19 Apr 2013

Citra dan Dendang Politik

Oleh Asmaul Husna
-
BEBERAPA waktu lalu, ketika mengikuti acara dakwah Islamiah memperingati maulid Nabi Muhammad saw dalam satu kecamatan di Aceh Utara, ada hal yang menarik perhatian saya. Selain mengundang penceramah, acara yang diselenggarakan oleh sebuah partai politik yang mempunyai nama di Aceh ini juga mendatangkan seorang penyanyi lokal. Si “atribut politik” ini pun sukses membuat pengunjung terbuai dengan suara merdunya.

Dalam lagunya pun terlihat jelas bagaimana ia menyanjung partai yang mengundangnya untuk berdendang itu. Dengan segala daya pikatnya, ia berhasil membuat pengunjung manggut-manggut dan terkesima pada penampilannya. Ini hanyalah contoh kecil bagaimana sang aktor politik merangkai pencitraan dengan mencuri simpati massa, termasuk menjadikan dakwah dan lagu sebagai media propaganda.

Politik yang membuai
Menggaet publik figur dalam arena politik memang tidak diharamkan. Begitu juga dengan dendang-dendang politik yang memabukkan. Rakyat pun dibuat terlena dengan suara yang merdu dan wajah yang rupawan. Maka tak ayal, ini menjadi jurus ampuh yang banyak digunakan aktor politik untuk memuluskan jalannya dalam perebutan tahta ataupun pencitraan. Karena terbukti untuk ‘membeli’ suara dan simpati rakyat, mereka cukup diberi ‘sentuhan’ kecil tapi merangsang. 

Dalam beberapa kasus kita juga melihat bagaimana para pesohor dijadikan alat untuk memuluskan kariernya di ranah ini. Dede Yusuf, Dhiki Chandra, dan Rano Karno adalah contoh para pesohor negeri yang karena kesohorannya bisa menarik histeria massa untuk kemudian mencoblos sang calon dengan senang hati. Baru-baru ini, aktor kawakan Dedy Miswar yang terpilih sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat juga semakin menambah deretan politisi dari publik figur.

Di Aceh, trik menggunakan penyanyi bersuara merdu untuk meraih simpati massa menjadi sangat ampuh. Dalam sekejap, massa akan tumpah ruah di tempat diselenggarakannya “nyanyian politik” itu. Ini menjadi umpan yang tepat untuk memancing simpatisan dengan alasan agar masyarakat bisa keluar dari trauma konflik yang mendera Aceh selama puluhan tahun dan membuatnya hidup dalam ketakutan.

Istilah “keluar malam” apalagi mencari hiburan sudah lama hilang dari daftar keinginan seiring dengan suara dentuman senjata yang kemudian menjadi sebuah `kebiasaan’ yang berusaha diakrabi masyarakat Aceh. Kondisi masyarakat yang haus hiburan ini tentu saja dimanfaatkan baik oleh si partai untuk meraup suara, simpati, dan juga citra melalui dendang-dendang yang menghanyutkan.

Dalam contoh kasus di atas terlihat juga bagaimana dakwah sebagai tempat untuk menyampaikan pesan agama sekalipun, dijadikan sebagai media propaganda untuk menyelipkan pesan-pesan politik. Hal tersebut membuktikan bahwa trik politik sudah merambah segala dimensi sosial, termasuk ranah agama. Ranah ini juga dijadikan ‘tumbal’ untuk penguatan citra bahwa sang partai memang sangat bersahabat dengan kegiatan keagamaan.

Tanpa sadar sebenarnya ini adalah cara pemaksaan halus oleh aktor politik yang dilakukan dengan sangat elegan. Masyarakat terbuai dengan nyanyian merdu yang tinggi dengan cita rasa politik itu. Namun dalam hal ini ada hal yang harus dipahami bahwa politik itu bukanlah ajang pembuaian. Dan masyarakat tidak perlu dibuai dengan pertunjukan sesaat tapi memabukkan itu. 

