Sebagai negara dan bangsa yang telah 62 tahun merdeka, semua rakyat di berbagai lapisan, kecuali di lingkungan pejabat dan penjahat negara terus-menerus mengeluh dengan berbagai macam penderitaan, kemiskinan, kebodohan, penyakit, pengangguran, dan kriminalitas yang semakin bringas serta biadab. Sehingga membuat kita harus bertanya, mengapa semua ini menimpa negeri kita?
Siapa biang kerok yang menanggung kesalahan fatal ini? Apa sebabnya begitu lama bangsa ini dirundung kemurungan dan kenistaan, padahal kita mengaku sebagai bangsa religius, beradab, berhati lembut, dan berjiwa santun? Menguap kemanakah sifat-sifat baik dari bangsa ini, sehingga kini hanya menyisakan moralitas tercela dan rendah? Apakah pengakuan bahwa bangsa ini religius, berhati lembut dan berjiwa santun sekadar lip service dan propaganda palsu, ataukah fakta sejarahnya memang demikian?
Agaknya kita harus berani mengkritik diri sendiri dan membongkar topeng-topeng palsu bangsa kita dengan menengok sejarah masa lalu kita. Dari situ kita memulai untuk bercermin diri, untuk mengetahui dengan yakin apakah kita ini bangsa yang bobrok atau bangsa yang baik?
Menyukai Pemimpin Jahat
Bahwa Indonesia adalah bangsa yang bobrok, rusak moral, dan kacau pikirannya, sudah banyak contohnya. Selama ini, belum pernah Indonesia dinilai positif oleh dunia internasional, dan belum pernah rakyatnya merasakan kebaikan para pemimpin negaranya.
Di zaman orde lama (Orla), selama 22 tahun dipimpin Soekarno, Indonesia dikenal sebagai bangsa tempe, melarat, kemiskinan merajalela. Selama 32 tahun dipimpin Soeharto, rezim orde baru (Orde) dikenal sebagai negara pelanggar HAM parah, sementara warisan hutang luar negeri bejibun, dan menjadi beban rakyat Indonesia. Setelah Orla dan Orba berlalu, negeri kita belum juga naik peringkat, malah lebih terpuruk dari sebelumnya.
Sejak BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, hingga Susilo Bambang Yudhoyono yang terkenal dengan slogan “bersama kita bisa”, berturut-turut Indonesia menduduki posisi teratas dalam hal jeleknya. Sebagai negara terkorup se-Asia, produsen ekstasi terbesar di dunia, paling akrab dengan bencana, paling miskin rakyatnya, paling banyak hutang luar negerinya. Selain itu, negeri kita juga dikenal sebagai negara teroris, maju dibidang pornografi dan pornoaksi, dan yang paling parah negara pengekor asing paling setia.
Kondisi Indonesia yang kian carut-marut hampir dalam segala kehidupan, membenarkan adagium (anggapan), bahwa munculnya pemimpin jahat datang dari masyarakat yang rusak. Dan kerusakan di masyarakat, disebabkan berkuasanya pemimpin jahat, koruptor, perusak moral, mengejar hawa nafsu, bohong kepada masyarakat. Pemimpin jahat biasa memanipulasi kepentingan pribadi dan partainya menjadi kepentingan negara dan masyarakat.
Firman Allah swt, “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada mutrafin (orang-orang yang hidup mewah di negeri itu) supaya mentaati Allah, tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Terj. QS Al Isra’ : 16).
Kepemimpinan “mutrafin” artinya serakah cirinya ada tiga: Hedonis; Menuntut rakyat memenuhi kepentingannya tetapi dia tidak bisa memenuhi kebutuhan rakyatnya; Tidak peduli dan tidak berpihak kepada rakyat miskin dengan berbagai aturan yang dibuat. Semua kebijakannya hanya menguntungkan kepentingan hidupnya sendiri.
