Oleh Jarjani Usman
-
MENDENGAR kabar akan diselenggarakannya kompetisi olahraga golf di Aceh, hati nurani saya terketuk untuk mempertanyakan rasionalisasinya. Apalagi, selain katanya dilaksanakan dalam rangka memperingati musibah tsunami yang dialami masyarakat Aceh, olahraga para elitis ini juga melibatkan tokoh yang gencar memperjuangkan syariat Islam yang menjunjung kepedulian terhadap sesama. Bila menggunakan hati nurani, sungguh terdapat pemandangan yang sangat kontras, khususnya jika dilihat dari diskursus golf vis a vis musibah tsunami plus kemiskinan.
Di satu sisi, golf identik dengan olahraga orang-orang yang secara ekonomi sudah mapan. Lazimnya pun, olahraga ini dimainkan kalangan kelas atas, pejabat, borjuis, elitis, dan selebritis. Pokoknya kalangan yang tak lagi memikirkan kebutuhan primer dan sekunder seperti pangan, sandang, perumahan, transportasi pribadi dan sejenisnya. Golf juga bukan olahraga lokal.
Budaya elitis
Menurut satu versi pendapat, olahraga ini berasal dari Skotlandia. Jadi, membudayakannya di Aceh termasuk bagian dari upaya mengimpor dan mempenetrasi budaya elitis. Juga ada semacam upaya yang bersifat pengekslusivisitas, karena besar kemungkinan masyarakat biasa tak bisa berpartisipasi. Jadi sulit membayangkan apa yang mereka dapat dari pelaksanaan acara ini.
Di sisi lain, masyarakat di Aceh sekarang ini masih belum lepas dari imbas tsunami, ditambah dengan kemiskinan yang mendera di mana-mana. Musibah tsunami beraroma penderitaan, keterbatasan, pengungsi, barak, dan sejenisnya. Apalagi hingga saat ini, korban tsunami belum seluruhnya mendapat bantuan (yang memadai). Belum lagi dengan penyelesaian dana bantuan yang katanya masih banyak mengendap. Ditambah lagi dengan kondisi rakyat kini yang masih kentara didera kemiskinan dan pengangguran. Dalam wilayah rakyat miskin, ada ketidakcukupan, kesederhanaan, penderitaan, utang, tak punya rumah, ketidaksanggupan, pengabaian hak masuk rumah sakit, dan sejenisnya.
Mestinya, keadaan memperihatinkan masyarakat Aceh sekarang ini dibaca dengan menggunakan hati nurani, sehingga muncul perasaan sensitif terhadap kenyataan sekitar. Kiranya perlu juga digunakan kacamata agama, agar setiap perbuatan yang dilaksanakan mengutamakan manfaatnya bagi kebaikan sesama. Juga dipikirkan secara mendalam bagaimana relevansi kompetisi golf dengan membalutnya dengan balutan peringatan bencana tsunami.
Dengan kata lain, setiap perlombaan yang akan dilaksanakan setiap tahun disesuaikan dengan kondisi kekinian masyarakat. Kalau memang bertujuan untuk memperingati tsunami, olahraga lokal yang hampir punah jauh lebih penting dibangkitkan kembali. Sehingga masyarakat yang belum sepenuhnya pulih dari penderitaan dari konflik dan musibah besar bisa sedikit mendapatkan sedikit kesegaran, dan membantu melestarikan kearifan lokal.
Selain itu, dalam pikiran kuno saya, yang kiranya sangat layak dilakukan di Aceh saat ini semacam program ‘tukar nasib’ yang ditayangkan sebuah TV swasta di Indonesia. Misalnya, kalangan orang-orang elit atau pejabat saling berlomba untuk menguji kemampuan atau ketahanan hidup di rumah sederhana atau barak, penuh dengan keterbatasan sumberdaya, listrik yang mati sebentar-sebentar, pakai lilin sebagai penerang, banyak nyamuk, dan sejenisnya.
Dari perlombaan seperti ini, diharapkan akan muncul pemahaman tentang kondisi rakyat yang sesungguhnya. Juga akan mengasah kepekaan atau kepedulian terhadap nasib orang-orang yang terkena bencana dan orang-orang miskin. Sehingga alokasi dana dari Pemerintah untuk orang-orang yang bernasib demikian, bisa dimaksimalkan agar tercapai taraf memadai.
