Oleh Fahmi Abduh
-
Ketidakmampuan pemerintah untuk menghasilkan sebuah kebijakan yang dapat memahami apa maunya masyarakat, karena belum berbasis data dan fakta, menjadikan perencanaan partisipatif selalu disuarakan sebagai model terbaik. Jadilah hari ini kita melihat pertarungan ketat antara hasil perencanaan bottom-up (program yang diusulkan masyarakat) versus hasil perencanaan top-down (program yang diusulkan birokrat). Kedua model perencanaan tersebut sama-sama tidak memiliki basis data yang cukup dan lengkap (speculative conjecture) untuk menghasilkan sebuah kebijakan berkualitas.
Kondisi inilah yang kemudian membuka lebar masuknya kepentingan politik bagi-bagi anggaran. Implikasinya tentu sangat serius, yaitu usaha kepala Pemerintahan Aceh untuk membangun Aceh dengan semangat baru yang tertuang dalam visi dan misi tidak akan pernah tercapai seperti yang diharapkan. Hal tersebut diakibatkan karena program-program pembangunan dalam APBA tidak mampu diterjemahkan dengan baik sesuai dengan visi dan misi yang telah ditetapkan karena persoalan ketersediaan data dan fakta yang masih prematur.
Solusi terbaik
Melihat model penganggaran di Amerika Serikat yang mengacu kepada model Congressional Budget Office (CBO), permasalahan masyarakat ditangkap melalui berbagai kajian ilmiah atau berbagai penelitian terkait permasalahan yang ingin diselesaikan. Persoalan tersebut kemudian dibawa ke sebuah badan yang terdiri dari para pakar di bidangnya untuk dicarikan solusi terbaik dan kemudian diformulasikan menjadi sebuah kebijakan publik berbasis data dan ilmu pengetahuan. Dalam konteks ini, mereka memahami benar bahwa jika suatu urusan tidak diserahkan kepada ahlinya, maka tunggu waktu kehancurannya (http://www.cbo.gov/).
Di Korea, proses perencanaan dan penganggaran harus melalui saringan ketat oleh sebuah badan, National Assembly Budget Office (NABO). Badan ini terdiri atas berbagai kalangan profesional yang ahli di bidangnya. Setiap kebijakan yang ingin diimplementasikan di ruang publik harus melewati saringan lembaga ini. Tujuan didirikannya lembaga ini adalah untuk memastikan bahwa setiap tetes uang yang berasal dari rakyat harus digunakan dengan tepat dan juga opini publik harus tercermin dalam setiap kebijakan publik yang di-implementasikan (http://korea.nabo.go.kr/).
Sekelumit persoalan yang kita alami hari ini dapat diselesaikan dengan pendekatan berbasis penelitian untuk mencari model-model kebijakan berkualitas terkait mencapai arah pembangunan yang jelas dan terukur. Dalam konteks tersebut, Pemerintah Aceh yang baru perlu membentuk sebuah lembaga riset di lingkungan pemerintahannya. Cara fikir keberhasilan sebuah Dinas/Badan yang berbasis “daya serap anggaran dan output” harus diubah menjadi paradigma output dan impact yang terukur.
Hal tersebut kini didukung oleh Permendagri No.20 Tahun 2011 terkait dengan pedoman untuk pembentukan lembaga penelitian di lingkungan pemerintahan daerah. Beberapa Provinsi lain di Indonesia sudah membentuk lembaga ini, seperti Jawa Jimur atau Riau. Sangat kita sayangkan, jika anggaran besar yang ada di Aceh digunakan dengan hanya menggunakan ukuran daya serap anggaran dan output yang tidak diikuti dengan ukuran impact kepada masyarakat.
Data dan inovasi
Data dan inovasi adalah dua hal penting yang harus dimiliki untuk menghasilkan sebuah kebijakan pembangunan yang berkualitas. Data diperlukan untuk melihat dan memetakan berbagai persoalan yang muncul di lapangan sedangkan inovasi diperlukan untuk mencari solusi cerdas untuk menyelesaikan persoalan yang ada di-lapangan tersebut untuk mencapai target pembangunan seperti yang telah ditetapkan.