Adanya pengaruh-pengaruh merusak dari tiga kelompok kekuatan di tengah masyarakat akan berdampak lahirnya pemimpin-pemimpin yang buruk manajemennya, rusak moralnya dan berhati serigala dalam menghadapi kelompok masyarakat yang lemah.
Contoh, import barang mewah, mobil mewah, mendirikan rumah sakit mewah, industrialisasi, eksploitasi hutan dan tambang, nasionalisasi kebutuhan pokok masyarakat yang tidak memihak kepada rakyat luas. Jalan raya yang dibutuhkan rakyat tidak diurus, kereta api tidak diurus. Namun, ketika anggota DPR butuh laptop malah dibiayai oleh uang negara. Kasus Lumpur Lapindo terkatung-katung, hak-hak tanah masyarakat dikalahkan oleh kepentingan penguasa untuk airport, mall, pabrik dan sebagainya. Rakyat dihargai hak-haknya setelah melawan, seperti yang dilakukan Aceh (GAM dan NII Daud Beureuh).
Mengapa rakyat Indonesia menolak pemimpin yang baik? Karena mental rakyat Indonesia adalah mental aji mumpung. Menderita sekian lama dapat kesenangan sedikit sudah lupa, tidak tahu diuntung. Dalam praktik demokrasi, pemimpin terpilih menunjukkan kualitas rakyat.
Menolak Pemimpin Baik
Sebagai bangsa yang baik, agak sulit bagi kita untuk menemukan faktanya. Mencari pejabat yang jujur dan bertanggung jawab saja, betapa sulitnya. Saat-saat menghadapi ujian nasional tahun ini, masyarakat disuguhi kenyataan memalukan: ujian nasional diawasi aparat kepolisian, dan soal ujian sebelum dibagikan pada hari-H disimpan untuk diamankan di lemari polisi. Kejujuran telah menjadi barang mewah dan langka di negeri ini. Belum lagi, kasus pencucian uang haram, yang merebak dan seakan menjadi zona aman bagi penjahat, termasuk pedagang narkoba.
Dalam kasus IPDN, orang baik-baik seperti Inu Kencana misalnya, dibenci oleh almamaternya sendiri. Sementara para pembunuh, pejabat jahat, diberi naik pangkat. Untuk itu marilah kita lihat respon masyarakat kita terhadap kepemimpinan yang baik sepanjang Indonesia menjadi negeri merdeka. Dengan fakta-fakta sejarah ini, semoga negara dan bangsa ini tahu diri dan bercermin pada masa lalunya. Fakta-fakta sejarah justru bericara kepada kita bahwa masyarakat Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga hari ini menolak dipimpin orang-orang yang baik.
Dalam sejarah Indonesia merdeka, sebenarnya tidak sepi sama sekali dari pemimpin yang baik, memperhatikan kepentingan rakyat, dan membangun negara yang berdaulat penuh.
1.Mr. Assaat (18 September 1904 – 16 Juni 1976) adalah tokoh pejuang Indonesia, pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia pada masa pemerintahan RI di Yogyakarta yang merupakan bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Selama dua tahun kekuasaannya, Mr. Assaat membuat program pemerintahan yang relevan saat itu, dan mencerminkan pembelaan kepada rakyat kecil yang baru saja lepas dari penjajah Belanda. Di antara program pemerintahannya adalah: Bisnis asing (Cina) tidak boleh masuk di Kabupaten ke bawah, kecuali hanya boleh di tingkat propinsi saja. Hal ini berkaitan dengan jaringan bisnis Cina yang menjadi tulang punggung PKI kala itu. Namun, kebijakan Assaat ini dijegal di Parlemen, sehingga masa pemerintahannya tidak bisa bertahan dan kemudian dijatuhkan.