Apalagi saat ini, banyak orang tak mampu memiliki rumah, meskipun tipe sederhana. Juga muncul orang-orang berduit yang mengembangkan program amal, semacam charity, untuk menunjukkan rasa empati membantu orang-orang miskin. Kiranya patut ditiru orang berduit seperti Jacky Chan, yang dengan suka rela membantu membangun rumah untuk masyarakat Aceh yang terkena dampak bencana gempa dan tsunami.
Terlalu awam
Berbeda dengan turnamen golf, saya terlalu awam untuk memahami apa yang diharapkan akan tumbuh di kalangan pesertanya dalam rangka menyambut musibah tsunami. Yang saya tahu, selain hanya bisa dijangkau kalangan berkantong tebal, olahraga pukul bola ini biasanya memerlukan lapangan yang luas, mewah, dan sejenisnya, yang tak mungkin dirasakan oleh kalangan rakyat jelata.
Semoga bukan untuk mempertontonkan kemewahan sewaktu rakyat banyak masih menderita. Semoga tak tumbuh semangat menjadi elite atau mengelite-elitekan diri di kalangan rakyat biasa. Semoga juga tidak akan muncul lapangan-lapangan golf baru, yang menelan banyak lahan yang seharusnya diperuntukkan untuk pengembangan ekonomi rakyat.
Apalagi selama ini telah beredar kabar bahwa situs bersejarah suatu kerajaan di wilayah Aceh Besar akan dikorbankan untuk dijadikan sebagai lapangan golf, meskipun kini ditentang oleh kalangan yang peduli terhadap konservasi situs bersejarah Aceh. Usaha penyulapan ini, meskipun masih pada tahap wacana, tentunya suatu perbuatan yang sifatnya destruktif. Apalagi situs itu juga masih berpeluang dikembangkan untuk kawasan wisata spiritual yang juga bisa membantu ekonomi rakyat banyak.
* Jarjani Usman, Pemerhati Masalah Sosial, dan Dosen IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: jarjani@gmail.com
Sumber: Serambi Indonesia, 24 April 2013 Serambi
-
MENDENGAR kabar akan diselenggarakannya kompetisi olahraga golf di Aceh, hati nurani saya terketuk untuk mempertanyakan rasionalisasinya. Apalagi, selain katanya dilaksanakan dalam rangka memperingati musibah tsunami yang dialami masyarakat Aceh, olahraga para elitis ini juga melibatkan tokoh yang gencar memperjuangkan syariat Islam yang menjunjung kepedulian terhadap sesama. Bila menggunakan hati nurani, sungguh terdapat pemandangan yang sangat kontras, khususnya jika dilihat dari diskursus golf vis a vis musibah tsunami plus kemiskinan.
Di satu sisi, golf identik dengan olahraga orang-orang yang secara ekonomi sudah mapan. Lazimnya pun, olahraga ini dimainkan kalangan kelas atas, pejabat, borjuis, elitis, dan selebritis. Pokoknya kalangan yang tak lagi memikirkan kebutuhan primer dan sekunder seperti pangan, sandang, perumahan, transportasi pribadi dan sejenisnya. Golf juga bukan olahraga lokal.
Budaya elitis
Menurut satu versi pendapat, olahraga ini berasal dari Skotlandia. Jadi, membudayakannya di Aceh termasuk bagian dari upaya mengimpor dan mempenetrasi budaya elitis. Juga ada semacam upaya yang bersifat pengekslusivisitas, karena besar kemungkinan masyarakat biasa tak bisa berpartisipasi. Jadi sulit membayangkan apa yang mereka dapat dari pelaksanaan acara ini.
Di sisi lain, masyarakat di Aceh sekarang ini masih belum lepas dari imbas tsunami, ditambah dengan kemiskinan yang mendera di mana-mana. Musibah tsunami beraroma penderitaan, keterbatasan, pengungsi, barak, dan sejenisnya. Apalagi hingga saat ini, korban tsunami belum seluruhnya mendapat bantuan (yang memadai). Belum lagi dengan penyelesaian dana bantuan yang katanya masih banyak mengendap. Ditambah lagi dengan kondisi rakyat kini yang masih kentara didera kemiskinan dan pengangguran. Dalam wilayah rakyat miskin, ada ketidakcukupan, kesederhanaan, penderitaan, utang, tak punya rumah, ketidaksanggupan, pengabaian hak masuk rumah sakit, dan sejenisnya.
