Oleh Doni Koesoema A
-
-
Hari-hari ini, banyak sekolah terserang panik sertifikasi. Yang belum sertifikasi bingung bagaimana memenuhi tuntutan mengajar 24 jam. Yang sudah sertifikasi bingung bagaimana mempertahankan 24 jam mengajar.
Jika tidak dicarikan solusi, hal ini bisa menghancurkan kinerja pendidikan, melemahkan motivasi guru, dan membuat profesi guru menjadi tidak menarik.
Sumber kepanikan adalah beban kerja mengajar 24 jam per minggu sesuai Undang-Undang Guru dan Dosen Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008.
Sebelumnya, beban mengajar bisa diperoleh melalui kegiatan pendampingan siswa yang tidak langsung terkait tatap muka dalam kelas. Sekarang, aturan diperketat. Yang berlaku hanya jam mengajar tatap muka di kelas, dengan mata pelajaran yang sama saat sertifikasi, dan harus linear kalau mengajar di sekolah lain. Misalnya, jam mengajar guru matematika SMP di SMP lain hanya diakui jam mengajarnya bila juga mengajar matematika.
Guru SMP tidak boleh mencari tambahan beban mengajar di SD karena guru SD harus guru kelas. Guru SMP juga tidak akan diverifikasi datanya jika ia mengajar di SMA.
Tambahan jam mengajar bisa diperoleh bila guru memiliki tugas khusus, misalnya sebagai kepala sekolah, wakil kepala sekolah, kepala laboratorium, kepala perpustakaan, dan lain-lain, yang dihitung sebagai jam mengajar dengan jumlah tertentu.
Sistem "online"
Persoalan menjadi semakin rumit—dan membuat panik—karena sistem seleksi verifikasi pendataan berlangsung online. Sistem sudah tersedia, data sekolah dan pendidik tinggal dimasukkan untuk verifikasi.
Namun, sistem online menjadi bermasalah karena banyak data guru yang tak dapat diverifikasi, entah karena kesalahan parameter, ketidaknormalan—misalnya jumlah jam mengajar di sekolah melebihi ketentuan—atau kesalahan input pendataan sebelumnya.
Guru yang telah disertifikasi juga harus memperbarui data jam mengajar, terdiri dari jumlah jam mengajar, jumlah jam mengajar kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan jumlah jam mengajar linear. Jika jumlah ketiga kriteria ini sama dengan atau lebih dari 24, guru akan dapat diverifikasi datanya. Jika tidak, data tidak dapat diinput dan tunjangan sertifikasi tidak muncul. Karena itu, dengan segala cara guru berusaha memenuhi tuntutan jam mengajar 24 jam.
Teknokrasi kebijakan
Kebijakan sertifikasi guru— yang menurut riset Bank Dunia terbukti meningkatkan kesejahteraan dan pamor profesi guru—ternyata berpotensi menjadi kebijakan teknokratis, kebijakan yang mengandalkan otoritas, sistem kontrol anonim melalui pelaporan yang ketat, seolah pihak-pihak yang sedang diuji datanya adalah pihak-pihak yang tidak pantas dipercaya.
Guru sebagai pendidik, bahkan setelah memperoleh sertifikat, tetap harus membuat verifikasi data tiap semester, menyerahkan kembali berkas-berkas, sementara mereka juga dituntut memenuhi berbagai macam aturan pemerintah yang berubah-ubah setiap tahun. Guru akhirnya disibukkan dengan urusan administrasi, kurang konsentrasi pada pengajaran.
Teknokratisme dan birokratisisme sertifikasi guru juga merusak moral pendidik.
Pertama, untuk mengatasi kekurangan jam mengajar, ada sekolah yang menerapkan arisan jam mengajar sehingga seolah- olah guru memiliki beban mengajar 24 jam per minggu. Ada pula yang membayar guru honorer yang mengajar di sekolah lain, lalu memanipulasi data untuk kepentingan guru penyogok.
Kedua, suasana di sekolah menjadi kurang kondusif. Demi sertifikasi, para guru senior akan mengambil jatah mengajar guru yunior untuk mengamankan diri. Para guru yunior atau guru tetap yang belum menjalani sertifikasi akan menjadi korban.
Ketiga, di sekolah yang memiliki jumlah murid sedikit dan rombongan belajar kecil, para guru yang mengampu mata pelajaran dengan jumlah jam mengajar sedikit akan sulit memenuhi beban mengajar 24 jam. Misalnya, mata pelajaran sejarah, agama, pendidikan jasmani, dan kesenian yang hanya memiliki alokasi mengajar 2 jam per minggu.
Keempat, kebijakan kewajiban mengajar 24 jam tidak akan terpenuhi di sekolah swasta dengan jumlah murid sedikit. Apalagi dengan adanya ekspansi sekolah negeri ke daerah-daerah sehingga mematikan sekolah swasta.
Kelima, kewajiban mengajar 24 jam merupakan kebijakan yang tidak memercayai bahwa guru bekerja dan memastikan bahwa guru tidak menganggur. Ini pemikiran aneh. Kegiatan guru di luar jam mengajar tidak dianggap sebagai bagian dari kompetensi guru (pedagogis, personal, individual, dan sosial) seperti mempersiapkan materi pelajaran, membuat soal ulangan, mengoreksi, mendampingi ekstrakurikuler, bertemu orangtua siswa, dan seterusnya.
Solusi
Untuk mengatasi panik sertifikasi, pemerintah perlu membuat kebijakan pendidikan berbasis kondisi konkret.
Sebagai contoh, sebelum ada mata pelajaran IPA terintegrasi (biologi dan fisika) di SMP, ada dua guru pengampu. Ketika pemerintah mengganti nama mata pelajaran di SMP menjadi IPA terintegrasi, faktanya, guru pengajar tetap dua, yaitu guru biologi dan fisika. Sebab, guru biologi belum tentu bisa mengajar fisika dan sebaliknya. Perubahan nama mata pelajaran ini berpengaruh pada sertifikasi karena jatah jam mengajar dibagi menjadi dua. Hal yang sama berlaku untuk guru IPS terpadu (sosiologi, ekonomi, geografi, dan sejarah).
Kedua, menghitung kinerja guru berdasarkan aturan minimal 24 jam mengajar adalah kebijakan yang tidak fair dan tidak menilai kinerja guru secara utuh. Guru hanya dinilai kinerja profesionalnya melalui jam tatap muka, padahal ada yang jam mengajarnya terbatas.
Ketiga, aturan jam mengajar per minggu sebaiknya dihitung dalam totalitas satu bulan. Di beberapa sekolah, sistem penggajian jam mengajar guru hanya berdasarkan pada pengajaran guru dalam seminggu. Misalnya, seorang guru mengajar mata pelajaran tertentu 24 jam per minggu, maka besarnya gaji per bulan yang ia terima adalah harga per jam mengajar kali 24 jam. Untuk pengajaran tiga minggu lainnya, guru tidak dibayar.
Karena itu, kebijakan 24 jam mengajar per minggu perlu ditinjau.
Doni Koesoema A Pemerhati Pendidikan
(Kompas cetak, 4 Mei 2013)
(Kompas cetak, 4 Mei 2013)
EmoticonEmoticon