2.Mohammad Natsir (Minangkabau, Sumatera Barat, 17 Juli 1908 – Jakarta, 6 Februari 1993) adalah pemimpin Masyumi dan salah seorang tokoh politik dan tokoh Islam di Indonesia. Pada 5 September 1950 hingga 26 April 1951 Natsir dipilih menjadi Perdana Menteri RI. Hanya dalam waktu tidak lebih 8 bulan saja bertugas memimpin negara, Natsir berhasil menyatukan Indonesia yang saat itu terbagi dalam negara-negara bagian, sehingga dia ditunjuk menjadi Perdana Menteri, kemudian mengambil langkah penyelesaian damai dengan para pejuang Aceh di bawah kepemimpinan Daud Beureueh. Tetapi langkah ini ‘ditorpedo’ oleh Soekarno (PNI dan PKI) dan menimbulkan konflik berkepanjangan di Aceh yang membuat rakyat Aceh terlambat menikmati masa-masa kemerdekaan.
3.Kabinet Burhanuddin Harahap, bertugas pada periode 12 Agustus 1955 – 24 Maret 1956. Kabinet ini demosioner pada 1 Maret 1956 seiring dengan diumumkannya hasil pemilihan umum pertama Indonesia. Tidak sampai dua tahun menjadi PM atas rekomendasi wakil presiden Moh. Hatta, dia berhasil menciptakan reputasi spektakuler dalam menyelesaikan problem bangsa. Program pemerintahannya: satu, menurunkan harga kebutuhan pokok; dua, melunasi hutang luar negeri; dan tiga, mengadakan pemilu pertama yang demokratis. Sayangnya setelah pemilu yang paling jurdil terselenggara justru Sekarno (PNI dan PKI) memprovokasi rakyat untuk menggembosi partai Masyumi, sehingga PNI dan PKI memperoleh suara lebih banyak dari Masyumi dan NU. Akhirnya mandat Burhanuddin sebagai PM tidak dapat dipertahankan. Ia digantikan, justru dari PKI, yang terkenal dengan ‘Perdana Menteri Asu’ (Ali Surahman). Indonesia kian terpuruk, secara ekonomi dan politik. Konflik daerah kian berkecamuk.
4.Kabinet Djuanda, disebut juga Kabinet Karya, memerintah pada periode 9 April 1957 – 10 Juli 1959. PM Djuanda yang dalam programnya menanggulangi pemberontakan daerah dan membenahi penyalahgunaan birokrasi oleh PNI dan PKI, tetapi gagal karena dihadang oleh PNI dan PKI dengan dukungan Soekarno.
5.Di masa reformasi, sebenarnya kita optimis akan dipimpin orang baik. Baharuddin Jusuf Habibie adalah Presiden Republik Indonesia yang ketiga. Ia menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri dari jabatan presiden pada tanggal 21 Mei 1998. Namun jabatannya tidak bertahan lama, digantikan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang terpilih pada 20 Oktober 1999 oleh suara MPR dari hasil Pemilu 1999. Dengan 373 suara MPR, Gus Dur mengalahkan calon presiden Megawati Soekarnoputri yang memperoleh 313 suara.
Di antara keberhasilan Habibie yang menjabat presiden hanya setahun lebih tiga bulan, berhasil membuka kran hak rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kekuasaan politik, membebaskan tahanan-tahanan politik, mengendalikan moneter sehingga rupiah menguat dan menciptakan jaring pengaman sosial (JPS) serta menyelenggarakan pemilu ke-2 yang paling demokratis. Tetapi Habibie dijegal oleh PDIP dan kaum oportunis politik yang merasa mampu memimpin negara, tetapi realitanya hanya menciptakan kemiskinan dan kekacauan di tengah rakyat, akhirnya Habibie harus turun tahta walaupun dengan hati yang berat.
Di negeri ini terbukti kepemimpinan orang baik tidak pernah bertahan lama. Sekalipun nama-nama pemimpin yang kita sebutkan di atas bukanlah pemimpin ideal yang dikehendaki Islam, tetapi mereka muncul di tengah kegalauan politik yang menyengsarakan rakyat. Mereka orang-orang terbaik di antara yang paling jelek.