Sebuah studi yang dilakukan Bank Dunia pada 2008 mencatat bahwa jumlah penduduk miskin di Aceh pada 2004 adalah sebesar 28.4% dan angka ini naik menjadi 32.6% pada 2005 setelah tragedi tsunami di penghujung 2004. Namun demikian, kehadiran proses rehabilitasi dan rekonstruksi dan membaiknya situasi keamanan daerah berhasil menurunkan angka kemiskinan tersebut di kisaran 26.5% pada 2006. Dalam kondisi aktual, Pemerintah Aceh melalui berbagai kebijakan telah mengalokasikan lebih dari 8 triliun rupiah dalam berbagai program pembangunan untuk mengurangi angka kemiskinan dalam kurun waktu 2007-2011 melalui program prokemiskinan (Kebijakan pro-poor, Report Bappeda dan UNICEF, 2012). Namun demikian, acuan keberhasilan program masih didasarkan hanya pada besaran angka anggaran yang diserap.
Belum ada studi lanjutan yang menghubungkaitkan antara besaran daya serap anggaran program tertentu dengan seberapa besar dampak kebijakan tersebut menurunkan angka kemiskinan di daerah tersebut dengan jelas dan terukur. Misalnya kita belum tahu seberapa besar dampak alokasi anggaran untuk pembangunan proyek pembangunan jalan dan jembatan di lintas pesisir timur Aceh berkontribusi positif utk menurunkan level angka kemiskinan di daerah yang terkait langsung dengan proyek tersebut.
Kita juga belum mengetahui pasti, seberapa besar kontribusi positif dari alokasi anggaran untuk proyek irigasi di berbagai kabupaten di Aceh berhasil menurunkan angka kemiskinan di daerah tersebut. Padahal kita harus meramu informasi ini untuk mengalokasikan anggaran di jalur yang benar dan tepat dengan arah yang jelas dan terukur. Ketersediaan data akurat dan aktual dengan alokasi anggaran yang tepat akan memudahkan pengambil kebijakan untuk memodelkan berbagai kebijakan sebagai alternatif solusi cerdas untuk menyelesaikan permasalahan yang wara-wiri di lapangan.
Tiga pilar pembangunan
Terkait persoalan di atas, saya kira research perlu diberi tempat strategis untuk menentukan arah kebijakan daerah ke depan. Tidak cukup hanya Bappeda sebagai lembaga perencana pembangunan daerah dan dinas sebagai eksekutor program-program pembangunan yang telah disepakati oleh eksekutif dan legislatif. Tanpa riset, kita hanya bisa menjangkau “ukuran berapa besar anggaran yang dihabiskan”. Namun, tidak akan pernah mampu mengukur seberapa besar dampak positif/negatif program pembangunan tersebut kepada masyarakat.
Oleh karena itu, Pemerintah Aceh sebaiknya memiliki tiga pilar lembaga pembangunan yang dapat kita sebut sebagai Model 3 Pilar Pembangunan Aceh, yaitu Bappeda dan Dinas yang didukung penuh oleh Badan Pusat Penelitian Aceh. Badan pusat penelitian ini akan memberikan masukan terkait kebijakan-kebijakan berbasis riset untuk Bappeda dalam proses perencanaan berdasarkan pemetaan masalah yang diperoleh dari dinas terkait di lingkup Pemerintah Aceh.
Model 3 Pilar pembangunan ini akan mengarahkan proses pembangunan ke arah yang lebih efisien, jelas, terukur, dan terintegrasi. Model ini juga akan memberikan basis argumentasi yang jelas dan terukur dalam setiap kebijakan yang ingin diimplementasikan di seluruh SKPA/Dinas yang ada di bawah Pemerintah Aceh. Data berbasis metodologi yang baik dan benar akan menjadikan visi dan misi Pemerintah Aceh yang tertuang dalam RPJM/RPJP dapat diterjemahkan dengan benar, terarah dan terukur untuk “Aceh Baru’ yang lebih baik.
* Fahmi Abduh, Ph.D Student di Spatial Modelling & Dynamic Group Institute for Transport Studies, University of LEEDS, UK. Email: fahmi_abduh@yahoo.com
SUMBER : HARIAN SERAMBI INDONESIA, 11 APRIL 2013
EmoticonEmoticon