Oleh M. Hasbi Amiruddin
ULAMA yang akrab disapa dengan panggilan Abu Panton itu, telah tiada. Abu Panton yang punya nama asli Tgk H Ibrahim Bardan, lahir di Matang Jeulikat, Kecamatan Seunuddon, Aceh Utara, pada 1945. Menurut pengakuannya, di masa kecil di samping mengikuti tradisi di kampung bagi setiap anak-anak harus mengaji, Tgk Ibrahim juga mengikuti pendidikan sekolah umum, yakni Sekolah Rakyat (SR).
Memperhatikan pada kecerdasannya yang ditampilkan selama ia berkiprah dalam masyarakat, jika dia dapat melanjutkan sekolah, pasti dia merupakan salah seorang yang berpredikat Profesor di kepulauan Nusantara ini. Sayangnya, dia tidak dapat melanjutkan studinya melalui jalur sekolah karena ketika dia masih menduduki kelas 3 SR, meletusnya peristiwa Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Aceh.
Di suatu hari, menurut ceritanya, ketika dia bersama teman-temannya sedang belajar di kelas, lalu datang serombongan orang yang mengatasnamakan gerakan DI/TII, meminta mereka semua keluar dari kelas, karena mereka akan membakar gedung sekolah tersebut. Dan benar begitu para murid keluar dari ruangan mereka langsung membakar gedung sekolah mereka yang terletak dekat dengan kedai Matang Jeulikat.
‘Aneuk meudagang’
Setelah beberapa tahun tidak dibangun sekolah dan Tgk Ibrahim telah menamatkan pengajian dasarnya di kampung, lalu beliau berangkat meudagang (jak beut) di dayah Tgk Muhammad Thaib di Idi, Aceh Timur. Sebagaimana kebiasaan aneuk meudagang yang sering pindah-pindah tempat mengaji, terakhir Tgk Ibrahim melanjutkan studinya di Dayah Mudi Mesra Samalanga, di bawah asuhan Tgk H Abdul Aziz.
Sepulang dari Dayah Mudi Mesra, akhir 1975, bersama masyarakat langsung membangun Dayah Malikussaleh di Panton Labu, Aceh Utara. Tgk Ibrahim telah berbuat untuk umat, memimpin dan membina Dayah ini sampai akhir hayatnya. Banyak alumni dayah ini telah tersebar, terutama sekali di Aceh, yang menjadi pelanjut dakwah, mengajarkan agama Allah kepada umat.
Kendatipun Tgk Ibrahim hanya tamatan dayah, tetapi ia telah memperlihatkan kapasitasnya dalam berbagai bidang. Dalam bidang sosial, Tgk Ibrahim adalah salah seorang pendiri Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) dan dia sendiri dipercayakan sebagai ketua sampai akhir hayatnya.
Sebagai seorang ulama yang dihormati oleh masyarakat, dia sering diminta oleh berbagai institusi untuk memberi pemikiran bagaimana membangun masyarakat. Pada masa konflik, siapapun yang bertugas menciptakan keamanan di Aceh selalu berkonsultasi dengannya. Tetapi ketika dia melihat bahwa hak-hak rakyat telah terabaikan oleh Negara, Tgk Ibrahim aktif mendukung ide referendum.
Tidak hanya tingkat daerah, pemerintah tingkat pusat pun sering mengharapkan kontribusinya dalam menciptakan perdamaian di Aceh. Hampir tidak ada presiden Indonesia, selama Tgk Ibrahim telah menjadi tokoh umat, yang tidak mengundangnya untuk memberikan pemikiran-pemikiran dalam rangka membangun anak bangsa. Mulai dari Presiden Suharto, BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid sampai pada presiden yang masih memerintah sekarang, Susilo Bambang Yudoyono (SBY).
Pemikiran dalam bidang resolusi konflik yang dimiliki oleh Tgk Ibrahim, tidak hanya pada tingkat praktis yang sering diberikan kepada para pejabat yang menangani konflik di Aceh. Bahkan dia sendiri juga sering aktif dalam bernegosiasi untuk mendamaikan antara dua kelompok yang berkonflik, yaitu antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tgk Ibrahim memiliki konsep sendiri secara filosofi yang didasarkan pada ayat Alquran.