Sementara itu, orang-orang jahat, koruptor, bertahan hingga puluhan tahun. Soekarno berkuasa lebih dari 22 tahun, dan Soeharto yang korup berkuasa selama 32 tahun. Kenyataan demikian bisa disaksikan dalam pemilihan Pilkada yang sekarang berlangsung di berbagai daerah dan provinsi. Mulai dari Cawagub-cawagub, bupati dan calon bupati hingga terpilih, yang muncul hampir semuanya tidak terbebas dari pekat. Ada yang kedapatan mengisap sabu-sabu, berjudi, bahkan sedang berbuat mesum.
Dalam praktik demokrasi, pemimpin terpilih menunjukkan kondisi dan kualitas rakyat pemilih. Maka, benarlah sabda Rasululah saw dalam sebuah hadits riwayat Al-Baihaqi dari Ibnu Shihab: “Sebagaimana keberadaan kamu, maka begitulah munculnya pemimpin-pemimpin di tengah-tengah kamu.”
Kepemimpinan Syar’i
Proses memperbaiki masyarakat, sekaligus dalam memperbaiki kepemimpinan dalam masyarakat diajarkan dalam Al-Qur’an. Mengangkat para Rasul atau nabi untuk menjadi pemimpin di tengah masyarakat, sebagaimana Allah swt sebutkan dalam QS As Sajdah ayat 24 yang artinya: “Dan Kami angkat di antara mereka pemimpin-pemimpin yang memberikan petunjuk dengan Syari’at Kami ketika mereka menerimanya dengan kesabaran dan mereka beriman kepada ayat-ayat Kami.”
Petunjuk Al-Qur’an di atas menjelaskan proses munculnya pemimpin yang baik di tengah masyarakat. Yaitu, bilamana masyarakat beriman kepada ayat-ayat Allah, kemudian bersabar serta konsisten menjalankan syari’at-Nya sebagai pedoman hidup, walaupun menghadapi tantangan hidup yang berat. Sebaliknya, bila masyarakat condong pada perbuatan maksiat, melecehkan agama Allah, mengumbar kebringasan hawa nafsu, dan menjadikan kaum perempuan sebagai komoditas seni, budaya, dan politik untuk memperdayakan masyarakat, maka tentulah memberi peluang besar munculnya para pemimpin yang bermoral rusak, berpikrian materialistis, bermental hedonis, dan berprilaku feodalis kolonialis.
Berkuasanya pemimpin demikian, pasti mengundang bencana bagi masyarakat di belahan bumi mana pun mereka berada. “Ketika para pemimpin kamu adalah orang-orang baik di antara kamu, dan orang kaya kamu adalah orang-orang dermawan di antara kamu dan urusan kamu diselesaikan secara musyawarah, maka berada di muka bumi lebih baik bagi kamu daripada di liang kubur. Tetapi bila pemimpin-pemimpin kamu orang yang jahat di antara kamu dan orang-orang kaya kamu adalah orang-orang yang bersifat kikir di kalangan kamu dan persoalan kamu tergantung penyelesaiannya kepada kaum perempuan kamu. Maka liang kubur lebih baik bagi kamu daripada tinggal di permukaan bumi.” (HR Turmudzi).
Hadits di atas menggambarkan, bahwa munculnya pemimpin jahat akibat adanya kerusakan di tengah masyarakat, terutama disebabkan kerusakan yang terjadi sebelumnya. Fakta semacam ini ratusan kali terjadi di belahan dunia sejak ribuan tahun yang lalu sebagaimana dapat kita baca dalam sejarah.
Dalam urusan pemimpin, Islam tidak main-main. Seorang dapat dipilih sebagai pemimpin negara, setidaknya memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
1.Orang yang paling mengerti Al-Qur’an dan Sunnah.
2.Paling baik akhlaknya di antara umat.
3.Mengerti kepentingan umat dan mampu menyelesaikannya.
4.Sabar menghadapi segala macam problema umat dan paling bijaksana untuk menetapkan kebijakan.
