4 Okt 2013

Meluruskan Kuasa DPR (Saldi Isra)

Prof. Saldi Isra
Oleh: Saldi Isra

Lobi toilet" yang terkuak ketika pelaksanaan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) calon hakim agung di Komisi III DPR beberapa waktu lalu memunculkan perdebatan yang amat elementer. Jauh dari sekadar menguak kemungkinan adanya praktik suap pada proses pemilihan hakim agung, perdebatan berujung pada pemikiran: meninjau ulang kewenangan (kuasa) DPR dalam pengisian pejabat publik.


Dalam soal ini, misalnya, Ketua DPR Marzuki Alie berharap DPR tidak lagi diberi kuasa memilih dan menentukan anggota lembaga-lembaga negara seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Agung. Selain sarat kepentingan politik, pasti ada uang yang mengalir. Kuasa demikian, tambah Marzuki, lembaga dan komisi negara (sangat mungkin) diisi oleh kalangan politisi. Ujung-ujungnya, lembaga dan komisi negara akan takluk di bawah telapak-kaki partai politik.

Pada salah satu sisi, merujuk bentangan fakta penyimpangan di tengah membesarnya kuasa tersebut, pendapat yang menghendaki penghapusan peran DPR memiliki pijakan yang cukup layak dipertimbangkan. Meski demikian, di sisi lain, dalam pusaran keniscayaan adanya mekanisme checks and balances, gagasan menghapus peran DPR tidak begitu saja bisa ditelan mentah-mentah.

Desain UUD 1945


Ketika perubahan UUD 1945 (1999-2002), pemikiran umum yang berkembang pada saat itu adalah bagaimana membatasi kuasa presiden. Pemikiran itu dilatarbelakangi praktik kenegaraan sebelum perubahan UUD 1945 dengan memosisikan presiden di episentrum penyelenggaraan negara (concentration of power and responsibility upon the president). Tak sekadar membatasi kuasa presiden, perubahan bergerak ke bandul yang berbeda, yaitu memperkuat kuasa DPR.


Desain pergerakan bandul kuasa ke arah DPR dengan sangat menonjol dapat dilacak dari pengisian sejumlah jabatan negara yang terbilang strategis. Misalnya, Pasal 16 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan dalam hal mengangkat duta, presiden memperhatikan pertimbangan DPR. Begitu pula, dalam pengisian anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Pasal 23F Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, anggota BPK dipilih oleh DPR. Tak terkecuali komisi negara seperti Komisi Yudisial (KY), Pasal 24B Ayat (3) UUD 1945 menyatakan anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan mendapat persetujuan DPR.


Begitu pula, pemegang kekuasaan kehakiman yang secara tradisional diposisikan sebagai lembaga yang merdeka tidak dikecualikan dari persentuhan dengan DPR. Buktinya, Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa calon hakim agung diusulkan KY kepada DPR untuk mendapat persetujuan. Bahkan dalam pengisian hakim konstitusi, lebih jauh dari sebatas memberi persetujuan, berdasarkan Pasal 24C Ayat (3) UUD 1945, sepertiga dari sembilan hakim konstitusi diajukan oleh DPR.


Merujuk konstruksi hukum dalam UUD 1945, penguatan kuasa DPR didesain beragam. Pada batas-batas tertentu, keragaman desain yang dibuat UUD 1945 sekaligus menjadi garis demarkasi keterlibatan DPR dalam pengisian anggota lembaga atau komisi negara. Dalam hal ini, batasan desain dalam konstitusi dibedakan menjadi empat kategori, "pertimbangan", "dipilih", "persetujuan", dan "diajukan". Dari aspek hukum tata negara, keempat pembatasan itu memiliki makna sendiri-sendiri yang tidak mungkin dipersamakan.


Menumpuk kuasa


Dalam batas penalaran yang wajar, desain UUD 1945 tersebut masih dapat diterima, terutama dalam kerangka checks and balances. Pada kenyataannya, pembatasan itu ditabrak di tingkat undang-undang dengan mengaburkan makna "persetujuan" menjadi "pemilihan". Setidaknya, pengaburan tersebut dapat dilacak dari proses pengisian hakim agung. Melalui UU No 3 Tahun 2009 tentang MA dan UU No 18 Tahun 2011 tentang KY, DPR memiliki ruang sangat leluasa memilih calon hakim agung. Begitu leluasanya, kedua undang-undang tersebut secara eksplisit menentukan bahwa calon yang disampaikan KY ke DPR adalah tiga kali dari jumlah yang dibutuhkan.


Dengan jumlah tiga kali lipat tersebut, melalui fit and proper test, DPR memiliki ruang yang begitu leluasa dalam menentukan dan memilih hakim agung. Karena keleluasaan itu, terkuaknya "lobi toilet" menjadi konsekuensi logis saja dari besarnya kuasa DPR. Sebagaimana ditasbihkan Lord Acton: power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.


Dengan itu, sangat mungkin, pada proses pemilihan yang pernah dilakukan sebelumnya, "jual-beli" dalam proses pemilihan hakim agung dilakukan dengan lobi yang jauh canggih. Tak hanya dalam pemilihan hakim agung, nyaris pada setiap pengisian pejabat publik yang melalui proses fit and proper test, isu suap hampir selalu menyelimuti proses yang ada. Paling tidak, praktik suap pernah terjadi ketika pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Miranda Goeltom berlangsung. Boleh jadi, dalam mengisi jabatan lain, tidak melulu terjadi suap, tetapi amat mungkin dibarter dengan keuntungan lain. Segala bentuk penyimpangan sulit dihindari karena terjadi penumpukan kuasa di satu tangan.


