Oleh Herawati
-
Selain itu, kepala Dinas Pendidikan pun akan lebih memperketat pengawasannya terhadap proses pelaksanaan UN tahun ini. Mungkin banyak kepala sekolah, para guru dan para siswa-siswi selaku peserta UN terkejut dengan akan peraturan dan metode pelaksanaan UN kali ini. Meski demikian belum tentu akan berkurangnya kecurangan. Ini justru akan semakin menggila praktik kecurangan.
Setiap komite dan staf sekolah mulai melakukan tambahan jam belajar bagi anak didik mereka, sebagai upaya memperdalam materi yang dianggab kurang selama proses belajar-mengajar reguler. Mereka takut kisah sedih SMA Negeri 3 Simeulu terulang, yang tak satupun siswa yang lulus ketika UN. Tragedi itu bisa menjadi cambuk buat semua sekolah.
Guruku pahlawanku
Guru adalah contoh teladan muridnya, baik guru di madrasah atau pengajian. Bila seorang guru jujur, muridnya pun ikut jujur, begitu juga sebaliknya. Seperti kata pepatah “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Pepatah ini seakan-akan menciptakan fenomenanya sekarang. Contohnya, guru yang melakukan kecurangan ketika UN. Meskipun sebagian anak didik bisa memilah-milah baik dan buruk. Akan tetapi minim sekali yang mampu memilah, malah mencampuradukkan yang dhahir dan yang bathil.
Guru yang baik adalah guru yang menjalankan UN dengan jujur. Ketika UN, mereka akan bekerja keras mendidik siswanya untuk belajar yang tekun dan jujur, supaya mereka lulus dengan murni, bukan hasil contekan. Tapi hasil dari potensi yang ada dalam diri mereka, dan mereka tidak akan terkecoh dengan pihak-pihak yang menawarkan jasa dengan dalih menjual kunci jawaban UN yang disinyalir bocor. Ini akan sangat membanggakan para pembaca sekalian. Daripada siswa-siswi tersebut lulus 100% akan tetapi hasil bocoran soal. Bila ada yang demikian rupa jujurnya, sudah sepatutnya pemerintah memberi sebuah penghargaan yang besar pada lembaga tersebut, karena mereka adalah pahlawan kebenaran, jujur ketika UN.
Jika UN dilaksanakan dengan jujur, kita akan dapat mengetahui kemampuan dan kekurangan para siswa atau pelajar di Aceh. Dengan demikian kita dapat melakukan perbaikan mutu pendidikan, hingga dapat melahirkan generasi-generasi Aceh yang cerdas dan bermutu. Tidak ada gunanya sebuah angka-angka yang tinggi, sedangkan mutu atau ilmu dari pelajar minim. Tidak ada artinya.
Manipulasi UN
Jika kita bertanya alasan mereka melakukan kecurangan, pasti alasan yang membela, mereka melakukan kecurangan karena takut siswanya tidak lulus, takut anak didiknya dinilai bodoh, takut sekolahnya dinilai tidak bermutu karena sedikit yang lulus UN. Atau, siswa takut tidak lulus karena harus duduk di bangku kelas 3 lagi dan harus mengulang kembali semua mata pelajaran dan lain-lain. Akan tetapi bukankah itu hal yang baik, karena dengan demikian dia akan jadi siswa lebih tahu, lebih pintar karena ia sudah mempelajari mata pelajaran yang sama selama 2 tahun.
Pertanyaannya kalau memang ketika UN itu para siswa menggunakan kunci bocoran jawaban dari gurunya, untuk apa juga para guru dan siswa-siswa harus mengajar dan belajar SD 6 tahun, SMP 3, SMA 3 tahun ditambah lagi dengan try out dan les (pelajaran tambahan), sedangkan ketika UN mereka mendapatkan bocoran soal. Tanpa ada perjuangan study hard yang berharga.
Akibatnya, siswa tidak mendapatkan peluang untuk menguji potensi yang sudah mereka dapatkan setelah beberapa tahun mengenyam pendidikan, ilmu-ilmunya terpendam tak dapat diapresiasikan. Jadi buat apa mereka harus buang-buang waktu, kalau begitu caranya orang idiot pun lulus UN.