Para ahli confict resolution sering mendefinisikan konflik itu sebenarnya in your mind, if you don’t mind it does not matter. Begitu sederhana. Banyak juga intelektual muslim mengutip ayat Alquran tentang perdamaian, yang disandarkan pada kata ishlah atau fashlihu yang artinya damaikanlah. Tetapi, Tgk Ibrahim lebih senang mengambil ayat yang menggunakan kata-kata lita’arafu, yaitu hendaklah saling mengenal dan saling memahami.
Praktis dan kuratif
Apa yang dapat kita lihat perbedaannya? Kata-kata fashlihu (damaikanlah), lebih kepada praktis dan kuratif. Sementara kata lita’arafu saling mengenal, saling memahami adalah makna yang memiliki hikmah agar tidak terjadi konflik atau preventif. Andai kata semua orang mengamalkan metode resolusi konflik dengan kata-kata lita’arafu itu, berarti konflik tidak pernah terjadi.
Dengan demikian, tidak ada manusia yang menjadi korban. Tidak ada harta benda yang habis ditelan konflik. Tidak hanya dalam arti konflik politik, termasuk konflik aliran. Anadai kata setiap aliran atau mazhab agama mengamalkan lita’arafu (saling mengenal, saling memahami) maka tidak ada lagi perpecahan di kalangan umat.
Sekarang filosof bidang perdamaian kita, Tgk Ibrahim Bardan telah tiada. Kita doakan semoga diberi tempat yang layak sebagai seorang ulama penganjur kebenaran agama Allah. Mari kita cerna kembali filsafat perdamaiannya, semoga kita tidak lagi berkonflik sesama kita. Semoga!
* Prof. Dr. M. Hasbi Amiruddin, MA, Guru Besar Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: hasbi_amiruddin@yahoo.com
Sumber: Serambi Indoensia, 1 Mei 2013
ULAMA yang akrab disapa dengan panggilan Abu Panton itu, telah tiada. Abu Panton yang punya nama asli Tgk H Ibrahim Bardan, lahir di Matang Jeulikat, Kecamatan Seunuddon, Aceh Utara, pada 1945. Menurut pengakuannya, di masa kecil di samping mengikuti tradisi di kampung bagi setiap anak-anak harus mengaji, Tgk Ibrahim juga mengikuti pendidikan sekolah umum, yakni Sekolah Rakyat (SR).
Memperhatikan pada kecerdasannya yang ditampilkan selama ia berkiprah dalam masyarakat, jika dia dapat melanjutkan sekolah, pasti dia merupakan salah seorang yang berpredikat Profesor di kepulauan Nusantara ini. Sayangnya, dia tidak dapat melanjutkan studinya melalui jalur sekolah karena ketika dia masih menduduki kelas 3 SR, meletusnya peristiwa Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Aceh.
Di suatu hari, menurut ceritanya, ketika dia bersama teman-temannya sedang belajar di kelas, lalu datang serombongan orang yang mengatasnamakan gerakan DI/TII, meminta mereka semua keluar dari kelas, karena mereka akan membakar gedung sekolah tersebut. Dan benar begitu para murid keluar dari ruangan mereka langsung membakar gedung sekolah mereka yang terletak dekat dengan kedai Matang Jeulikat.
‘Aneuk meudagang’
Setelah beberapa tahun tidak dibangun sekolah dan Tgk Ibrahim telah menamatkan pengajian dasarnya di kampung, lalu beliau berangkat meudagang (jak beut) di dayah Tgk Muhammad Thaib di Idi, Aceh Timur. Sebagaimana kebiasaan aneuk meudagang yang sering pindah-pindah tempat mengaji, terakhir Tgk Ibrahim melanjutkan studinya di Dayah Mudi Mesra Samalanga, di bawah asuhan Tgk H Abdul Aziz.
