pendidikan kita yang sekularis itu. Sudah saatnya kita mengislamisasikan substansi kurikulum pendidikan kita dengan menggabungkan ilmu-ilmu umum dan agama secara proporsional.
Jika kita masih bersikeras untuk mempertahan status quo sistem pendidikan Aceh sekarang yang bersifat sekuler, maka wajarlah bila berlaku demoralisasi, deislamisasi dan dehumanisasi di kalangan generasi Aceh sekarang dan di masa-masa mendatang. Islamisasi sistem pendidikan hendaklah bermula pada azas, falsafah atau fondasi sistem pendidikan itu sendiri, yaitu kurikulumnya. Jika fondasinya tidak kokoh, maka sulit melahirkan generasi Aceh yang berwawasan ilmu, iman dan takwa (ilmataq).
Usaha memartabatkan pendidikan di Aceh tidak akan muncul begitu saja tanpa didukung oleh fasilitas pendidikan yang memadai. Jumlah bahan bacaan yang terbatas dan tidak diimbangi dengan bahan bacaan terbaru tidak saja menyukarkan para staf pengajar untuk mencari bahan rujukan up to date, bahkan para mahasiswa terpaksa berkutat dengan ilmu-ilmu lama yang telah out-dated dan irrelevant. Padahal kita ketahui bahwa di era globalisasi, teknologi komunikasi dan informasi ini, perubahan-perubahan itu berjalan dengan cepatnya.
Di samping itu, kualitas mahasiswa dan staf pengajar, sebenarnya, sangat tergantung pada kebiasaan dan budaya membaca. Jika staf pengajar rajin membaca dan mengharuskan muridnya untuk selalu membuat home works dengan merujuk pada lebih dari lima buku referensi, maka diyakini suatu saat nanti sifat gemar membaca para pelajar kita akan tumbuh. Namun, jangan harap bila staf pengajar yang malas membaca akan mampu menghasilkan generasi Aceh yang berwawasan luas (foresighted), terbuka (open minded) dan berkualitas. Perlu diketahui, tanpa membaca mustahil ilmu itu akan diperoleh secara optimal.
Untuk itu, selain penambahan koleksi buku referensi, jurnal, dan bahan bacaan lainnya, para staf pengajar dan pelajar hendaklah diberi hak untuk meminjami buku dalam kuantitas dan waktu yang lebih lama. Katakanlah, para mahasiwa S1 dan pascasarjana diberi hak untuk meminjam, masing-masing, minimal 5 dan 10 buku untuk jangka waktu satu bulan, dan tidak kurang daripada itu. Di samping itu, rasio komputer/internet dengan jumlah mahasiswa dan tenaga pengajar hendaklah proporsional, dan juga fasilitas pendidikan lainnya, seperti proyektor (overhead) dan alat peraga pendidikan hendaklah diperlengkapkan.
Menghasilkan para alumni unggul haruslah didukung oleh staf pengajar yang berkualitas, baik dari segi ilmu dan iman. Untuk itu, pihak universitas tidak perlu menunda atau mempersulit para staf pengajar untuk menuntut ilmu hingga ke jenjang S3 (doktoral), tentunya dengan menyediakan scholarship. Masa mengajar bagi para staf pengajar berijazah S1 hendaklah dibatasi, katakanlah hanya 2 tahun. Setelah itu mereka wajib melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi secara berkala dan regular. Kalau tidak, maka penalti kenaikan pangkat dan pengurangan pemberian allowances harus dikenakan.
Kualitas tenaga pengajar hendaklah didorong oleh sistem kompensasi dan peningkatan karier yang memuaskan sehingga para staf pengajar bisa berkonsentarsi penuh untuk mendidik mahasiswanya tanpa perlu khawatir dengan ber-’asap’ tidaknya dapur mereka. Begitu juga sistem perekrutan staf pengajar baru hendaklah bebas dari praktik KKN. Siapa saja yang memiliki prestasi cemerlang (ilmu dan iman) hendaklah direkrut untuk memperkuat barisan staf pengajar yang telah ada. Janganlah institusi pendidikan kita dikuasai oleh golongan tertentu secara turun-temurun. Setelah orang-tuanya pensiun, bila anaknya tidak ada, maka sanak famili akan menggantikannya seolah-olah institusi pendidikan itu bagaikan dinasti (kerajaan) kekeluargaan.
Sifat ‘openness’
Satu keberhasilan pendidikan Aceh tempoe doeloe adalah karena sifat openness orang Aceh yang menerima siapa saja (non-Aceh) yang berilmu dan bertakwa, seperti Syeikh Nuruddin ar-Raniry, Syeikh Abdur Rauf, dan lainnya tanpa memandang asal usul dan keturunan mereka untuk mengabdi di Aceh. Namun yang terjadi di Aceh sekarang adalah, jangankan orang luar, orang Aceh yang pintar saja tidak mau mengabdi di Aceh. Mereka lebih memilih Jakarta atau daerah menjanjikan lainnya sebagai tempat untuk menabur bakti dan pengabdian.
Dan, yang lebih parah lagi adalah orang Aceh pintar yang barada di luar Aceh; Jangankan membangun daerah, malah mereka sering memberi komentar yang membingungkan rakyat Aceh akibat kejahilan dan ketidakpekaan terhadap kondisi dan karakter masyarakat Aceh yang dinamis. Untuk mengatasi problema ini, pemerintah Aceh harus “mengikat emosional/psikologis” mahasiswa pintar asal Aceh yang telah, sedang dan akan belajar di dalam maupun luar negeri untuk kembali mengabdi di Aceh. Ini, misalnya, bisa dilakukan dengan memberikan beasiswa kepada mereka, sehingga setelah tamat belajar nanti, mereka akan terpanggil menabur bakti dan budinya di Aceh walaupun dengan gaji pas-pasan dan hidup sederhana.
Selanjutnya, kelebihan merekrut putra daerah ketimbang orang luar untuk mengabdi di Aceh adalah jauh lebih menguntungkan. Dengan memiliki wawasan “detail” terhadap lingkungan kerja, karakter masyarakat dan rasa memiliki terhadap tanah leluhurnya, putra daerah akan berusaha secara optimal demi kemajuan Aceh. Mudah-mudahan dengan terpenuhinya semua kondisi dan prasyarat di atas, martabat pendidikan Aceh akan kembali terdongkrak. Semoga generasi Aceh mendatang tidak lagi disemaki oleh generasi “bingung” dan “membingungkan” umat, yang terlahir melalui sistem pendidikan ala sekularisme. Insya Allah!
* Farhati M. Tatar, B.Sc.Psy, M.HS.Psy, Dosen Kontrak pada Jurusan Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Email: farhati_psi@yahoo.com
SUMBER : HARIAN SERAMBI INDONESIA, 17 APRIL 2013
EmoticonEmoticon