5.Mengerti karakter musuh-musuh umat sehingga dapat mempertahankan keutuhan umat.
6.Sederhana di dalam kehidupannya, sehingga tidak membebani rakyat dengan berbagai belanja negara yang bersifat pemborosan dan mewah.
Sumber: muslimdaily.net
Siapa biang kerok yang menanggung kesalahan fatal ini? Apa sebabnya begitu lama bangsa ini dirundung kemurungan dan kenistaan, padahal kita mengaku sebagai bangsa religius, beradab, berhati lembut, dan berjiwa santun? Menguap kemanakah sifat-sifat baik dari bangsa ini, sehingga kini hanya menyisakan moralitas tercela dan rendah? Apakah pengakuan bahwa bangsa ini religius, berhati lembut dan berjiwa santun sekadar lip service dan propaganda palsu, ataukah fakta sejarahnya memang demikian?
Image | dakwahtuna.com |
Menyukai Pemimpin Jahat
Bahwa Indonesia adalah bangsa yang bobrok, rusak moral, dan kacau pikirannya, sudah banyak contohnya. Selama ini, belum pernah Indonesia dinilai positif oleh dunia internasional, dan belum pernah rakyatnya merasakan kebaikan para pemimpin negaranya.
Di zaman orde lama (Orla), selama 22 tahun dipimpin Soekarno, Indonesia dikenal sebagai bangsa tempe, melarat, kemiskinan merajalela. Selama 32 tahun dipimpin Soeharto, rezim orde baru (Orde) dikenal sebagai negara pelanggar HAM parah, sementara warisan hutang luar negeri bejibun, dan menjadi beban rakyat Indonesia. Setelah Orla dan Orba berlalu, negeri kita belum juga naik peringkat, malah lebih terpuruk dari sebelumnya.
Sejak BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, hingga Susilo Bambang Yudhoyono yang terkenal dengan slogan “bersama kita bisa”, berturut-turut Indonesia menduduki posisi teratas dalam hal jeleknya. Sebagai negara terkorup se-Asia, produsen ekstasi terbesar di dunia, paling akrab dengan bencana, paling miskin rakyatnya, paling banyak hutang luar negerinya. Selain itu, negeri kita juga dikenal sebagai negara teroris, maju dibidang pornografi dan pornoaksi, dan yang paling parah negara pengekor asing paling setia.
Kondisi Indonesia yang kian carut-marut hampir dalam segala kehidupan, membenarkan adagium (anggapan), bahwa munculnya pemimpin jahat datang dari masyarakat yang rusak. Dan kerusakan di masyarakat, disebabkan berkuasanya pemimpin jahat, koruptor, perusak moral, mengejar hawa nafsu, bohong kepada masyarakat. Pemimpin jahat biasa memanipulasi kepentingan pribadi dan partainya menjadi kepentingan negara dan masyarakat.
Firman Allah swt, “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada mutrafin (orang-orang yang hidup mewah di negeri itu) supaya mentaati Allah, tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Terj. QS Al Isra’ : 16).
Kepemimpinan “mutrafin” artinya serakah cirinya ada tiga: Hedonis; Menuntut rakyat memenuhi kepentingannya tetapi dia tidak bisa memenuhi kebutuhan rakyatnya; Tidak peduli dan tidak berpihak kepada rakyat miskin dengan berbagai aturan yang dibuat. Semua kebijakannya hanya menguntungkan kepentingan hidupnya sendiri.
Adanya pengaruh-pengaruh merusak dari tiga kelompok kekuatan di tengah masyarakat akan berdampak lahirnya pemimpin-pemimpin yang buruk manajemennya, rusak moralnya dan berhati serigala dalam menghadapi kelompok masyarakat yang lemah.
