"Karena nila setitik, rusak susu sebelanga." Inilah kira-kira peribahasa yang tepat menggambarkan bagaimana runtuhnya kepercayaan masyarakat saat ini terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) setelah ketuanya, Akil Mochtar diciduk KPK, Rabu (2/10/2013).
MK dibangun dalam waktu yang lama dengan bersih. Mereka yang pernah memimpin MK sebelumnya, dengan 'berat hati' menahan godaan-godaan yang mencoba mengebiri kesucian lembaga terhormat ini. Paling tidak inilah yang diakui mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD yang menyebutkan bahwa hakim MK betul-betul diuji dengan ketangguhan diri untuk tidak menerima suap.
Tentu saja, dengan kewenangannya yang luar biasa, termasuk menangani sengketa Pilkada, maka godaan terhadap MK sangat besar, terutama dari calon kepala daerah yang bersengketa. "Kalau ada sekian M, Anda bisa kami menangkan," begitu kira-kira kalimat transaksional hakim yang hendak memainkan sengketa Pilkada.
Ketika ditangkap oleh KPK, Akil Mochtar diduga "memainkan" sedikitnya dua kasus sengketa Pilkada, yaitu Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Kabupaten Lebak, Banten. Boleh jadi bukan hanya Akil yang terlibat dalam permainan putusan Pilkada. Karena putusan MK adalah bersifat kolektif kolegial, menurut Wakil Ketua MK Hamdan Zoelva, bisa jadi ada hakim MK lain yang terlibat.
Pilkada Milik Siapa?
Wibawa MK langsung runtuh menyusul penangkapan Akil Mochtar. Keputusan MK mengenai sengketa Pilkada kini dipertanyakan kredibilitasnya. Orang-orang yang tidak percaya terhadap MK langsung bermunculan, termasuk wacana pengalihan kewenangan sengketa Pilkada hingga pembubaran lembaga MK.
Jika sengketa Pilkada dialihkan dari MK, pertanyaannya adalah lembaga apa yang tepat untuk menjadi penggantinya?
Dalam hal ini, mari kita kembali mengingat pada 5-6 tahun lalu. Sebelum 2008, sengketa pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten dan kotamadya (sekarang kota) diadili di Pengadilan Tinggi. Sedangkan perkara pemilihan gubernur ditangani oleh Mahkamah Agung. Namun kewenangan ini berpindah ke tangan MK pada 2008 melalui Pasal 236C UU 12/2008. Hal ini dikukuhkan dengan penandatanganan pengalihan kewenangan dari Ketua Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi pada 29 Oktober 2008.
Dalam perjalanannya, MK mendapat sambutan positif dari masyarakat, meski juga sempat muncul opsi pengembalian kewenangan MK ke MA pada 2012. Namun saat itu, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Saldi Isra tidak sepakat jika sengketa Pilkada dipindah kembali ke MA. Menurut Saldi, di antara alasan pemindahan kewenangan Pilkada dari MA maupun Pengadilan Tinggi ke MK pada 2008 lalu karena penanganan di Pengadilan Tinggi terlalu dekat dengan pihak-pihak berperkara, sehingga tekanannya terlalu kuat. Hal tersebut menyebabkan putusan-putusan sengketa Pilkada bermasalah.
Di sisi lain, Yusril Ihza Mahendra memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, penyelesaian sengketa pilkada sebaiknya diserahkan ke pengadilan tinggi, karena tugas MK tidak dapat ditambahkan lagi dengan masalah pilkada, begitu juga MA yang sudah terbebani dengan masalah-masalah lainnya.
Kini, MK menemukan batu sandungan yang sebenarnya. Bukan karena beban perkara yang ditangani, tapi lebih kepada kredibilitasnya yang terpuruk ke titik nadir. Penangkapan Akil menjadi semacam cambuk kesadaran bagi sebagian masyarakat, sehingga mereka beramai-ramai mengampanyekan pengalihan kewenangan penanganan sengketa Pilkada.
Sekretaris Jenderal DPP PDIP Tjahjo Kumolo misalnya. Ia mengusulkan penghapusan ketentuan penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah oleh MK dan mendukung MA yang mengadilinya. Ia merujuk pada Rancangan Undang-Undang tentang Pilkada yang menyebutkan bahwa MK sebagai pengawal konstitusi juga dibatasi kewenangannya. Hal ini kata Tjahjo, berbeda dengan ketentuan tentang MA pada Pasal 24A Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dalam frasa "dan mempunyai wewenang lainnya", sehingga kewenangan MK yang diberikan oleh UU untuk mengadili sengketa pilkada harus dihapuskan.
Hanya saja jika benar-benar dialihkan kembali ke tangan MA, segera muncul pertanyaan, apakah MA mampu menangani sengketa Pilkada tanpa terjebak permainan suap seperti yang sekarang dilakukan oleh Ketua MK. Jangan-jangan kalau dialihkan ke MA atau ke lembaga lainnya, justru semakin parah karena ada lumbung dollar dalam sengketa Pilkada.
Jika motivasi pengalihan menangani sengketa pilkada tersebut hanya untuk memenuhi hasrat material, maka kita tidak punya lagi lembaga yang bisa mengganti posisi MK, kecuali MK sendiri yang harus mereformasi dirinya secara total. Tapi, mungkinkah?
