26 Nov 2013

Budi Kemuliaan (Yudi Latif)

Ilustrasi | Ist
BUKAN suatu kebetulan, menara-menara agung Bank Indonesia itu menghadap Jalan Budi Kemuliaan. Pemegang kuasa uang itu memang penuh godaan, banyak tekanan. Tanpa kekuatan kemuliaan budi, kemewahan perkantoran bank sentral itu hanya akan dihuni oleh sosok-sosok kejiwaan yang mudah lumer seperti cokelat. Tegak lurus menghadap Jalan Budi Kemuliaan adalah jalan pengingat bagi para pejabat BI sebelum mengambil kebijakan agar menjadi jalan keselamatan diri dan bangsanya.

Makna simbolik Jalan Budi Kemuliaan itu memperoleh padanannya yang pas dengan kemuliaan budi Gubernur BI yang pertama, Sjafruddin Prawiranegara. Seseorang yang di balik kehalusan perasaannya terkandung kekerasan menjalankan prinsip kekuasaan secara amanah, jujur, dan bersih. "Segala perbuatan dan pekerjaan kita harus didasarkan pada kejujuran," ujarnya. "Siapa yang jujur kepada rakyat dan jujur kepada Tuhan, perjuangannya akan selamat," tambahnya.

Dengan prinsip hidup bahwa "kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah saja", Pak Sjaf tidak tergoda menggunakan pengaruhnya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, bahkan ketika keluarganya menghadapi banyak kesulitan. Suatu ketika, Anwar Harjono, Ketua Gerakan Pemuda Islam (sayap muda Partai Masyumi), datang kepadanya dengan maksud meminta proyek yang "halal". Tanpa tedeng aling-aling Pak Sjaf berkata, "Saya ini Gubernur Bank Sentral Indonesia, bukan Gubernur Bank Masyumi."

Khitah Sjafruddin sebagai Gubernur BI pertama itu seperti terang mercusuar di tengah redupnya pelita jiwa para pejabat BI dan penyelenggara negara lainnya. Selama 15 tahun reformasi, skandal demi skandal keuangan menyeret pembesar BI memasuki rumah prodeo. Gambaran yang paling sinister dari kemerosotan moral ini adalah penangkapan mantan Deputi Gubernur BI Budi Mulya terkait dengan megaskandal Bank Century. Dalam perkembangan ini, bahkan jika makna simbolik Jalan Budi Kemuliaan bersanding dengan nama baik Budi Mulya, tidak lagi bisa melahirkan kimia kemuliaan budi.

Menurut Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, skandal Bank Century merupakan "kejahatan kerah putih tercanggih yang ditangani KPK". Semua dibungkus rapi menggunakan ketentuan dan peraturan yang telah disiapkan (Kompas, 16/11). Namun, jika modus korupsi dalam kasus Bank Century ini berpangkal dari manipulasi kebijakan yang dirancang terencana, daya magnet kejahatan tercanggih ini logisnya akan menarik jauh "nama-nama raksasa".

Pada babak sejarah ketika kita merayakan demokrasi, yang kita junjung tinggi adalah kejahatan terbesar. Dalam suatu adagium dinyatakan, "Hulu dari segala kejahatan dan korupsi adalah korupsi kebijakan." Di pesta demokrasi, kita legalkan penjarahan kekayaan, kita sucikan kebatilan korupsi lewat manipulasi kebijakan, dan kita biarkan pengkhianat bangsa mengorbankan nasib jutaan rakyat, dengan tega menyerahkan "upeti" kekayaan negeri ini kepada tangan-tangan asing. Nurani terpojok cuma bisa menggemakan jeritan Julius Caesar, "O! Keterpurukan macam apa ini, saudara sebangsaku; seketika aku dan kamu, dan semua di antara kita jatuh terjerembab, sedang pengkhianatan merajalela menikam kita."

Dari mana kejahatan pengkhianatan ini bermula? Menjadi Gubernur/Deputi Gubernur BI itu adalah jabatan dengan pendapatan melimpah; menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi itu adalah jabatan dengan gaji yang lebih dari cukup; dan lebih dari 500 pejabat dan pengusaha yang ditangkap KPK sejak 2003 itu bukanlah profesi dengan penghasilan pas-pasan. Mereka korupsi bukan karena kemiskinan material, melainkan karena kemiskinan moral dan institusional.

Dengan memodifikasi pendapat Machiavelli, dapat dijelaskan bahwa kejahatan itu bermula dari perbudakan mental. Para pemimpin negeri diperbudak negeri lain hingga negara tidak memiliki keleluasaan untuk mengelola urusan sendiri; asal meniru institusi-institusi negara lain tanpa mempertimbangkan kecocokannya dengan kebutuhan bangsa. Elite negeri hidup dari popularitas dan berpenghasilan tinggi dengan sedikit kerja. Mereka tak hanya merusak negeri dengan polah dan gaya hidupnya, kaum ini juga memiliki pengikut-penggemar membeo yang membuat kebobrokan meluas.

Lebih parah lagi, betapapun elite negeri tampak beragama, pemahaman keagamaannya "berdasarkan kemalasan dan bukan kesalehan". Interpretasi agama lebih menekankan aspek formal dan ritual daripada esensi akhlak keagamaan. Memuja "insan pembual daripada insan pekerja", memperindah tempat ibadah daripada menolong kaum papa. Pemahaman keagamaan seperti ini membuat orang "tak lagi beramal saleh", dan mudah "mencuci" korupsi dengan memberi sumbangan.

Akhirnya seperti telah diantisipasi oleh Wiranatakoesoema pada sidang BPUPKI: "Pada hemat saya, hal yang menyedihkan ini disebabkan manusia tidak atau tidak cukup menerima latihan batin, ialah latihan yang menimbulkan dalam sanubarinya suatu kekuatan yang menggerakkan ia (motive force) untuk mengenal kebenarannya dan menerima macam-macam pertanggungan jawab sebagai seorang anggota masyarakat yang aktif. Maka, alam moral ini hendaknya kita pecahkan karena latihan otak (intellect) saja, betapa besarnya juga, sungguh tak akan mencukupi untuk menjadikan manusia menjadi anggota masyarakat yang baik."

Yudi Latif,  Pemikir Kenegaraan dan Kebangsaan

Sumber: http://print.kompas.com/

Lorem ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry.


EmoticonEmoticon