Jakarta - Biaya politik yang cukup mahal dalam pemilu legislatif (pileg) merupakan akar dari meningkatnya korupsi. Biaya politik tetap meningkat di pileg 2014 juga menyebabkan korupsi akan tetap ada. Koordinator Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menilai biaya politik yang mahal tersebut memang diakui oleh sejumlah anggota DPR yang kembali menjadi caleg untuk pileg 2014. Mereka harus menyiapkan uang Rp1 miliar hingga Rp6 miliar.
Karena itu, partai politik (parpol) juga berusaha untuk mencari orang-orang berduit untuk dicalonkan. "Trennya parpol cari orang berduit untuk dicalonkan. Apakah itu uang pribadi, maupun dari perusahaan. Bahkan ada yang mengaku membiayai caleg dengan perjanjian ketika terpilih mengakomodir kepentingan pemodal," ujar Sebastian, Senin lalu.
Hal yang menarik, menurut, Sebastian, orangiorang yang berduit yang akan masuk parlemen akan penuh dengan kepentingan. Misalnya mengadakan proyek atau mengamankan pemilih perusahaan atau korporasi. Dengan demikian, sangat masuk akal kalau terdapat puluhan undang-undang yang sarat kepentingan asing atau korporasi. Apalagi, dengan sistem politik yang sangat mahal dan besar sekarang ini.
"Lalu parpol mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan pengusaha. Itu kan bahaya, karena pada akhirnya mereka yang menentukan arah kebijakan parpol," tuturnya. Selain itu, berdasarkan perkiraan Sebastian jika rata-rata seorang caleg membutuhkan dana sekitar Rp6 miliar tentu pengeluaran sebesar itu tidak bisa ditutupi dengan gaji 5 tahun menjabat sebagai anggota DPR.
"Logika tiap bulan gaji Rp60 Juta, tiap tahunnya sekitarRp 700 jutaan. Selama lima tahun sekitar Rp3 miliaran. Dengan cara seperti itu, banyak anggota DPR yang bermain di izin-izin proyek pertambangan dan perkebunan," kata Sebastian.
Sumber penggunaan dana kampanye bagi partai politik (parpol) masih menjadi persoalan yang kontroversial. Dalam Undang-undang (UU) Nomor 2/2008 Jo UU Nomor 2/2011, keuangan parpol berasal dari iuran anggota. Selain itu, sumber keuangan parpol berasal dari sumbangan yang sah menurut hukum, bantuan keuangan dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Namun, tidak ada aturan mengenai batasan penggunaan dana dalam kampanye parpol, sementara hal itu sangat penting untuk diatur. Menurut Direktur Lingkar Madani Untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti mengatakan, mahalnya biaya politik di Indonesia karena tidak ada batasan besarnya dana kampanye untuk caleg dan parpol. Menurutnya, bila dana kampanye tidak dibatasi jelas akan mendorong sistem politik yang bebas, parpol yang memiliki akses terhadap kekuasaan, memiliki kebebasan menggunakan sumber daya yang tidak terbatas untuk meraih dukungan politik dari rakyat.
Kebutuhan pendanaan yang sangat besar menyebabkan parpol belomba-lomba mengakses sumber dana termasuk dari sumber haram dan pendanaan dari pihak asing. "Modus yang sering ditemukan menggunakan kekuasaan politiknya untuk merampok anggaran negara, baik dalam APBN maupun APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah)," ujarnya.
Sedangkan Direktur Institut Hijau Indonesia (IHI) Chalid Muhammad, mengatakan, hampir seluruh Pemilukada, Pileg DPR dan DPRD, dan Pilpres mengandalkan dananya dari eksploitasi sumber daya alam (SDA).
Chalid bahkan menduga, para simpatisan, pengurus, sampai ketua umum parpol ikut terlibat dalam eksploitasi SDA. "Kalau dilihat secara parpol, ini adalah mereka yang ikut dalam Pemilukada. Setiap peristiwa politik di daerah beriringan dengan naiknya izin usaha, misalnya di sektor pertambangan," ujarnya.
Berdasarkan kajian Chalid dari 40 orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes hampir semuanya diuntungkan dengan sistem politik yang berlangsung saat ini. Caranya, yakni terlibat dalam pembiayaan proses politik dengan harapan dapat mengambil balik keuntungan.
