Oleh: Djayadi Hanan
KAUM muda, terutama pemilih pemula, sangat penting bagi perkembangan dan konsolidasi demokrasi karena mereka pelaku demokrasi di masa depan.
Mereka juga akan menjadi pemimpin yang menjalankan dan mengendalikan penyelenggaraan pemerintahan mendatang. Bagaimana sensitivitas dan sikap kaum muda terhadap politik sangat penting bagi perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan. Jumlah kaum muda cukup besar. Pemilih pemula pada Pemilu 2014 diperkirakan 30 juta orang. Jadi, ada sekitar 17 persen di antara sekitar 175 juta pemilih yang akan memilih untuk pertama kali pada tahun 2014. Jumlah ini sangat signifikan dari segi politik pemungutan suara (electoral politics). Bila pemilih pemula digabung dengan pemilih muda lain yang berusia di bawah 30 tahun, jumlahnya pada 2014 menjadi dua kali lipat, sekitar 34 persen.
Maka, memahami sikap politik kaum muda dan ke arah mana angin politik mereka bertiup sangat penting, baik untuk praktis politik maupun untuk pendidikan dan pembangunan politik di masa akan datang.
Sikap dan gaya politik
Secara umum, dari segi usia, pemilih Indonesia sebetulnya tergolong muda. Yang berusia di bawah 50 tahun berjumlah tak kurang dari 70 persen dari seluruh pemilih. Para pemilih ini sudah cukup lama tersosialisasi dengan demokrasi dalam era reformasi, yaitu sejak mereka berusia 35 tahun (sejak 1998) atau lebih muda lagi. Dengan kata lain, bahkan pemilih tertua di kelompok 70 persen ini telah mengalami dan terekspos dengan nilai- nilai dan praktik demokrasi sejak usia yang sangat muda.
Tidaklah mengherankan jika sebagian besar pemilih menunjukkan sikap dan atau penilaian terhadap politik dan demokrasi yang tak berbeda jauh dengan rekan-rekan mereka di negara demokrasi lain. Mereka umumnya memiliki cara berpikir yang terbuka (open minded), kritis, dan kosmopolitan. Mereka juga cenderung bergaya hidup urban dan lebih religius. Tak kalah penting, mereka cukup sadar dengan dan mengikuti sejumlah perkembangan politik nasional.
Seperti di negara demokrasi lain, dukungan kaum muda terhadap demokrasi tinggi. Lebih dari 70 persen dari mereka mendukung dan menganggap demokrasi cocok untuk Indonesia (Liddle dan Mujani, 2013). Menurut data Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), angka ini lebih tinggi dibandingkan dukungan rakyat Indonesia secara umum kepada demokrasi (69 persen). Dalam demokrasi di Asia, dukungan ini lebih rendah dibandingkan Taiwan (74,8 persen) dan Korea (82,2 persen), tetapi lebih tinggi dibandingkan Filipina (62,4 persen).
Sedikit berbeda dengan generasi yang lebih dewasa ketika rezim Soeharto jatuh, kaum muda atau pemilih yang saat ini berusia 25 tahun ke bawah memiliki sikap dan gaya hidup tersendiri. Beberapa sikap menonjol mereka adalah kurang perhatian pada masalah-masalah nasional (57,4 persen, Kompas, 2011), lebih berorientasi pada materi/kekayaan (ingin sukses dalam karier dan pendidikan, ingin terkenal dan kaya), mereka juga kurang nasionalis (hanya 20 persen menganggap kepentingan nasional agenda mereka, Kompas, 2010), dan lebih berorientasi kepada diri sendiri (63 persen, Kompas, 2011). Karakteristik menonjol yang lain adalah ketergantungan pada teknologi. Tidak kurang dari 14 jam per minggu mereka habiskan untuk kegiatan yang terkait dengan teknologi (Nielsen, 2011).
Meski demikian, tak berarti kaum muda tak terlibat kegiatan sosial kemasyarakatan. Banyak di antara mereka aktivis, seperti juga generasi yang lebih tua lagi. Namun, aktivisme mereka memiliki sejumlah perbedaan mendasar dibandingkan aktivisme generasi terdahulu. Menurut Afra Suci, aktivis muda kelompok Pamplet, aktivisme kaum muda kini lebih bervariasi, tak melulu terkait gerakan pelajar/mahasiswa. Kegiatan mereka lebih berbasis inisiatif pribadi dan komunitas sehingga tak birokratis dan cenderung informal. Isu-isu yang digarap juga lebih banyak lintas sektor dan kurang politis. Karakteristik ini tentu berbeda dengan generasi terdahulu, baik di era sebelum kemerdekaan maupun sebelum reformasi yang lebih politis, seperti kepedulian pada isu revolusi, gerakan demokrasi, dan gerakan sosial melawan rezim otoriter.
