16 Mei 2013

Sulitnya Mencari Parpol Bersih

OLEH SYAMSUDDIN  HARIS

Sejumlah kasus dugaan  suap dan korupsi yang melibatkan  hampir semua  parpol di negeri ini tidak hanya  benar-benar mengecewakan  publik, tetapi juga menimbulkan  pertanyaan, masih adakah  parpol yang bersih dan layak  dipilih? Jika tidak, masih  perlukah Pemilu  2014 digelar?  Pertanyaan ekstrem  di atas wajarwajar  saja muncul  jika dua parpol yang  selama ini terdepan  menepuk dada sebagai  partai bersih,  Partai Demokrat dan  Partai Keadilan Sejahtera,  ternyata dirundung  dugaan  skandal suap dan korupsi.  

Belum reda  keterkejutan kita  atas nasib sejumlah  pimpinan teras Demokrat  yang ditetapkan  sebagai tersangka  kasus Hambalang  oleh Komisi Pemberantasan  Korupsi, tiba-tiba publik  dikagetkan oleh penangkapan  Presiden PKS Luthfi  Hasan Ishaaq.  Seperti ramai diwartakan,  Luthfi dijadikan tersangka oleh  KPK dalam kasus dugaan suap  impor daging sapi yang otoritasnya  berada di tangan Menteri  Pertanian Suswono, kader  PKS lainnya. 

Skandal suap dan  korupsi impor daging sapi semakin  ramai bukan hanya lantaran  tersangka Ahmad Fathanah,  sahabat sekaligus “broker”  Luthfi dengan otoritas Kementerian  Pertanian, diduga mengalirkan  rezeki haram ke sejumlah  perempuan sosialita, tetapi  juga turut menyeret PKS.  Sebagai parpol yang mengusung  semboyan “bersih dan  peduli”, skandal suap daging sapi  yang menyeret Luthfi jelas  mencoreng citra bersih PKS.  

Terlepas dari soal bahwa skandal  ini hanya melibatkan Luthfi  secara personal, namun jelas  mustahil bagi Luthfi mempunyai  akses untuk memperoleh  kuota impor daging sapi dari  Menteri Pertanian jika dia bukan  dalam posisi sebagai pemimpin  tertinggi PKS. Dengan  kata lain, citra buruk partai adalah  risiko yang harus diterima  setiap parpol jika petinggi parpol  yang bersangkutan tersangkut  kasus hukum.  

Nila Setitik  Kasus Demokrat dan PKS semakin  membuka mata kita betapa  sulitnya menemukan parpol  yang benar-benar bersih dari  skandal korupsi di negeri ini.  Ironisnya, kasus suap dan korupsi  bukan hanya dilakukan  politisi parpol berlatar belakang  sekuler-nasionalis, melainkan  juga partai-partai agama dan  berbasis agama.  

Dari segi posisi terhadap  kekuasaan, politisi korup  bukan hanya berasal dari parpol  koalisi, melainkan juga dari  oposisi. Sementara dari segi  klaim subjektif, hampir tidak  ada perbedaan antara parpol  yang mengusung haluan sebagai  parpol bersih, dan parpol  yang sejak awal memang tidak  berani gegabah menepuk dada  seperti itu.  

Oleh karena itu, tidak mengherankan  jika tingkat kepercayaan  publik terhadap parpolparpol  kita cenderung terus merosot  dari waktu ke waktu. Di  luar musim pemilu (dan juga pemilihan  kepala daerah), publik  hanya disuguhi perilaku korup  politisi parpol yang ironisnya tidak  kunjung berkurang kendati  intensitas pemberantasan korupsi  oleh KPK, kepolisian, dan  kejaksaan juga cukup meningkat.  Sudah tentu tidak  semua politisi berperilaku  demikian, namun  ibarat kata pepatah,  “(karena) nila  setitik maka rusaklah  susu sebelanga”.  

Barangkali inilah  problem besar bangsa  kita di balik euforia  parpol dan politisi  menyongsong Pemilu  2014. Pemilu adalah  momentum bagi  publik untuk “menghukum”  parpol dan  politisi yang tidak  bertanggung jawab.  Namun jika perilaku  oportunistis dan koruptif  parpol dan politisi  tidak berkurang,  dan sebagian besar  anggota parlemen diajukan  kembali sebagai calon  anggota legislatif dalam pemilu  mendatang, lalu siapa lagi  yang harus dipilih?  

Standar Etika  

Fakta bahwa tidak ada perbedaan  mendasar antara parpol  nasionalis-sekuler dan partai  agama (Islam) dalam soal korupsi  benar-benar mencengangkan  publik. Realitas ini  membongkar asumsi umum  yang berlaku, seolah-olah partai  Islam dan berbasis Islam memiliki  standar moralitas lebih  baik atau lebih “tinggi” dibandingkan  partai nasionalis-sekuler.  

Berbagai kasus suap dan korupsi  yang melibatkan hampir  semua parpol selama ini justru  memperlihatkan, parpol atas  nama apa pun di negeri ini tidak  memiliki standar etika yang  jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.  Konsekuensi logis dari kenyataan  tersebut adalah berlangsungnya  perebutan kue kesempatan  untuk melakukan  tindak pidana korupsi oleh para  politisi hampir tanpa kecuali.  

Belum begitu jelas bagi kita, berapa  besar bagian atau persentase  yang diterima parpol dari  dana-dana haram hasil suap  dan korupsi ini, berapa pula  yang masuk ke kantong pribadi.  Yang jelas adalah, parpol dan para  politisi busuk yang melakukannya  saling melindungi selama  tindak pidana korupsi itu tidak  tercium oleh KPK dan aparat  penegak hukum lainnya.  

Akan tetapi begitu skandal  korupsi terungkap, para petinggi  parpol secara berapi-api  membela parpol mereka, seolah-  olah partai secara institusi  tidak terkait, seakan-akan korupsi  bisa berlangsung tanpa fasilitas,  dukungan, infrastruktur,  dan kedudukan strategis sebagai  pengurus parpol. Juga seakan-  akan parpol bisa membiayai  diri tanpa dana-dana haram  yang dicuri dari anggaran pendapatan  dan belanja negara  (APBN) dan anggaran daerah  (APBD).  

Itulah sekilas potret buruk  parpol dan politisi kita menjelang  Pemilu 2014, yakni parpolparpol  dan para politisi yang hanya  siap berkuasa namun tidak  siap bertanggung jawab, apalagi  berkorban bagi bangsa dan negaranya.  Mereka menebar pesona  dan menabur janji-janji surga  demi dukungan dan mandat  politik melalui pemilu, namun  kemudian mencampakkan nasib  rakyat dan bangsanya hanya  sebagai alas kaki syahwat  kekuasaan.  Barangkali di sinilah urgensi  reformasi perundang-undangan  pemilu dan keparlemenan kita  ke depan, yakni bagaimana  melembagakan mekanisme  akuntabilitas yang lebih langsung  antara para wakil dan  konstituennya.  

Salah satu instrumen yang  diperlukan adalah adanya  mekanisme institusional bagi  publik untuk menggugat para  wakil yang korup dan tidak  bertanggung jawab tanpa harus  menunggu pemilu berikutnya.  Kalau tidak, pemilu pada  akhirnya hanya menjadi “pesta”  bagi parpol dan politisi, sementara  rakyat kita mencuci  piringnya. 

SYAMSUDDIN  HARIS  Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI 


Sumber: Koran Sindo, 16 Mei 2013

Lorem ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry.


EmoticonEmoticon