Padahal, dengan merujuk pengisian hakim agung, UUD 1945 memberikan pembatasan yang jelas antara KY dan DPR. Dalam hal ini, kuasa melakukan seleksi terhadap calon hakim agung dilakuan KY. Sementara itu, DPR dibatasi untuk memberikan persetujuan atas hasil seleksi KY. Dalam posisi seperti itu, proses pemilihan di DPR yang diatur dalam UU No 3 Tahun 2009 dan UU No 18 Tahun 2001 yang dipraktikkan selama ini adalah wujud nyata kekeliruan pemahaman atas amanat UUD 1945.


Padahal, pemahaman yang benar, DPR hanya sebatas memberikan persetujuan atas hasil proses seleksi yang dilakukan KY. Begitu menguatnya kuasa dalam mengisi pejabat publik, amanat UUD 1945 agar DPR melibatkan lembaga negara lain pun diabaikan begitu saja. Contoh lebih sahih kecenderungan ini dapat dilacak dalam proses pengisian anggota BPK. Meski konstitusi mengamanatkan bagi DPR memperhatikan pertimbangan DPD, pada kenyataannya, peran DPD berada seperti antara ada dan tiada. Pengalaman sejauh ini, dalam memilih anggota BPK, DPR lebih banyak berjalan dengan logikanya sendiri.


Selain contoh di atas, kuasa DPR dalam proses pengisian pejabat publik dapat dilacak dari lembaga-lembaga independen seperti KPU dan KPK. Karena tidak ada pengaturan dalam UUD 1945, DPR menjadi kian leluasa dalam memilih komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan KPK. Bahkan, dengan mengambil contoh proses pengisian komisioner KPK, kuasa DPR tidak hanya sebatas memilih pimpinan KPK yang dihasilkan dari proses panjang yang dilakukan oleh sebuah panitia seleksi yang independen, tetapi juga melakukan pemilihan ketua KPK.


Upaya meluruskan


Meski dampak kuasa besar DPR telah menimbulkan banyak masalah dalam penyelenggaraan negara, gagasan menghilangkan peran lembaga ini dalam mengisi pejabat publik merupakan pilihan yang jauh dari tepat. Selain sebagian memang amanat UUD 1945, keterlibatan DPR tetap diperlukan untuk mencegah dominasi satu institusi dalam mengisi lembaga dan komisi negara. Karena itu, pilihan meluruskan kuasa DPR menjadi langkah mendesak. Upaya mendasar yang segera harus dilakukan adalah mengembalikan makna "dipilih", "pertimbangan", "persetujuan", dan "diajukan" secara tepat. Dalam bingkai mekanisme checks and balances, semua kategori itu harus dimaknai menjadi kuasa terbatas DPR dalam pengisian pejabat publik. Dengan membatasi kuasanya dalam mengisi pejabat publik, peran dan posisi DPR dikembalikan pada porsi yang tepat, yaitu sebagai salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengawasan.


Argumentasi lain, pembatasan diperlukan sebagai bagian dari upaya meletakkan dan membangun keseimbangan baru di antara DPR dan presiden dalam mengisi pejabat publik. Praktik yang dilakukan dalam mengisi anggota komisi negara, misalnya, kuasa presiden telah dibatasi dengan adanya keharusan membentuk panitia seleksi. Mestinya, jika pada satu sisi kuasa presiden dikurangi, di sisi lain kuasa DPR pun harusnya dibatasi pula sedemikian rupa. Keseimbangan baru tersebut sangat mungkin dibangun jikalau hak DPR dibatasi dengan hanya memberikan konfirmasi atau persetujuan terhadap pilihan panitia seleksi. Di Amerika Serikat, konfirmasi (confirmation) kepada senat adalah sesuatu yang biasa. Meski demikian, anggota senat dan senat sendiri paham betul bahwa kekuasaan mereka sangat terbatas, yaitu sebatas memberikan konfirmasi. Dalam buku The Senate's Role in Confirmation of Political Appointees, Connor dan Rangel (2009) menyatakan bahwa tugas senat hanya memberikan konfirmasi. Sementara itu, seleksi dan nominasi dilakukan presiden. Perbedaan tegas kewenangan presiden dan senat dalam pengisian pejabat publik itu menjadi gambaran bagaimana bekerjanya mekanisme checks and balances.


Dalam jangka pendek, pilihan meluruskan kuasa DPR hanya perlu dilakukan dengan merevisi sejumlah undang-undang yang melewati batasan kategorisasi yang diatur UUD 1945. Sementara itu, dalam jangka panjang, konstitusi bisa merumuskan terminologi yang seragam ihwal kuasa DPR di dalam mengisi pejabat publik. Bagaimanapun, mengembalikan peran DPR dalam mengisi pejabat publik secara tepat, diyakini dapat menjadi upaya strategis mencegah penyelewengan kuasa. Tambah lagi, dalam kerangka pikir desain bernegara, langkah tersebut bisa menyelamatkan independensi lembaga/komisi negara. Selain menjaga amanat UUD 1945, dalam melaksanakan tugasnya, DPR bisa lebih konsentrasi menjalankan fungsi legislasi dan fungsi pengawasan. Melirik performa dalam mendayung fungsi konstitusional dalam beberapa tahun terakhir, amat mungkin penurunan fungsi dan kualitas legislasi, misalnya, disebabkan DPR terlalu sibuk dengan kuasa pengisian pejabat publik. Melihat fakta meluasnya penyelewengan dalam mengisi pejabat publik, pilihan yang tersedia menjadi sangat terbatas: meluruskan kuasa DPR atau membiarkan lembaga ini terus-menerus berada dalam "pelukan" perilaku korupsi.


(Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang)


Sumber: Print.Kompas.com

Lorem ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry.


EmoticonEmoticon