"Kalau dilihat data majalah Forbes, 40 orang terkaya Indonesia itu hampir semuanya masuk ke parpol. Di mana calon-calon dari parpol mereka ongkosi. Duitnya mengalir ke orang-orang fungsionaris parpol. Tentu mereka mau melanggengkan sistem politik lewat pembiayaan politik," tandasnya.
PR Consultant, Silih Agung mengatakan, saat ini seharusnya Partai Politik yang mampu menemukan cara yang hemat untuk berkampanye, tanpa harus merogoh kocek yang dalam untuk menggelontorkan dana cukup besar. Silih pun memberi contoh usaha waralaba besar dari Amerika Serikat, Starbuck ataupun industry otomotif besar Harley Davidson yang dinilai tidak terlalu banyak mengeluarkan dana untuk promosi dan kampanye.
"Lihatlah bagaimana Harley Davidson dan Starbuck. Pernah lihat tidak balihonya Harley atau Starbuck?," ujar Silih menyindir di Seminar yang digelar oleh CIDES, Sabtu lalu.
Menurutnya, meski tidak memasang banyak iklan dan menghabiskan dana untuk baliho maupun boks iklan, namun loyalitas konsumen keduanya cukup tinggi. "Loyalitas mereka luar biasa. Saya pernah melihat orang berumur 60 tahun menggunakan tatto Harley, bayangkan kalau partai Indonesia seperti itu?,"ujar Silih berkelakar.
Silih pun menyarankan agar partai di Indonesia bisa berpikir lebih kreatif dalam berkampanye sehingga pada akhirnya bisa menekan biaya dan menghemat anggaran.
Center of Information and Development Studies (CIDES) menggelar Seminar "Marketing Politik dan Biaya Politik Haruskah Mahal" di Gedung The Habibie Center hari ini.
Hadir dalam diskusi tersebut Silih Agung Wasesa (PR Consultant), M Arifin Purwakanata (Direktur Sumber Daya Dompet Duafa), Hanta Yudha (Peneliti Senior Indonesia Institute), Rahimah Abdulrahim (Direktur Eksekutif THC) dan Anissa Qitshi (CIDES UI). (mur/ups/yon/zackir)
Sumber: madina.co.id
Karena itu, partai politik (parpol) juga berusaha untuk mencari orang-orang berduit untuk dicalonkan. "Trennya parpol cari orang berduit untuk dicalonkan. Apakah itu uang pribadi, maupun dari perusahaan. Bahkan ada yang mengaku membiayai caleg dengan perjanjian ketika terpilih mengakomodir kepentingan pemodal," ujar Sebastian, Senin lalu.
Hal yang menarik, menurut, Sebastian, orangiorang yang berduit yang akan masuk parlemen akan penuh dengan kepentingan. Misalnya mengadakan proyek atau mengamankan pemilih perusahaan atau korporasi. Dengan demikian, sangat masuk akal kalau terdapat puluhan undang-undang yang sarat kepentingan asing atau korporasi. Apalagi, dengan sistem politik yang sangat mahal dan besar sekarang ini.
"Lalu parpol mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan pengusaha. Itu kan bahaya, karena pada akhirnya mereka yang menentukan arah kebijakan parpol," tuturnya. Selain itu, berdasarkan perkiraan Sebastian jika rata-rata seorang caleg membutuhkan dana sekitar Rp6 miliar tentu pengeluaran sebesar itu tidak bisa ditutupi dengan gaji 5 tahun menjabat sebagai anggota DPR.
"Logika tiap bulan gaji Rp60 Juta, tiap tahunnya sekitarRp 700 jutaan. Selama lima tahun sekitar Rp3 miliaran. Dengan cara seperti itu, banyak anggota DPR yang bermain di izin-izin proyek pertambangan dan perkebunan," kata Sebastian.