Mestinya, keadaan memperihatinkan masyarakat Aceh sekarang ini dibaca dengan menggunakan hati nurani, sehingga muncul perasaan sensitif terhadap kenyataan sekitar. Kiranya perlu juga digunakan kacamata agama, agar setiap perbuatan yang dilaksanakan mengutamakan manfaatnya bagi kebaikan sesama. Juga dipikirkan secara mendalam bagaimana relevansi kompetisi golf dengan membalutnya dengan balutan peringatan bencana tsunami.
Dengan kata lain, setiap perlombaan yang akan dilaksanakan setiap tahun disesuaikan dengan kondisi kekinian masyarakat. Kalau memang bertujuan untuk memperingati tsunami, olahraga lokal yang hampir punah jauh lebih penting dibangkitkan kembali. Sehingga masyarakat yang belum sepenuhnya pulih dari penderitaan dari konflik dan musibah besar bisa sedikit mendapatkan sedikit kesegaran, dan membantu melestarikan kearifan lokal.
Selain itu, dalam pikiran kuno saya, yang kiranya sangat layak dilakukan di Aceh saat ini semacam program ‘tukar nasib’ yang ditayangkan sebuah TV swasta di Indonesia. Misalnya, kalangan orang-orang elit atau pejabat saling berlomba untuk menguji kemampuan atau ketahanan hidup di rumah sederhana atau barak, penuh dengan keterbatasan sumberdaya, listrik yang mati sebentar-sebentar, pakai lilin sebagai penerang, banyak nyamuk, dan sejenisnya.
Dari perlombaan seperti ini, diharapkan akan muncul pemahaman tentang kondisi rakyat yang sesungguhnya. Juga akan mengasah kepekaan atau kepedulian terhadap nasib orang-orang yang terkena bencana dan orang-orang miskin. Sehingga alokasi dana dari Pemerintah untuk orang-orang yang bernasib demikian, bisa dimaksimalkan agar tercapai taraf memadai.
Apalagi saat ini, banyak orang tak mampu memiliki rumah, meskipun tipe sederhana. Juga muncul orang-orang berduit yang mengembangkan program amal, semacam charity, untuk menunjukkan rasa empati membantu orang-orang miskin. Kiranya patut ditiru orang berduit seperti Jacky Chan, yang dengan suka rela membantu membangun rumah untuk masyarakat Aceh yang terkena dampak bencana gempa dan tsunami.
Terlalu awam
Berbeda dengan turnamen golf, saya terlalu awam untuk memahami apa yang diharapkan akan tumbuh di kalangan pesertanya dalam rangka menyambut musibah tsunami. Yang saya tahu, selain hanya bisa dijangkau kalangan berkantong tebal, olahraga pukul bola ini biasanya memerlukan lapangan yang luas, mewah, dan sejenisnya, yang tak mungkin dirasakan oleh kalangan rakyat jelata.
Semoga bukan untuk mempertontonkan kemewahan sewaktu rakyat banyak masih menderita. Semoga tak tumbuh semangat menjadi elite atau mengelite-elitekan diri di kalangan rakyat biasa. Semoga juga tidak akan muncul lapangan-lapangan golf baru, yang menelan banyak lahan yang seharusnya diperuntukkan untuk pengembangan ekonomi rakyat.
Apalagi selama ini telah beredar kabar bahwa situs bersejarah suatu kerajaan di wilayah Aceh Besar akan dikorbankan untuk dijadikan sebagai lapangan golf, meskipun kini ditentang oleh kalangan yang peduli terhadap konservasi situs bersejarah Aceh. Usaha penyulapan ini, meskipun masih pada tahap wacana, tentunya suatu perbuatan yang sifatnya destruktif. Apalagi situs itu juga masih berpeluang dikembangkan untuk kawasan wisata spiritual yang juga bisa membantu ekonomi rakyat banyak.
* Jarjani Usman, Pemerhati Masalah Sosial, dan Dosen IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: jarjani@gmail.com
Sumber: Serambi Indonesia, 24 April 2013 Serambi
EmoticonEmoticon