Tajuk Sayangi.com
MK dibangun dalam waktu yang lama dengan bersih. Mereka yang pernah memimpin MK sebelumnya, dengan 'berat hati' menahan godaan-godaan yang mencoba mengebiri kesucian lembaga terhormat ini. Paling tidak inilah yang diakui mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD yang menyebutkan bahwa hakim MK betul-betul diuji dengan ketangguhan diri untuk tidak menerima suap.
Gedung MK |
Tentu saja, dengan kewenangannya yang luar biasa, termasuk menangani sengketa Pilkada, maka godaan terhadap MK sangat besar, terutama dari calon kepala daerah yang bersengketa. "Kalau ada sekian M, Anda bisa kami menangkan," begitu kira-kira kalimat transaksional hakim yang hendak memainkan sengketa Pilkada.
Ketika ditangkap oleh KPK, Akil Mochtar diduga "memainkan" sedikitnya dua kasus sengketa Pilkada, yaitu Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Kabupaten Lebak, Banten. Boleh jadi bukan hanya Akil yang terlibat dalam permainan putusan Pilkada. Karena putusan MK adalah bersifat kolektif kolegial, menurut Wakil Ketua MK Hamdan Zoelva, bisa jadi ada hakim MK lain yang terlibat.
Pilkada Milik Siapa?
Wibawa MK langsung runtuh menyusul penangkapan Akil Mochtar. Keputusan MK mengenai sengketa Pilkada kini dipertanyakan kredibilitasnya. Orang-orang yang tidak percaya terhadap MK langsung bermunculan, termasuk wacana pengalihan kewenangan sengketa Pilkada hingga pembubaran lembaga MK.
Jika sengketa Pilkada dialihkan dari MK, pertanyaannya adalah lembaga apa yang tepat untuk menjadi penggantinya?
Dalam hal ini, mari kita kembali mengingat pada 5-6 tahun lalu. Sebelum 2008, sengketa pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten dan kotamadya (sekarang kota) diadili di Pengadilan Tinggi. Sedangkan perkara pemilihan gubernur ditangani oleh Mahkamah Agung. Namun kewenangan ini berpindah ke tangan MK pada 2008 melalui Pasal 236C UU 12/2008. Hal ini dikukuhkan dengan penandatanganan pengalihan kewenangan dari Ketua Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi pada 29 Oktober 2008.
Dalam perjalanannya, MK mendapat sambutan positif dari masyarakat, meski juga sempat muncul opsi pengembalian kewenangan MK ke MA pada 2012. Namun saat itu, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Saldi Isra tidak sepakat jika sengketa Pilkada dipindah kembali ke MA. Menurut Saldi, di antara alasan pemindahan kewenangan Pilkada dari MA maupun Pengadilan Tinggi ke MK pada 2008 lalu karena penanganan di Pengadilan Tinggi terlalu dekat dengan pihak-pihak berperkara, sehingga tekanannya terlalu kuat. Hal tersebut menyebabkan putusan-putusan sengketa Pilkada bermasalah.
Di sisi lain, Yusril Ihza Mahendra memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, penyelesaian sengketa pilkada sebaiknya diserahkan ke pengadilan tinggi, karena tugas MK tidak dapat ditambahkan lagi dengan masalah pilkada, begitu juga MA yang sudah terbebani dengan masalah-masalah lainnya.
Kini, MK menemukan batu sandungan yang sebenarnya. Bukan karena beban perkara yang ditangani, tapi lebih kepada kredibilitasnya yang terpuruk ke titik nadir. Penangkapan Akil menjadi semacam cambuk kesadaran bagi sebagian masyarakat, sehingga mereka beramai-ramai mengampanyekan pengalihan kewenangan penanganan sengketa Pilkada.
Sekretaris Jenderal DPP PDIP Tjahjo Kumolo misalnya. Ia mengusulkan penghapusan ketentuan penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah oleh MK dan mendukung MA yang mengadilinya. Ia merujuk pada Rancangan Undang-Undang tentang Pilkada yang menyebutkan bahwa MK sebagai pengawal konstitusi juga dibatasi kewenangannya. Hal ini kata Tjahjo, berbeda dengan ketentuan tentang MA pada Pasal 24A Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dalam frasa "dan mempunyai wewenang lainnya", sehingga kewenangan MK yang diberikan oleh UU untuk mengadili sengketa pilkada harus dihapuskan.
Hanya saja jika benar-benar dialihkan kembali ke tangan MA, segera muncul pertanyaan, apakah MA mampu menangani sengketa Pilkada tanpa terjebak permainan suap seperti yang sekarang dilakukan oleh Ketua MK. Jangan-jangan kalau dialihkan ke MA atau ke lembaga lainnya, justru semakin parah karena ada lumbung dollar dalam sengketa Pilkada.
Jika motivasi pengalihan menangani sengketa pilkada tersebut hanya untuk memenuhi hasrat material, maka kita tidak punya lagi lembaga yang bisa mengganti posisi MK, kecuali MK sendiri yang harus mereformasi dirinya secara total. Tapi, mungkinkah?
Tajuk Sayangi.com
EmoticonEmoticon