Dengan sejumlah karakteristik ini, dapat dikatakan, politik dan demokrasi bukan hal asing bagi kaum muda. Dengan memperhatikan sikap dan kecenderungan mereka, peristiwa politik dan demokrasi, termasuk pemilu, dapat dijadikan media sosialisasi yang lebih jauh sehingga pendalaman dan praktik demokrasi dapat terus terpelihara untuk masa menengah dan panjang. Walhasil, pada gilirannya kaum muda ini dapat menjadi aktor yang berperan penting dalam penyebaran nilai-nilai dan praktik demokrasi di Indonesia. Konsolidasi demokrasi, karenanya, memperoleh jalannya untuk terus melaju.
Dukungan politik di 2014
Dukungan politik kaum muda pada Pemilu 2014 tampaknya juga tak akan berbeda jauh dengan kecenderungan pemilih Indonesia secara umum. Pesan pokoknya sama: kaum muda, seperti rakyat Indonesia umumnya, ingin praktik politik yang lebih demokratis, kepemimpinan alternatif, dan lebih muda. Data yang kita miliki, atau beredar di masyarakat, terutama hasil penelitian lembaga-lembaga survei yang kredibel, menunjukkan kecenderungan ini. Dalam hal dukungan, data menunjukkan kaum muda cenderung mendukung partai besar yang sudah mapan, atau partai yang tampak menawarkan kepemimpinan alternatif. Tren dukungan itu cukup stabil selama lebih dari setahun terakhir (SMRC, 2012, 2013). Sebanyak 50-60 persen dukungan kaum muda tersebar hampir merata di empat partai: PDI-P, Golkar, Demokrat, dan Gerindra.
Untuk calon presiden, tampak jelas kaum muda ingin kepemimpinan alternatif. Sekitar 45 persen dukungan kaum muda (usia 30 tahun atau lebih muda) cenderung diberikan kepada figur alternatif, seperti Jokowi (SMRC, 2013), dan 15 persen kepada Prabowo Subianto. Calon alternatif lain memang belum dikenal publik secara umum ataupun kaum muda. Bila makin dikenal, dan dapat berkomunikasi secara baik dengan kaum muda, kemungkinan dukungan kepada mereka pun makin banyak. Kecenderungan sama ditunjukkan dalam sejumlah pilkada. Dalam pilkada Gubernur Jawa Barat, Februari 2013, dukungan politik kaum muda juga mengikuti kecenderungan pemilih secara umum. Sekitar sepertiga pemilih muda memberikan dukungan kepada pasangan calon yang saat itu terpilih. Calon yang diunggulkan dalam semua figur muda (Dede Yusuf, Rieke Diah Pitaloka, dan Ahmad Heryawan), dan dukungan kaum muda terbagi hampir merata kepada ketiganya.
Djayadi Hanan, Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina; Direktur Riset SMRC
Sumber: Print.kompas.com
KAUM muda, terutama pemilih pemula, sangat penting bagi perkembangan dan konsolidasi demokrasi karena mereka pelaku demokrasi di masa depan.
Mereka juga akan menjadi pemimpin yang menjalankan dan mengendalikan penyelenggaraan pemerintahan mendatang. Bagaimana sensitivitas dan sikap kaum muda terhadap politik sangat penting bagi perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan. Jumlah kaum muda cukup besar. Pemilih pemula pada Pemilu 2014 diperkirakan 30 juta orang. Jadi, ada sekitar 17 persen di antara sekitar 175 juta pemilih yang akan memilih untuk pertama kali pada tahun 2014. Jumlah ini sangat signifikan dari segi politik pemungutan suara (electoral politics). Bila pemilih pemula digabung dengan pemilih muda lain yang berusia di bawah 30 tahun, jumlahnya pada 2014 menjadi dua kali lipat, sekitar 34 persen.
Maka, memahami sikap politik kaum muda dan ke arah mana angin politik mereka bertiup sangat penting, baik untuk praktis politik maupun untuk pendidikan dan pembangunan politik di masa akan datang.
Sikap dan gaya politik
Secara umum, dari segi usia, pemilih Indonesia sebetulnya tergolong muda. Yang berusia di bawah 50 tahun berjumlah tak kurang dari 70 persen dari seluruh pemilih. Para pemilih ini sudah cukup lama tersosialisasi dengan demokrasi dalam era reformasi, yaitu sejak mereka berusia 35 tahun (sejak 1998) atau lebih muda lagi. Dengan kata lain, bahkan pemilih tertua di kelompok 70 persen ini telah mengalami dan terekspos dengan nilai- nilai dan praktik demokrasi sejak usia yang sangat muda.
Tidaklah mengherankan jika sebagian besar pemilih menunjukkan sikap dan atau penilaian terhadap politik dan demokrasi yang tak berbeda jauh dengan rekan-rekan mereka di negara demokrasi lain. Mereka umumnya memiliki cara berpikir yang terbuka (open minded), kritis, dan kosmopolitan. Mereka juga cenderung bergaya hidup urban dan lebih religius. Tak kalah penting, mereka cukup sadar dengan dan mengikuti sejumlah perkembangan politik nasional.
