13 Apr 2013

Menilik Bendera Aceh

OLEH TEUKU ALFIANSYAH, S.H
-
PADA 22 Maret 2013 dalam masa persidangan II DPR Aceh Tahun 2013, DPR Aceh dan Gubernur Aceh telah memberikan persetujuan bersama untuk mensahkan/menetapkan Qanun Aceh tentang Bendera dan Lambang Aceh sesuai dengan Keputusan DPR Aceh Nomor 3/DPRA/2013.

Atas dasar persetujuan bersama tersebut, Gubernur Aceh selaku Kepala Pemerintah Aceh menetapkan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh pada tanggal 25 Maret 2013. Qanun itu diundangkan/ditempatkan dalam Lembaran Aceh Tahun 2013 Nomor 3 dan Tambahan Lembaran Aceh Nomor 49.

Dari perspektif pembentukan Peraturan Perundang-undangan, apabila Qanun Aceh tersebut telah diundangkan dalam Lembaran Aceh, maka konsekuensi hukumnya Qanun tersebut telah memiliki legalitas untuk dilaksanakan/diberlakukan.

Menarik untuk dicermati pula maraknya pemberitaan seputar pro dan kontra keberadaan bendera Aceh baik selama proses pembahasan maupun pascapenetapan Qanun Bendera Aceh tersebut. Pro dan kontra yang dimaksud tidak hanya dari proses perancangan atau desain bendera tetapi juga meliputi proses perancangan regulasinya (Rancangan Qanun dan Qanun) di DPRA.

Qanun bendera ini merupakan salah satu amanah dari Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka atau lebih populer dikenal dengan MoU Helsinki.

Artikel 1.1.5. MoU Helsinki, menyatakan: “Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne”. Secara yuridis, keberadaan bendera Aceh dipertegas dalam Pasal 246 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh UUPA). Pasal 246 ayat (2), menyatakan bahwa: “Selain Bendera Merah Putih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan”.

Pasal 246 ayat (3), menyatakan bahwa: “Bendera daerah Aceh sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera kedaulatan di Aceh. Pasal 246 ayat (4), menyatakan bahwa: “Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk bendera sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.”

Penting dipahami bahwa Pasal 246 ayat (4) UUPA mensyaratkan bahwa bentuk bendera sebagai lambang yang diatur dalam Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menyatakan bahwa: ”Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 7 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011, menyatakan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas; pertama; Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; kedua; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; ketiga; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 7 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011, menyatakan bahwa: “Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Pasal 7 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011 mempertegas bahwa hierarki peraturan perundang-undangan yang berada pada posisi atas lebih tinggi dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya. Misalnya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia lebih tinggi hierarkinya dibandingkan dengan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah lebih tinggi hierarkinya dibandingkan dengan Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Provinsi lebih tinggi hierarkinya dibandingkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan seterusnya.

Ini bermakna bahwa peraturan yang lebih tinggi hierarki atau tingkatannya dapat mengeyampingkan/mengalahkan peraturan yang lebih rendah hierarkinya/tingkatannya, sebagaimana asas hukum mengenal istilah Asas lex superior derogat legi inferiori, yang memiliki arti “kalau terjadi konflik/pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang tinggi dengan yang rendah maka yang tinggilah yang harus didahulukan.

Adanya sekelompok atau sebagian masyarakat Aceh yang kontra terhadap Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Bendera dan Lambang Aceh, dipicu oleh sejumlah faktor, di antaranya adalah keberatan sejumlah/sekelompok masyarakat Aceh yang tidak setuju dengan Bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau setidak-tidaknya bendera yang hampir mirip dengan Bendera GAM dijadikan sebagai Bendera Aceh.

Alasan sekelompok masyarakat ini juga cukup kuat, karena adanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 6 ayat (4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007 Tentang Lambang Daerah, yang menyatakan bahwa: “Desain logo dan bendera tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Penjelasan Pasal 6 ayat (4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007 Tentang Lambang Daerah, menyatakan bahwa: “Yang dimaksud dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam ketentuan ini misalnya logo dan bendera bulan sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Aceh, logo burung mambruk dan bintang kejora yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi papua, serta bendera benang raja yang digunakan oleh gerakan separatis di Provisi Maluku.”

Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat perbandingan gambar bendera Gerakan Aceh Merdeka dan gambar bendera Aceh yang ditetapkan dalam Qanun Aceh Nomor 3 tahun 2013. Jika diperhatikan secara seksama, maka ada kemiripan atau kesamaan persis antara bendera GAM dan Bendera Aceh yang diatur dalam Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013.

Karena adanya ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Bendera dan lambang Aceh dianggap bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 Tentang lambang Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 Tentang Lambang Daerah.

Konsekuensi yuridis dari Qanun Aceh yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini adalah dapat dibatalkan. Apabila terdapat Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Peraturan Daerah tersebut dapat dibatalkan oleh Pemerintah melalui mekanisme executive review, serta melalui judicial review ke Mahkamah Agung.

Executive review merupakan istilah yang digunakan oleh pakar-pakar hukum untuk menyebut kewenangan pejabat atau badan administratif negara untuk melakukan hak uji (toetsingsrecht) terhadap peraturan perundang-undangan.

Di Indonesia, eksekutif review diwujudkan dalam bentuk pengujian terhadap Peraturan Daerah yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri terhadap Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta Pemerintah Provinsi terhadap Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Executive review merupakan bagian dari sistem pengawasan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, khususnya pengawasan terhadap produk legislasi daerah. Pengawasan terhadap produk legislasi daerah (Peraturan Daerah) dilakukan agar materi muatan sebuah Peraturan Daerah tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan tidak bertentangan dengan kepentingan umum.

Patut menjadi catatan bahwa berdasarkan Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, bahwa selain karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan kepentingan umum, Peraturan Daerah bisa juga dibatalkan apabila dalam proses pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.

Peraturan Daerah yang dinyatakan batal, maka Peraturan Daerah tersebut tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum suatu tindakan pemerintahan. Apabila suatu Peraturan Daerah dibatalkan, maka gubernur/bupati/walikota menghentikan pelaksanaan Peraturan Daerah tersebut paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya peraturan pembatalan.

Ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah juga mengatur mengenai larangan menetapkan Perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sebagaimana diatur dalam Pasal 136 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, yang menyatakan bahwa; “Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.”

Pasal 145 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, menyatakan pula bahwa: “Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah. [Acehkita.com]

TEUKU ALFIANSYAH, S.H.,Ketua Forum Mahasiswa Magister Hukum Universitas Syiah Kuala
Sumber [ Aceh Info ]

Lorem ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry.


EmoticonEmoticon