Sepulang dari Dayah Mudi Mesra, akhir 1975, bersama masyarakat langsung membangun Dayah Malikussaleh di Panton Labu, Aceh Utara. Tgk Ibrahim telah berbuat untuk umat, memimpin dan membina Dayah ini sampai akhir hayatnya. Banyak alumni dayah ini telah tersebar, terutama sekali di Aceh, yang menjadi pelanjut dakwah, mengajarkan agama Allah kepada umat.
Kendatipun Tgk Ibrahim hanya tamatan dayah, tetapi ia telah memperlihatkan kapasitasnya dalam berbagai bidang. Dalam bidang sosial, Tgk Ibrahim adalah salah seorang pendiri Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) dan dia sendiri dipercayakan sebagai ketua sampai akhir hayatnya.
Sebagai seorang ulama yang dihormati oleh masyarakat, dia sering diminta oleh berbagai institusi untuk memberi pemikiran bagaimana membangun masyarakat. Pada masa konflik, siapapun yang bertugas menciptakan keamanan di Aceh selalu berkonsultasi dengannya. Tetapi ketika dia melihat bahwa hak-hak rakyat telah terabaikan oleh Negara, Tgk Ibrahim aktif mendukung ide referendum.
Tidak hanya tingkat daerah, pemerintah tingkat pusat pun sering mengharapkan kontribusinya dalam menciptakan perdamaian di Aceh. Hampir tidak ada presiden Indonesia, selama Tgk Ibrahim telah menjadi tokoh umat, yang tidak mengundangnya untuk memberikan pemikiran-pemikiran dalam rangka membangun anak bangsa. Mulai dari Presiden Suharto, BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid sampai pada presiden yang masih memerintah sekarang, Susilo Bambang Yudoyono (SBY).
Pemikiran dalam bidang resolusi konflik yang dimiliki oleh Tgk Ibrahim, tidak hanya pada tingkat praktis yang sering diberikan kepada para pejabat yang menangani konflik di Aceh. Bahkan dia sendiri juga sering aktif dalam bernegosiasi untuk mendamaikan antara dua kelompok yang berkonflik, yaitu antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tgk Ibrahim memiliki konsep sendiri secara filosofi yang didasarkan pada ayat Alquran.
Para ahli confict resolution sering mendefinisikan konflik itu sebenarnya in your mind, if you don’t mind it does not matter. Begitu sederhana. Banyak juga intelektual muslim mengutip ayat Alquran tentang perdamaian, yang disandarkan pada kata ishlah atau fashlihu yang artinya damaikanlah. Tetapi, Tgk Ibrahim lebih senang mengambil ayat yang menggunakan kata-kata lita’arafu, yaitu hendaklah saling mengenal dan saling memahami.
Praktis dan kuratif
Apa yang dapat kita lihat perbedaannya? Kata-kata fashlihu (damaikanlah), lebih kepada praktis dan kuratif. Sementara kata lita’arafu saling mengenal, saling memahami adalah makna yang memiliki hikmah agar tidak terjadi konflik atau preventif. Andai kata semua orang mengamalkan metode resolusi konflik dengan kata-kata lita’arafu itu, berarti konflik tidak pernah terjadi.
Dengan demikian, tidak ada manusia yang menjadi korban. Tidak ada harta benda yang habis ditelan konflik. Tidak hanya dalam arti konflik politik, termasuk konflik aliran. Anadai kata setiap aliran atau mazhab agama mengamalkan lita’arafu (saling mengenal, saling memahami) maka tidak ada lagi perpecahan di kalangan umat.
Sekarang filosof bidang perdamaian kita, Tgk Ibrahim Bardan telah tiada. Kita doakan semoga diberi tempat yang layak sebagai seorang ulama penganjur kebenaran agama Allah. Mari kita cerna kembali filsafat perdamaiannya, semoga kita tidak lagi berkonflik sesama kita. Semoga!
* Prof. Dr. M. Hasbi Amiruddin, MA, Guru Besar Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: hasbi_amiruddin@yahoo.com
Sumber: Serambi Indoensia, 1 Mei 2013
EmoticonEmoticon