Seperti di negara demokrasi lain, dukungan kaum muda terhadap demokrasi tinggi. Lebih dari 70 persen dari mereka mendukung dan menganggap demokrasi cocok untuk Indonesia (Liddle dan Mujani, 2013). Menurut data Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), angka ini lebih tinggi dibandingkan dukungan rakyat Indonesia secara umum kepada demokrasi (69 persen). Dalam demokrasi di Asia, dukungan ini lebih rendah dibandingkan Taiwan (74,8 persen) dan Korea (82,2 persen), tetapi lebih tinggi dibandingkan Filipina (62,4 persen).
Sedikit berbeda dengan generasi yang lebih dewasa ketika rezim Soeharto jatuh, kaum muda atau pemilih yang saat ini berusia 25 tahun ke bawah memiliki sikap dan gaya hidup tersendiri. Beberapa sikap menonjol mereka adalah kurang perhatian pada masalah-masalah nasional (57,4 persen, Kompas, 2011), lebih berorientasi pada materi/kekayaan (ingin sukses dalam karier dan pendidikan, ingin terkenal dan kaya), mereka juga kurang nasionalis (hanya 20 persen menganggap kepentingan nasional agenda mereka, Kompas, 2010), dan lebih berorientasi kepada diri sendiri (63 persen, Kompas, 2011). Karakteristik menonjol yang lain adalah ketergantungan pada teknologi. Tidak kurang dari 14 jam per minggu mereka habiskan untuk kegiatan yang terkait dengan teknologi (Nielsen, 2011).
Meski demikian, tak berarti kaum muda tak terlibat kegiatan sosial kemasyarakatan. Banyak di antara mereka aktivis, seperti juga generasi yang lebih tua lagi. Namun, aktivisme mereka memiliki sejumlah perbedaan mendasar dibandingkan aktivisme generasi terdahulu. Menurut Afra Suci, aktivis muda kelompok Pamplet, aktivisme kaum muda kini lebih bervariasi, tak melulu terkait gerakan pelajar/mahasiswa. Kegiatan mereka lebih berbasis inisiatif pribadi dan komunitas sehingga tak birokratis dan cenderung informal. Isu-isu yang digarap juga lebih banyak lintas sektor dan kurang politis. Karakteristik ini tentu berbeda dengan generasi terdahulu, baik di era sebelum kemerdekaan maupun sebelum reformasi yang lebih politis, seperti kepedulian pada isu revolusi, gerakan demokrasi, dan gerakan sosial melawan rezim otoriter.
Dengan sejumlah karakteristik ini, dapat dikatakan, politik dan demokrasi bukan hal asing bagi kaum muda. Dengan memperhatikan sikap dan kecenderungan mereka, peristiwa politik dan demokrasi, termasuk pemilu, dapat dijadikan media sosialisasi yang lebih jauh sehingga pendalaman dan praktik demokrasi dapat terus terpelihara untuk masa menengah dan panjang. Walhasil, pada gilirannya kaum muda ini dapat menjadi aktor yang berperan penting dalam penyebaran nilai-nilai dan praktik demokrasi di Indonesia. Konsolidasi demokrasi, karenanya, memperoleh jalannya untuk terus melaju.
Dukungan politik di 2014
Dukungan politik kaum muda pada Pemilu 2014 tampaknya juga tak akan berbeda jauh dengan kecenderungan pemilih Indonesia secara umum. Pesan pokoknya sama: kaum muda, seperti rakyat Indonesia umumnya, ingin praktik politik yang lebih demokratis, kepemimpinan alternatif, dan lebih muda. Data yang kita miliki, atau beredar di masyarakat, terutama hasil penelitian lembaga-lembaga survei yang kredibel, menunjukkan kecenderungan ini. Dalam hal dukungan, data menunjukkan kaum muda cenderung mendukung partai besar yang sudah mapan, atau partai yang tampak menawarkan kepemimpinan alternatif. Tren dukungan itu cukup stabil selama lebih dari setahun terakhir (SMRC, 2012, 2013). Sebanyak 50-60 persen dukungan kaum muda tersebar hampir merata di empat partai: PDI-P, Golkar, Demokrat, dan Gerindra.
Untuk calon presiden, tampak jelas kaum muda ingin kepemimpinan alternatif. Sekitar 45 persen dukungan kaum muda (usia 30 tahun atau lebih muda) cenderung diberikan kepada figur alternatif, seperti Jokowi (SMRC, 2013), dan 15 persen kepada Prabowo Subianto. Calon alternatif lain memang belum dikenal publik secara umum ataupun kaum muda. Bila makin dikenal, dan dapat berkomunikasi secara baik dengan kaum muda, kemungkinan dukungan kepada mereka pun makin banyak. Kecenderungan sama ditunjukkan dalam sejumlah pilkada. Dalam pilkada Gubernur Jawa Barat, Februari 2013, dukungan politik kaum muda juga mengikuti kecenderungan pemilih secara umum. Sekitar sepertiga pemilih muda memberikan dukungan kepada pasangan calon yang saat itu terpilih. Calon yang diunggulkan dalam semua figur muda (Dede Yusuf, Rieke Diah Pitaloka, dan Ahmad Heryawan), dan dukungan kaum muda terbagi hampir merata kepada ketiganya.
Djayadi Hanan, Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina; Direktur Riset SMRC
Sumber: Print.kompas.com
EmoticonEmoticon