Mengapa juga para guru mengajarkan agama kepada anak didiknya supaya tidak berbohong. “Bersikap jujurlah seperti Rasul saw,” kata sang guru menasihati. Tapi ketika detik-detik terakhir, sang guru justru mengajarkan dusta pada anak didiknya, membodohi, dengan memberi bocoran soal UN, serta diajarkan cara menyembunyikan kunci jawaban tersebut. Ini pelecehan agama namanya. Kita memerangi orang yang melecehkan agama kita, tapi kita sendiri tanpa menyadari tidak jauh beda dari mereka.
Kalau seorang guru yang dipercayai untuk menyalurkan ilmu-ilmu positif, tapi malah mengajari anak didiknya berbohong, bagaimana ini? Siapa lagi yang patut diteladani di dunia ini. Karena para penyalur ilmu sudah tidak ada yang jujur. Arah mana yang hendak dituju. Hanya karena terobsesi dengan pangkat dan jabatan seorang guru nekat melakukan manipulasi UN. Padahal efek yang ditimbulkan oleh mereka sangat fatal.
Siswa akan menilai gurunya tidak berwibawa dan berbagai penilaian negatif lainnya, yang dapat merendahkan martabatnya sebagai seorang yang berilmu. Bahkan ada sebagian siswa malah aneh, ada yang awalnya mereka tidak menghormati gurunya, tapi gara-gara guru tersebut memberi bocoran malah menjadi sangat terhormat di depan mereka. Apa-apaan ini? Perusak generasi (diajarkan berbohong) malah dimuliakan.
Apa memang begini cara guru mencari simpati muridnya untuk dikenang sepanjang masa? Inikah yang disebut deformasi “guruku pahlawanku, pahlawan kebohonganku”, aneh tapi nyata. Bukan hanya di sekolah-sekolah umum saja yang melakukan kecurangan, di dayah terpadu pun melakukan hal yang sama. Praktek kecurangan dalam UN sudah menjadi rahasia umum di hampir setiap sekolah. Ini adalah bumerang dalam UN. Tapi semoga saja tahun ini dengan pengawasan yang ketat dan paket soal yang berbeda, dapat meminimalisirkan kecurangan.
Sangat memilukan
Pendidikan di Aceh saat ini sangat memilukan. Hasil uji kompetensi guru (UKG) tingkat nasional, kita berada pada peringkat 28 dari 33 provinsi (Majalah Kiprah, 2013). Data yang berbeda, namun lebih ekstrem lagi pernah disampaikan Prof Dr Yusuf Azis dari FKIP Unsyiah. Menurutnya, hasil UKG tingkat nasional masih memilukan bagi Aceh yang berada pada peringkat 32 dari 33 provinsi di Indonesia.
Mengapa kualitas pendidikan Aceh saat ini begitu rendah, mungkin saja mereka juga korban dari kecurangan gurunya dulu, hingga lahir lah kita ini sebagai generasi-generasi yang meremehkan pendidikan. Yang menganggab semua hal itu mudah jadi tidak perlu lagi capek-capek belajar. Tapi bukankan selalu ada jalan lurus ke depan, mengapa jalan kiri yang jadi pilihan? Mengapa manipulasi UN yang jadi pilihan? Inilah realita kita saat ini.
Tidak terlepas dari itu semua, kita tahu bahwa jabatan pelajar sebagai generasi perubahan (agens of change), jadi marilah kita bersaing dalam pendidikan dengan study hard dan berebut kesempatan emas secara alami bukan dari hasil manipulasi. Mari kita melakukan perubahan, karena Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali ia merubahnya sendiri.
Menghadapi UN yang sudah di depan itu, kita berharap kiranya guru dan para staf pengajar hendaknya menjadi pahlawan dalam kebenaran, jangan menjadi pahlawan kebohongan. Bagi yang melakukan kecurangan diberi sanksi yang tegas dari pihak kepolisian. Semoga UN tahun ini berjalan bersih, tanpa ada manipulasi, lulus dengan predikat yang memuaskan dan bisa dipertanggung jawabkan dunia dan akhirat. Amin ya rabbal’alamin.
Herawati, Mahasiswi Dakwah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Malikussaleh, Lhokseumawe. Email: herawati_stain@yahoo.co.id
Sumber : Serambi Indonesia, 13 April 2013
EmoticonEmoticon