Dua hari lagi kita akan tiba pada hari raya Idul Adha, ada yang menyebut dengan hari Raya Haji. Pada hari tersebut sebagian umat Islam di seluruh pelosok dunia berkumpul di tanah suci untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima.
Dan sebagian umat Islam yang lain di seluruh dunia akan melaksanakan penyembelihan hewan Qurban. Penyembelihan hewan kurban merupakan simbolisasi klimaks dari rangkaian ujian berat yang dialami oleh Nabi Ibrahim untuk menyembelih putra tercintanya Ismail.
Secara etimology Qurban berasal dari bahasa Arab yang artinya dekat. Mayoritas ulama berpendapat Qurban adalah segala sesuatu yang di persembahkan kepada Allah dalam mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan melaksanakan penyembelihan hewan ternak.
Dalam kitab Islam disebutkan, hukum Qurban adalah Sunnat Muakkad yang berlaku secara Kifayah. Da akan menjadi hukum wajib apabila di Nazarkan. Catatan bagi kita semua, jika seseorang menyatakan secara lisan kepada orang lain, bahwa; "ini binatang qurban saya", maka ucapan tersebut dihukumkan sebagai Nazar. Dengan sendirinya hukumnya berubah dari Sunnah Muakkad menjadi Wajib.
Maka disarankan kepada pemilik binatan Qurban agar menyebutkan dengan lafal; "ini qurban sunnat saya" atau seumpamanya untuk meng-antisipasi agar tidak berubah status menjadi wajib. Bila tidak, maka sipemilik Qurban tidak boleh makan sedikitpun dari Qurbannya karena akan membatalkan hukum Qurban.
Qurban diawali oleh sebuah peristiwa besar yaitu penyembelihan Ismail oleh Nabi Ibrahim atas perintah Allah. Peristiwa itu pada akhirnya Allah SWT menggantikan dengan se-ekor hewan (qibas).
Peristiwa itu pula merupakan rekaman percakapan yang sangat fantastis dan kemudian Allah abadikan dalam surat Ash Shaffat (37) ayat 102 yang artinya; "Hai anakku, sesungguhnya Aku melihat dalam mimpiku bahwa aku diperintahkan untuk menyembelihmu, maka bagaimana menurut pendapatmu? Ismail menjawab, Wahai ayahnda, laksanakan apa yang diperintahkan kepadamu niscaya engkau akan mendapatku Insya Allah termasuk orang-orang yang shabar".
Ibarat sebuah film, peristiwa Qurban yang dijalankan Nabi Ibrahim dan keluarganya merupakan dokumentasi yang tetap aktual dan selalu menarik untuk ditonton sepanjang zaman.
Qurban juga menyediakan samudera hikmah yang tak habis untuk diselami sepotong efisode, karena rekaman itu menjadi "film besar" sepanjang sejarah dan peradaban manusia. Film besar itu adalah percakapan antara ayah dan anak, antara Nabi Ibrahim dan Ismail yang sangat termasyhur.
Secara Psikolinguistik, percakapan tersebut dapat dianalisi ke dalam empat bagian.
Pertama; Kedua tokoh mengawali ucapan dengan kalimat penghormatan, "Ya bunayya" (Ibrahim), kemudian dijawab oleh Ismail "Ya Abati". Kedua kalimat tersebut, dalam bahasa Arab memiliki makna yang amat sangat mulia, santun dan bermartabat. Meskipun dalam komunikasi tersebut, terjadi sebuah peristiwa yang sangat besar dan mengerikan.
Kedua; Ibrahim menyampaikan pesan tidak dengan nada instruktif (perintah langsung), namun komunikasi tersebut terjadi secara konsultatif (meminta tanggapan). Pada saat peristiwa itu, Ibrahim memposisikan diri sebagai ayah yang demokratis bukan otoriter, dan posisi yang setara.
Ketiga; meskipun mengenggamkan kebebasan memilih, namun Ismail lebih memenagkan perintah Allah SWT dari pada memperturutkan ego pribadi. Sikap ini menguatkan hati sang Ayah yang dalam sebuah peristiwa besar. Menutur sebuah riwayat disebutkan Nabi Ibrahim sempat ragu-ragu untuk melaksanakan perintah Allah tersebut.
Ke-empat; bagian akhir dari kalimat Ismail tersebut adalah pertanda sikap tawadhu atau rendah hati dengan ucapan; "Insya Allah menjadi orang yang sabar".
Dari empat analis tersebut, banyak pesan moral yang dapat dipetik. Diantaranya adalah bagaimana Nabi Ibrahim mewujudkan keluarga yang "Sakinah Mawaddah Warahmah" ditengah tekanan yang sangat berat. Namun Nabi Ibrahim mampu menyelesaikannya dengan berdialog dan bermusyawarah bersama putranya Ismail. #Semoga bermanfaat.