Contoh, import barang mewah, mobil mewah, mendirikan rumah sakit mewah, industrialisasi, eksploitasi hutan dan tambang, nasionalisasi kebutuhan pokok masyarakat yang tidak memihak kepada rakyat luas. Jalan raya yang dibutuhkan rakyat tidak diurus, kereta api tidak diurus. Namun, ketika anggota DPR butuh laptop malah dibiayai oleh uang negara. Kasus Lumpur Lapindo terkatung-katung, hak-hak tanah masyarakat dikalahkan oleh kepentingan penguasa untuk airport, mall, pabrik dan sebagainya. Rakyat dihargai hak-haknya setelah melawan, seperti yang dilakukan Aceh (GAM dan NII Daud Beureuh).
Mengapa rakyat Indonesia menolak pemimpin yang baik? Karena mental rakyat Indonesia adalah mental aji mumpung. Menderita sekian lama dapat kesenangan sedikit sudah lupa, tidak tahu diuntung. Dalam praktik demokrasi, pemimpin terpilih menunjukkan kualitas rakyat.
Menolak Pemimpin Baik
Sebagai bangsa yang baik, agak sulit bagi kita untuk menemukan faktanya. Mencari pejabat yang jujur dan bertanggung jawab saja, betapa sulitnya. Saat-saat menghadapi ujian nasional tahun ini, masyarakat disuguhi kenyataan memalukan: ujian nasional diawasi aparat kepolisian, dan soal ujian sebelum dibagikan pada hari-H disimpan untuk diamankan di lemari polisi. Kejujuran telah menjadi barang mewah dan langka di negeri ini. Belum lagi, kasus pencucian uang haram, yang merebak dan seakan menjadi zona aman bagi penjahat, termasuk pedagang narkoba.
Dalam kasus IPDN, orang baik-baik seperti Inu Kencana misalnya, dibenci oleh almamaternya sendiri. Sementara para pembunuh, pejabat jahat, diberi naik pangkat. Untuk itu marilah kita lihat respon masyarakat kita terhadap kepemimpinan yang baik sepanjang Indonesia menjadi negeri merdeka. Dengan fakta-fakta sejarah ini, semoga negara dan bangsa ini tahu diri dan bercermin pada masa lalunya. Fakta-fakta sejarah justru bericara kepada kita bahwa masyarakat Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga hari ini menolak dipimpin orang-orang yang baik.
Dalam sejarah Indonesia merdeka, sebenarnya tidak sepi sama sekali dari pemimpin yang baik, memperhatikan kepentingan rakyat, dan membangun negara yang berdaulat penuh.
1.Mr. Assaat (18 September 1904 – 16 Juni 1976) adalah tokoh pejuang Indonesia, pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia pada masa pemerintahan RI di Yogyakarta yang merupakan bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Selama dua tahun kekuasaannya, Mr. Assaat membuat program pemerintahan yang relevan saat itu, dan mencerminkan pembelaan kepada rakyat kecil yang baru saja lepas dari penjajah Belanda. Di antara program pemerintahannya adalah: Bisnis asing (Cina) tidak boleh masuk di Kabupaten ke bawah, kecuali hanya boleh di tingkat propinsi saja. Hal ini berkaitan dengan jaringan bisnis Cina yang menjadi tulang punggung PKI kala itu. Namun, kebijakan Assaat ini dijegal di Parlemen, sehingga masa pemerintahannya tidak bisa bertahan dan kemudian dijatuhkan.
2.Mohammad Natsir (Minangkabau, Sumatera Barat, 17 Juli 1908 – Jakarta, 6 Februari 1993) adalah pemimpin Masyumi dan salah seorang tokoh politik dan tokoh Islam di Indonesia. Pada 5 September 1950 hingga 26 April 1951 Natsir dipilih menjadi Perdana Menteri RI. Hanya dalam waktu tidak lebih 8 bulan saja bertugas memimpin negara, Natsir berhasil menyatukan Indonesia yang saat itu terbagi dalam negara-negara bagian, sehingga dia ditunjuk menjadi Perdana Menteri, kemudian mengambil langkah penyelesaian damai dengan para pejuang Aceh di bawah kepemimpinan Daud Beureueh. Tetapi langkah ini ‘ditorpedo’ oleh Soekarno (PNI dan PKI) dan menimbulkan konflik berkepanjangan di Aceh yang membuat rakyat Aceh terlambat menikmati masa-masa kemerdekaan.