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan nyanyian politik dan senandung keagamaan itu, karena memang masih dalam konteks ‘halal’. Dan itu adalah sebuah trik politik yang sangat bersahabat dengan kearifan lokal masyarakat Aceh. Hanya saja perlu kesadaran bahwa sebenarnya masyarakat lebih membutuhkan buaian kesejahteraan yang bersifat nyata daripada hanya sekedar buaian sesaat yang melenakan.

Politik pencitraan

Contoh yang terpapar di atas adalah menceritakan bagaimana politik pencitraan menjadi sangat urgen dilakukan. Untuk mendapat citra yang baik, perlu tindakan yang minimal juga dianggap baik oleh masyarakat. Tak ayal, ini kemudian menjadi trend bahkan dianggap tindakan ‘wajib’ untuk melanggengkan kekuasaan.

Dalam ranah ini, citra pun sudah dikukuhkan sebagai mesin politis dan bergerak cepat senada seirama dengan realitas. Srategi pencitraan pun dikemas sedemikian rupa untuk mempengaruhi emosi, persepsi, perasaan dan juga opini publik sehingga dengan mudah mereka dapat digiring untuk mengikhlaskan satu suara penyelamat demi kelanjutan cerita politik yang telah dituliskan.

Lebih jauh, Nimmo (2000:6-7) menyebutkan bahwa, citra seseorang tentang politik yang terjalin melalui pikiran, perasaan dan kesucian subjektif akan memberi kepuasan baginya, yang paling tidak memiliki tiga kegunaan. Pertama, betapapun benar atau salah, lengkap atau tidak lengkap, pengetahuan orang tentang politik, memberi jalan pada seseorang untuk memahami sebuah peristiwa politik tertentu. Kedua, kesukaan dan ketidaksukaan umum pada citra seseorang tentang politik menyajikan dasar untuk menilai objek politik. Ketiga, citra diri seseorang memberikan cara menghubungkan dirinya dengan orang lain. 

Kesimpulan sindiran yang disampaikan oleh Goenawan Muhammad pun menjadi sangat menarik, bahwa benar yang lebih penting sekarang adalah ‘kemasan.’ Menurutnya, kehidupan politik telah berubah menjadi lapak dan gerai, kios dan show-room. Sebuah masa yang menempatkan hasil jajak pendapat umum jadi ukuran yang lebih penting ketimbang kebenaran. Dan penampilan yang atraktif, lebih efektif ketimbang prestasi dan gagasan sosial yang menggugah (Tempo, 27/7/2008).

Berkaca dari potret di atas, maka tak salah jika dikatakan bahwa pilkada langsung tak lebih dari pemilihan image politik individu atau pun lembaga. Citra-citra ini kemudian ‘dijual’ dalam “pemasaran politik” seperti dalam kampanye yang disertai dengan janji-janji politiknya, dan laku keras. 

Dalam praktik yang katanya pesta demokrasi itu, terlihat jelas bagaimana orang dituntun untuk memilih berdasarkan image. Maka benar apa yang dikatakan dalam teori Marxis, bahwa orang seringkali terjebak dengan citra, karena memilih dengan kesadaran palsu, membeli citraan yang palsu. Ketika dia sudah membeli baru ketahuan banyak hal yang buruk.

Panggung politik pun tak ubahnya lakon sandiwara yang dimainkan dengan hebat oleh aktor-aktornya. Masyarakat menjadi penonton setia untuk setiap episode politik yang diputarkan. Mereka tak kuasa menolak ajakan mesra sang penguasa untuk ‘berselingkuh’ bersama atas nama kehidupan yang lebih baik.

Terlepas dari itu semua, perlu diingat oleh para aktor politik bahwa bukan pertunjukan memabukkan dan melangitnya aksi pencitraan yang dibutuhkan masyarakat. Tetapi lebih kepada bagaimana mewujudkan kesejahteraan hidup yang telah lama didamba itu. 

* Asmaul Husna
, Mahasiswi Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, dan Siswa Angkatan III Sekolah Demokrasi Aceh Utara (SDAU). Email: hasmaul64@yahoo.com

Sumber: Serambi Indonesia, 23 Maret 2013
Page http://aceh.tribunnews.com/2013/03/23/citra-dan-dendang-politik

Lorem ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry.


EmoticonEmoticon