13 Apr 2013

Pembangunan untuk Perdamaian


Oleh Asrizal Luthfi
-
PEMBANGUNAN memainkan peran penting dalam merawat dan mendorong perdamaian untuk terus bergerak ke arah yang konstruktif. Konstruksi pembangunan perdamaian (peace building), ibarat dua sisi dari satu mata uang, tak bisa dipisahkan. Keduanya harus saling isi dan saling menunjang. Pembangunan dapat memperkuat dan merusak perdamaian.   

Begitupun dengan Aceh yang saat ini masih dalam proses transisi perdamaian. Pembangunan menjadi salah satu mata rantai utama yang menentukan keberlanjutan perdamaian di Aceh. Berhasil atau tidaknya Aceh dalam menjalani masa-masa transisinya sangat ditentukan oleh bagaimana pembangunan itu dilaksanakan, dengan berbagai aspek dan dimensi di dalamnya.

Melihat Aceh yang perekonomiannya sangat tergantung dengan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) menegaskan hal tersebut. Laporan Perkembangan Ekonomi Aceh (Aceh Economic Update) November 2011 yang dikeluarkan oleh Bappeda Aceh dan Bank Dunia (World Bank) menunjukkan bahwa ekonomi Aceh masih sangat bergantung pada pengeluaran/belanja pemerintah. 

Dari 64 persen tingkat kontribusi sektor konsumsi dalam perekonomian Aceh, 22 persen diantaranya bersumber dari pengeluaran pemerintah. Di sisi yang lain, para pengusaha lokal juga masih mengandalkan proyek-proyek pemerintah. Ada sekitar 1.500 kontraktor yang memperebutkan kontrak dari pemerintah di seluruh Aceh.

Yang cukup memiriskan lagi adalah (masih dalam laporan yang sama), tingginya tingkat konsumsi pemerintah tidak diikuti dengan tingkat pembentukan modal tetap (investasi) yang hanya sebesar 19 persen, bandingkan dengan Indonesia yang sebesar 31 persen. Padahal, besarnya konsumsi pemerintah tersebut dimungkinkan karena (selain dana rekonstruksi) tetapi juga besarnya alokasi fiskal yang diberikan oleh pemerintah pusat dalam berbagai bentuk dana transfer. Lebih dari 50 persen dalam postur Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) berasal dari dana otonomi khusus yang merupakan dana transfer, yang hanya didapat sementara oleh Aceh selama 20 tahun, terhitung sejak 2008 sampai 2027.

Di sisi yang lain, jumlah persentase angka penduduk miskin di kawasan pedesaan Aceh mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Menurut laporan BPS, terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin di pedesaan sebesar 0,14 persen pada September 2011 (dibandingkan dengan Maret 2011). Jumlah penduduk miskin Aceh pada September 2011 berdasarkan data Susenas, mencapai 900.190 jiwa, sementara posisi Maret 2011 sebesar 894.812 jiwa. Berlawanan dengan di kawasan perkotaan yang mengalami penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 0,66 persen pada September 2011 (dibandingkan dengan Maret 2011). Dengan penduduk miskin perkotaan pada September 2011 sebanyak 169.301 jiwa dan pada Maret 2011 sebanyak 176.023 jiwa.

Padahal, kita tahu bahwa Pemerintah Provinsi Aceh telah cukup banyak menyalurkan bantuan keuangan untuk gampong/desa yang dikenal dengan program Bantuan Keuangan Peumakmue Gampong (BKPG). Belum lagi program PNPM mandiri dan berbagai bantuan sosial dan keuangan lainnya seperti beasiswa anak yatim serta Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) yang seharusnya juga lebih menyentuh kelompok miskin di perdesaan, yang jauh lebih banyak dibandingkan kelompok miskin di perkotaan.

Apa yang salah?
Pola konsumsi tinggi pemerintah yang tidak diikuti dengan pembentukan modal tetap (investasi) pada satu sisi memang tidak sepenuhnya salah. Menabur uang dengan begitu mudah tanpa memikirkan investasi jangka panjang barangkali memang dibutuhkan. Dengan tujuan membagi-bagi kesejahteraan lewat program-program yang menghabiskan uang dalam jumlah besar dalam waktu singkat. 

Namun, dalam jangka panjang menabur uang tanpa ada konsep yang jelas dan bernilai investasi untuk masa depan akan merugikan diri sendiri. Ketika uang yang begitu besar yang di dapat Aceh lewat dana otonomi khusus sudah tidak ada lagi, namun Aceh sudah terlanjur terbiasa dengan uang banyak maka bukan tidak mungkin akan muncul kekecewaan dan persepsi-persepsi tertentu yang dapat mendorong lahirnya konflik baru.

Pembangunan yang seharusnya menguatkan perdamaian malah sebaliknya akan menganggu proses damai yang sedang berlangsung. Bagi rakyat kecil di gampong-gampong di Aceh, bukan drama elite politik yang begitu keras baunya tercium oleh masyarakat yang diperlukan, tetapi adalah kedamaian dan keamanan serta akses-akses yang memudahkan masyarakat gampong untuk bekerja dan menafkahi keluarganya.

Pemihakan politik atas hak-hak dan kebutuhan rakyat di gamponglah yang harus diutamakan dalam pelaksanaan pembangunan agar pondasi perdamaian yang sedang dibangun menjadi semakin kuat dan mapan. 

Patrick Barron dalam “Rekonfigurasi Politik: Proses Damai Aceh (2008)” juga mengingatkan bahwa terdapat potensi besar untuk rekonstruksi ekonomi untuk membantu menciptakan perdamaian di Aceh. Sumberdaya relatif berlimpah. Namun, terdapat sebuah risiko bahwa jika sumber-sumber daya ini tidak dikelola dengan baik, justru dapat mengganggu perdamaian.

Besar harapan, pilkada kedua pasca-Aceh Damai yang berlangsung pada 9 April 2012, dapat menghasilkan pemimpin daerah yang semakin memihak kepada gampong dan memikirkan pembangunan yang berorientasi jangka panjang. Mengarahkan pembangunan agar semakin menyentuh “akar” masyarakat dan mengorientasikan investasi dalam masa-masa di mana Aceh mendapatkan dana yang begitu besar saat ini. Agar damai menjadi abadi. Semoga!   

* Asrizal Luthfi, Peserta Pelatihan Pembangunan dan Perdamaian ICAIOS dan Pegiat Kelompok Studi Darussalam (KSD).

Editor : bakri

SUMBER : SERAMBI INDONESIA, 10 APRIL 2013

Lorem ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry.


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:o
:>)
(o)
:p
:-?
(p)
:-s
8-)
:-t
:-b
b-(
(y)
x-)
(h)