3.Kabinet Burhanuddin Harahap, bertugas pada periode 12 Agustus 1955 – 24 Maret 1956. Kabinet ini demosioner pada 1 Maret 1956 seiring dengan diumumkannya hasil pemilihan umum pertama Indonesia. Tidak sampai dua tahun menjadi PM atas rekomendasi wakil presiden Moh. Hatta, dia berhasil menciptakan reputasi spektakuler dalam menyelesaikan problem bangsa. Program pemerintahannya: satu, menurunkan harga kebutuhan pokok; dua, melunasi hutang luar negeri; dan tiga, mengadakan pemilu pertama yang demokratis. Sayangnya setelah pemilu yang paling jurdil terselenggara justru Sekarno (PNI dan PKI) memprovokasi rakyat untuk menggembosi partai Masyumi, sehingga PNI dan PKI memperoleh suara lebih banyak dari Masyumi dan NU. Akhirnya mandat Burhanuddin sebagai PM tidak dapat dipertahankan. Ia digantikan, justru dari PKI, yang terkenal dengan ‘Perdana Menteri Asu’ (Ali Surahman). Indonesia kian terpuruk, secara ekonomi dan politik. Konflik daerah kian berkecamuk.
4.Kabinet Djuanda, disebut juga Kabinet Karya, memerintah pada periode 9 April 1957 – 10 Juli 1959. PM Djuanda yang dalam programnya menanggulangi pemberontakan daerah dan membenahi penyalahgunaan birokrasi oleh PNI dan PKI, tetapi gagal karena dihadang oleh PNI dan PKI dengan dukungan Soekarno.
5.Di masa reformasi, sebenarnya kita optimis akan dipimpin orang baik. Baharuddin Jusuf Habibie adalah Presiden Republik Indonesia yang ketiga. Ia menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri dari jabatan presiden pada tanggal 21 Mei 1998. Namun jabatannya tidak bertahan lama, digantikan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang terpilih pada 20 Oktober 1999 oleh suara MPR dari hasil Pemilu 1999. Dengan 373 suara MPR, Gus Dur mengalahkan calon presiden Megawati Soekarnoputri yang memperoleh 313 suara.
Di antara keberhasilan Habibie yang menjabat presiden hanya setahun lebih tiga bulan, berhasil membuka kran hak rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kekuasaan politik, membebaskan tahanan-tahanan politik, mengendalikan moneter sehingga rupiah menguat dan menciptakan jaring pengaman sosial (JPS) serta menyelenggarakan pemilu ke-2 yang paling demokratis. Tetapi Habibie dijegal oleh PDIP dan kaum oportunis politik yang merasa mampu memimpin negara, tetapi realitanya hanya menciptakan kemiskinan dan kekacauan di tengah rakyat, akhirnya Habibie harus turun tahta walaupun dengan hati yang berat.
Di negeri ini terbukti kepemimpinan orang baik tidak pernah bertahan lama. Sekalipun nama-nama pemimpin yang kita sebutkan di atas bukanlah pemimpin ideal yang dikehendaki Islam, tetapi mereka muncul di tengah kegalauan politik yang menyengsarakan rakyat. Mereka orang-orang terbaik di antara yang paling jelek.
Sementara itu, orang-orang jahat, koruptor, bertahan hingga puluhan tahun. Soekarno berkuasa lebih dari 22 tahun, dan Soeharto yang korup berkuasa selama 32 tahun. Kenyataan demikian bisa disaksikan dalam pemilihan Pilkada yang sekarang berlangsung di berbagai daerah dan provinsi. Mulai dari Cawagub-cawagub, bupati dan calon bupati hingga terpilih, yang muncul hampir semuanya tidak terbebas dari pekat. Ada yang kedapatan mengisap sabu-sabu, berjudi, bahkan sedang berbuat mesum.