Sumber penggunaan dana kampanye bagi partai politik (parpol) masih menjadi persoalan yang kontroversial. Dalam Undang-undang (UU) Nomor 2/2008 Jo UU Nomor 2/2011, keuangan parpol berasal dari iuran anggota. Selain itu, sumber keuangan parpol berasal dari sumbangan yang sah menurut hukum, bantuan keuangan dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Namun, tidak ada aturan mengenai batasan penggunaan dana dalam kampanye parpol, sementara hal itu sangat penting untuk diatur. Menurut Direktur Lingkar Madani Untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti mengatakan, mahalnya biaya politik di Indonesia karena tidak ada batasan besarnya dana kampanye untuk caleg dan parpol. Menurutnya, bila dana kampanye tidak dibatasi jelas akan mendorong sistem politik yang bebas, parpol yang memiliki akses terhadap kekuasaan, memiliki kebebasan menggunakan sumber daya yang tidak terbatas untuk meraih dukungan politik dari rakyat.
Kebutuhan pendanaan yang sangat besar menyebabkan parpol belomba-lomba mengakses sumber dana termasuk dari sumber haram dan pendanaan dari pihak asing. "Modus yang sering ditemukan menggunakan kekuasaan politiknya untuk merampok anggaran negara, baik dalam APBN maupun APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah)," ujarnya.
Sedangkan Direktur Institut Hijau Indonesia (IHI) Chalid Muhammad, mengatakan, hampir seluruh Pemilukada, Pileg DPR dan DPRD, dan Pilpres mengandalkan dananya dari eksploitasi sumber daya alam (SDA).
Chalid bahkan menduga, para simpatisan, pengurus, sampai ketua umum parpol ikut terlibat dalam eksploitasi SDA. "Kalau dilihat secara parpol, ini adalah mereka yang ikut dalam Pemilukada. Setiap peristiwa politik di daerah beriringan dengan naiknya izin usaha, misalnya di sektor pertambangan," ujarnya.
Berdasarkan kajian Chalid dari 40 orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes hampir semuanya diuntungkan dengan sistem politik yang berlangsung saat ini. Caranya, yakni terlibat dalam pembiayaan proses politik dengan harapan dapat mengambil balik keuntungan.
"Kalau dilihat data majalah Forbes, 40 orang terkaya Indonesia itu hampir semuanya masuk ke parpol. Di mana calon-calon dari parpol mereka ongkosi. Duitnya mengalir ke orang-orang fungsionaris parpol. Tentu mereka mau melanggengkan sistem politik lewat pembiayaan politik," tandasnya.
PR Consultant, Silih Agung mengatakan, saat ini seharusnya Partai Politik yang mampu menemukan cara yang hemat untuk berkampanye, tanpa harus merogoh kocek yang dalam untuk menggelontorkan dana cukup besar. Silih pun memberi contoh usaha waralaba besar dari Amerika Serikat, Starbuck ataupun industry otomotif besar Harley Davidson yang dinilai tidak terlalu banyak mengeluarkan dana untuk promosi dan kampanye.
"Lihatlah bagaimana Harley Davidson dan Starbuck. Pernah lihat tidak balihonya Harley atau Starbuck?," ujar Silih menyindir di Seminar yang digelar oleh CIDES, Sabtu lalu.
Menurutnya, meski tidak memasang banyak iklan dan menghabiskan dana untuk baliho maupun boks iklan, namun loyalitas konsumen keduanya cukup tinggi. "Loyalitas mereka luar biasa. Saya pernah melihat orang berumur 60 tahun menggunakan tatto Harley, bayangkan kalau partai Indonesia seperti itu?,"ujar Silih berkelakar.
Silih pun menyarankan agar partai di Indonesia bisa berpikir lebih kreatif dalam berkampanye sehingga pada akhirnya bisa menekan biaya dan menghemat anggaran.
Center of Information and Development Studies (CIDES) menggelar Seminar "Marketing Politik dan Biaya Politik Haruskah Mahal" di Gedung The Habibie Center hari ini.
Hadir dalam diskusi tersebut Silih Agung Wasesa (PR Consultant), M Arifin Purwakanata (Direktur Sumber Daya Dompet Duafa), Hanta Yudha (Peneliti Senior Indonesia Institute), Rahimah Abdulrahim (Direktur Eksekutif THC) dan Anissa Qitshi (CIDES UI). (mur/ups/yon/zackir)
Sumber: madina.co.id
EmoticonEmoticon