16 Nov 2013

Ribuan Triliun Pajak Hilang Karena Tikus

Ribuan Triliun Pajak Hilang Karena Tikus | Tempo.co
Jakarta, News Desa - Banyak kasus perpajakan yang seharusnya pemerintah bisa tangani. Dari situ, kita bisa mengamankan pendapatan pajak yang jauh lebih besar. Itu teorinya. Kenyataannya, ada pembiaran atau kesengajaan atas hilangnya pendapatan negara melalui pajak.

Hal ini disampaikan anggota Komisi Hukum DPR RI, Nudirman Munir. Menurutnya, ribuan kapal kita yang mengekspor hal sumber daya alam kita menghindari pajak ekspor dengan melalui pelabuhan tikus. “Banyak sekali kapal dagang kita berangkat dari pelabuhan-pelabuhan tikus,” ujarnya.

Pelabuhan ini, lanjutnya, banyak sekali di Indonesia. Para wajib pajak tersebut berupaya menghindari pajak dengan cara melalui pelabuhan ini. Inilah salah satu bentuk kebocoran pajak. Sebab, dari situ bisa saja terjadi selisih yang begitu besar antara pajak ekspor yang harus dibayar.

Pelabuhan ini ada di perairan Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Maluku. “Itu tak bisa kita deteksi dan itu lebih gila daripada illegal fishing. Menurut saya, ini skenario, ibarat mafia, yang dengan sengaja melakukan pembiaran atas beroperasinya pelabuhan tikus ini,” tuturnya.

Karena itu, anggota DPR dari Partai Golkar ini menyarankan, negara bisa membeli kapal yang bisa memantau pelabuhan-pelabuhan tikus ini dan menjaga pinggiran pantai. “Kita ini negara maritim, negara kepulauan, kenapa tak kita perbanyak kapal-kapal patroli untuk melakukan pengawasan,” katanya.

Selanjutnya, Nudirman menyarankan agar negara memberikan wewenang pada polisi perairan untuk mengawasi ini, sehingga bisa mengurangi lolosnya kapal yang membawa barang ekspor tanpa bayar pajak. “Lebih dari Rp.1.000 triliun kebocoran pajak kita karena adanya pelabuhan tikus di seluruh indonesia,” ucapnya.

Nudirman mencontohkan, salah satu bentuk pembiaran lainnya adalah kasus Research in Motion (RIM) melalui produk Blackberry (BB)-nya. “Anda bisa bayangkan, BB bayar apa sama kita, seperak pun duitnya tak ada yang masuk ke kas negara. Alasannya, RIM tak ada badan hukum dulu. Atau RIM tak punya perwakilan di Indonesia,” katanya.

Alasan bisa macam-macam, tapi yang pasti, lanjut Nudirman, telah terjadi pembiaran atas kebocoran pajak terkait dengan RIM ini. RIM memanfaatkan pasar Indonesia, sementara negara tak bisa memungut pajak pada RIM. “Masa negara yang punya banyak profesor doktor mau saja diperlakukan begini?” ujarnya.

Anggota Fraksi Partai Golkar ini menegaskan, penegakan hukum di semua aspek lemah, bahkan ada kecenderungan terjadi pembiaran. Termasuk soal pajak RIM ini. Dari 2006 sampai sekarang, menurutnya, tak ada yang mengejar RIM untuk bayar pajak.

Demikian halnya dengan restitusi pajak. Ia juga mengingatkan pada orang-orang kaya di Indonesia. “Saya juga teriak, hai orang kaya Indonesia, seperti pemilik Wilmar International Limited Martua Sitorus, Anda klaim restitusi pajak Rp 120 triliun. Tapi mana buktinya?” katanya. “Kalau Anda punya bukti, lanjutnya, maka Anda adalah pahlawan bangsa, sebagai pembayar pajak,” lanjutnya.

Nudirman mengakui, tingkat kepatuhan wajib pajak kita juga rendah. Tapi di sisi lain, ujanrya, kita tak lagi bicara tingkat kepatuhan pada orang-orang yang niatnya mau menggarong negara. “Tidak patuh, kurang patuh, atau tidak tahu itu lain masalah. Kalau ini bukan tak patuh, tapi mau rampok negara,” ujarnya.

Untuk itu, ia menawarkan solusi agar Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak melibatkan aparat penegak hukum, seperti kepolisian maupun kejaksaan. Pejabat yang melakukan pembiaran, lanjutnya, mesti ditindak tegas. Selain itu, lanjutnya, kepolisian harus membuat pengadaan kapal untuk mencegah pelabuhan tikus ini.

Menurutnya, paling tidak dibutuhkan 1.000 unit kapal untuk menjaga pelabuhan. Dengan adanya kapal patroli ini, lanjutnya, negara bisa dapat uang pajak lebih banyak. Selain itu, katanya, banyak uang negara yang bisa diselamatkan.

Petugas pajak yang sedikit memang sering kali menjadi alasan lemahnya penegakan hukum di sektor perpajakan. Namun, menurutnya, bukan faktor itu yang utama. “Seperti KPK, buat apa mengurusi korupsi Rp 40-50 juta. Serahkan saja ke kejaksaan,” katanya.

Demikian halnya dengan pajak. Nudirman menyarankan, yang seharusnya diurus adalah pajak yang besar-besar, seperti industri  minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO), batubara, illegal loging, dan segala “Yang kecil-kecil biar diurus petugas pajak di daerah. Itu kan sifatnya rutin dijalankan sejak republik ini merdeka,” ucapnya.

Tiga penegakan hukum di bidang pajak, seperti pemeriksaan, penagihan, juga penyidikan, diakuinya, juga masih lemah. “Yang perlu digalakkan, pertama penyelidikan, setelah dapat informasi banyak tentang wajib pajak,” tuturnya.

Penyelidikan ini, kata Nudirman, didapat melalui pengawasan. Pengawasan inilah yang lemah. “Jadi, unsur penegakan hukum pajak yang terlemah adalah pengawasan terhadap wajib pajak oleh Ditjen Pajak. Untuk pengawasan ini, Ditjen Pajak bisa minta bantuan Polri dan TNI,” katanya.

Lemahnya pengawasan, penagihan, serta penyidikan ini, lanjutnya, diperparah oleh adanya pembiaran oleh oknum pajak maupun aparat penegak hukum. “Pembiaran ini terjadi karena pengawasan yang lemah,” katanya.

Bagaimana halnya dengan penagihan? Nudirman menilai, aspek penagihan pajak juga tak efektif. “Yang diuber-uber petugas pajak adalah mereka yang harusnya kita lindungi. Kelas menengah, seperti Usaha Kecil dan Menengah (UKM), pemilik toko atau rumah makan yang dikriminalisasikan. Tenaga kita terkuras untuk hal-hal kecil seperti ini,” katanya. Padahal, kata Nudirman, tindakan ini dapat merusak sendi-sendi perekonomian bangsa.

Sumber: Tempo.co

Lorem ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry.


EmoticonEmoticon