Dalam praktik demokrasi, pemimpin terpilih menunjukkan kondisi dan kualitas rakyat pemilih. Maka, benarlah sabda Rasululah saw dalam sebuah hadits riwayat Al-Baihaqi dari Ibnu Shihab: “Sebagaimana keberadaan kamu, maka begitulah munculnya pemimpin-pemimpin di tengah-tengah kamu.”
Kepemimpinan Syar’i
Proses memperbaiki masyarakat, sekaligus dalam memperbaiki kepemimpinan dalam masyarakat diajarkan dalam Al-Qur’an. Mengangkat para Rasul atau nabi untuk menjadi pemimpin di tengah masyarakat, sebagaimana Allah swt sebutkan dalam QS As Sajdah ayat 24 yang artinya: “Dan Kami angkat di antara mereka pemimpin-pemimpin yang memberikan petunjuk dengan Syari’at Kami ketika mereka menerimanya dengan kesabaran dan mereka beriman kepada ayat-ayat Kami.”
Petunjuk Al-Qur’an di atas menjelaskan proses munculnya pemimpin yang baik di tengah masyarakat. Yaitu, bilamana masyarakat beriman kepada ayat-ayat Allah, kemudian bersabar serta konsisten menjalankan syari’at-Nya sebagai pedoman hidup, walaupun menghadapi tantangan hidup yang berat. Sebaliknya, bila masyarakat condong pada perbuatan maksiat, melecehkan agama Allah, mengumbar kebringasan hawa nafsu, dan menjadikan kaum perempuan sebagai komoditas seni, budaya, dan politik untuk memperdayakan masyarakat, maka tentulah memberi peluang besar munculnya para pemimpin yang bermoral rusak, berpikrian materialistis, bermental hedonis, dan berprilaku feodalis kolonialis.
Berkuasanya pemimpin demikian, pasti mengundang bencana bagi masyarakat di belahan bumi mana pun mereka berada. “Ketika para pemimpin kamu adalah orang-orang baik di antara kamu, dan orang kaya kamu adalah orang-orang dermawan di antara kamu dan urusan kamu diselesaikan secara musyawarah, maka berada di muka bumi lebih baik bagi kamu daripada di liang kubur. Tetapi bila pemimpin-pemimpin kamu orang yang jahat di antara kamu dan orang-orang kaya kamu adalah orang-orang yang bersifat kikir di kalangan kamu dan persoalan kamu tergantung penyelesaiannya kepada kaum perempuan kamu. Maka liang kubur lebih baik bagi kamu daripada tinggal di permukaan bumi.” (HR Turmudzi).
Hadits di atas menggambarkan, bahwa munculnya pemimpin jahat akibat adanya kerusakan di tengah masyarakat, terutama disebabkan kerusakan yang terjadi sebelumnya. Fakta semacam ini ratusan kali terjadi di belahan dunia sejak ribuan tahun yang lalu sebagaimana dapat kita baca dalam sejarah.
Dalam urusan pemimpin, Islam tidak main-main. Seorang dapat dipilih sebagai pemimpin negara, setidaknya memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
1.Orang yang paling mengerti Al-Qur’an dan Sunnah.
2.Paling baik akhlaknya di antara umat.
3.Mengerti kepentingan umat dan mampu menyelesaikannya.
4.Sabar menghadapi segala macam problema umat dan paling bijaksana untuk menetapkan kebijakan.
5.Mengerti karakter musuh-musuh umat sehingga dapat mempertahankan keutuhan umat.
6.Sederhana di dalam kehidupannya, sehingga tidak membebani rakyat dengan berbagai belanja negara yang bersifat pemborosan dan mewah.
Sumber: muslimdaily.net
EmoticonEmoticon