RMOL. Dari waktu ke waktu, nasib kaum minoritas di Indonesia sangat memperihatinkan, dan bahkan mengenaskan. Sebut saja misalnya, GKI Yasmin yang ditutup, kelompok Ahmadiyah yang terus disudutkan, atau muslim Syiah yang terus terancam.
Sejumlah kasus di atas, atau penindasan terhadap kaum minoritas itu, menurut Cendekiawan Muslim Jalaluddin Rakhmat benar-benar telah mencabik-cabik keindonesiaan. Dan ironisnya, hukum tidak bisa membela nasib kaum minoritas itu.
Dalam kasus GKI Yasmin Bogor misalnya, keputusan hukum yang dikeluarkan Mahkamah Agung (MA) ternyata tidak berfungsi, dan di lapangan kelompok tertentu tetap memaksakan kehendak agar GKI Yasmin ditutup. Lebih mengenaskan lagi dalam penyerangan terhadap muslim Syiah di Madura. Selain menjadi korban tindakan anarkisme sekelompok orang, malah tokoh Syiah di Madura yang diserang itu yang dihukum empat tahun penjara, sementara si penyerang bebas melenggang tanpa ada jeratan hukum sama sekali.
"Boleh saya katakan, hukum impoten membela kelompok minoritas," kata Jalaluddin Rakhmat, yang juga Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), saat berbincang dengan Rakyat Merdeka Online, Jumat sore (3/5).
Menurut Jalaluddin Rakhmat, hukum menjadi impoten karena beberapa hal. Diantaranya, institusi-institusi pemerintah, dan juga legislatif, mismanagement. Mismanagement ini terjadi karena orang-orang yang ada institusi-institusi tersebut tidak konsisten dalam menegakkan hukum.
Selain itu, kata master komunikasi dari Iowa State University dan doktor untuk studi tentang perubahan politik dan hubungan internasional dari Australia National University (ANU) ini, hukum menjadi impoten karena selalu ada muatan politik di balik persoalan hukum. Bahkan seringkali kepentingan-kepentingan politik mengalahkan keputusan-keputusan hukum.
Hal inilah yang akhirnya memaksa Kang Jalal, begitu ia disapa, untuk terjun ke politik. Kang Jalal mau memperjuangkan penegakan hukum dan juga mau melindungi nasib kaum minoritas melalui jalur politik.
"Kalau saya tidak percaya dengan institusi-institusi itu, atau tidak percaya dengan tokoh-tokoh yang ada dalam institusi itu untuk membela kaum tertindas, paling tidak saya masih percaya terhadap diri saya sendiri. Saya percaya terhadap diri saya, bahwa saya bisa jujur dan saya bisa meperjuangkan nasib kelompok minoritas," ungkap Kang Jalal.
Anggota Phi Kappa Phi dan Sigma Delta Chi yang juga meraih gelar doktor bidang hadits ini pun kini sudah masuk dalam daftar bakal caleg dari PDI Perjuangan. [ysa]
Sumber: Rakyat Merdeka Online
Sejumlah kasus di atas, atau penindasan terhadap kaum minoritas itu, menurut Cendekiawan Muslim Jalaluddin Rakhmat benar-benar telah mencabik-cabik keindonesiaan. Dan ironisnya, hukum tidak bisa membela nasib kaum minoritas itu.
Dalam kasus GKI Yasmin Bogor misalnya, keputusan hukum yang dikeluarkan Mahkamah Agung (MA) ternyata tidak berfungsi, dan di lapangan kelompok tertentu tetap memaksakan kehendak agar GKI Yasmin ditutup. Lebih mengenaskan lagi dalam penyerangan terhadap muslim Syiah di Madura. Selain menjadi korban tindakan anarkisme sekelompok orang, malah tokoh Syiah di Madura yang diserang itu yang dihukum empat tahun penjara, sementara si penyerang bebas melenggang tanpa ada jeratan hukum sama sekali.
"Boleh saya katakan, hukum impoten membela kelompok minoritas," kata Jalaluddin Rakhmat, yang juga Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), saat berbincang dengan Rakyat Merdeka Online, Jumat sore (3/5).
Menurut Jalaluddin Rakhmat, hukum menjadi impoten karena beberapa hal. Diantaranya, institusi-institusi pemerintah, dan juga legislatif, mismanagement. Mismanagement ini terjadi karena orang-orang yang ada institusi-institusi tersebut tidak konsisten dalam menegakkan hukum.
Selain itu, kata master komunikasi dari Iowa State University dan doktor untuk studi tentang perubahan politik dan hubungan internasional dari Australia National University (ANU) ini, hukum menjadi impoten karena selalu ada muatan politik di balik persoalan hukum. Bahkan seringkali kepentingan-kepentingan politik mengalahkan keputusan-keputusan hukum.
Hal inilah yang akhirnya memaksa Kang Jalal, begitu ia disapa, untuk terjun ke politik. Kang Jalal mau memperjuangkan penegakan hukum dan juga mau melindungi nasib kaum minoritas melalui jalur politik.
"Kalau saya tidak percaya dengan institusi-institusi itu, atau tidak percaya dengan tokoh-tokoh yang ada dalam institusi itu untuk membela kaum tertindas, paling tidak saya masih percaya terhadap diri saya sendiri. Saya percaya terhadap diri saya, bahwa saya bisa jujur dan saya bisa meperjuangkan nasib kelompok minoritas," ungkap Kang Jalal.
Anggota Phi Kappa Phi dan Sigma Delta Chi yang juga meraih gelar doktor bidang hadits ini pun kini sudah masuk dalam daftar bakal caleg dari PDI Perjuangan. [ysa]
Sumber: Rakyat Merdeka Online
EmoticonEmoticon