Dan sebagian umat Islam yang lain di seluruh dunia akan melaksanakan penyembelihan hewan Qurban. Penyembelihan hewan kurban merupakan simbolisasi klimaks dari rangkaian ujian berat yang dialami oleh Nabi Ibrahim untuk menyembelih putra tercintanya Ismail.
Secara etimology Qurban berasal dari bahasa Arab yang artinya dekat. Mayoritas ulama berpendapat Qurban adalah segala sesuatu yang di persembahkan kepada Allah dalam mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan melaksanakan penyembelihan hewan ternak.
Dalam kitab Islam disebutkan, hukum Qurban adalah Sunnat Muakkad yang berlaku secara Kifayah. Da akan menjadi hukum wajib apabila di Nazarkan. Catatan bagi kita semua, jika seseorang menyatakan secara lisan kepada orang lain, bahwa; "ini binatang qurban saya", maka ucapan tersebut dihukumkan sebagai Nazar. Dengan sendirinya hukumnya berubah dari Sunnah Muakkad menjadi Wajib.
Maka disarankan kepada pemilik binatan Qurban agar menyebutkan dengan lafal; "ini qurban sunnat saya" atau seumpamanya untuk meng-antisipasi agar tidak berubah status menjadi wajib. Bila tidak, maka sipemilik Qurban tidak boleh makan sedikitpun dari Qurbannya karena akan membatalkan hukum Qurban.
Qurban diawali oleh sebuah peristiwa besar yaitu penyembelihan Ismail oleh Nabi Ibrahim atas perintah Allah. Peristiwa itu pada akhirnya Allah SWT menggantikan dengan se-ekor hewan (qibas).
Peristiwa itu pula merupakan rekaman percakapan yang sangat fantastis dan kemudian Allah abadikan dalam surat Ash Shaffat (37) ayat 102 yang artinya; "Hai anakku, sesungguhnya Aku melihat dalam mimpiku bahwa aku diperintahkan untuk menyembelihmu, maka bagaimana menurut pendapatmu? Ismail menjawab, Wahai ayahnda, laksanakan apa yang diperintahkan kepadamu niscaya engkau akan mendapatku Insya Allah termasuk orang-orang yang shabar".
Ibarat sebuah film, peristiwa Qurban yang dijalankan Nabi Ibrahim dan keluarganya merupakan dokumentasi yang tetap aktual dan selalu menarik untuk ditonton sepanjang zaman.
Qurban juga menyediakan samudera hikmah yang tak habis untuk diselami sepotong efisode, karena rekaman itu menjadi "film besar" sepanjang sejarah dan peradaban manusia. Film besar itu adalah percakapan antara ayah dan anak, antara Nabi Ibrahim dan Ismail yang sangat termasyhur.
Secara Psikolinguistik, percakapan tersebut dapat dianalisi ke dalam empat bagian.
Pertama; Kedua tokoh mengawali ucapan dengan kalimat penghormatan, "Ya bunayya" (Ibrahim), kemudian dijawab oleh Ismail "Ya Abati". Kedua kalimat tersebut, dalam bahasa Arab memiliki makna yang amat sangat mulia, santun dan bermartabat. Meskipun dalam komunikasi tersebut, terjadi sebuah peristiwa yang sangat besar dan mengerikan.
Kedua; Ibrahim menyampaikan pesan tidak dengan nada instruktif (perintah langsung), namun komunikasi tersebut terjadi secara konsultatif (meminta tanggapan). Pada saat peristiwa itu, Ibrahim memposisikan diri sebagai ayah yang demokratis bukan otoriter, dan posisi yang setara.
Ketiga; meskipun mengenggamkan kebebasan memilih, namun Ismail lebih memenagkan perintah Allah SWT dari pada memperturutkan ego pribadi. Sikap ini menguatkan hati sang Ayah yang dalam sebuah peristiwa besar. Menutur sebuah riwayat disebutkan Nabi Ibrahim sempat ragu-ragu untuk melaksanakan perintah Allah tersebut.
Ke-empat; bagian akhir dari kalimat Ismail tersebut adalah pertanda sikap tawadhu atau rendah hati dengan ucapan; "Insya Allah menjadi orang yang sabar".
Dari empat analis tersebut, banyak pesan moral yang dapat dipetik. Diantaranya adalah bagaimana Nabi Ibrahim mewujudkan keluarga yang "Sakinah Mawaddah Warahmah" ditengah tekanan yang sangat berat. Namun Nabi Ibrahim mampu menyelesaikannya dengan berdialog dan bermusyawarah bersama putranya Ismail. #Semoga bermanfaat.
EmoticonEmoticon