19 Apr 2013

Khutbah


Karya Anton Widyanto
-
“Bapak-bapak, Ibu-ibu, Saudara-saudaraku semua!” tiba-tiba seorang laki-laki berusia kepala empat itu berteriak di tengah-tengah pasar. Suaranya yang dilantang-lantangkan tenggelam dalam hiruk pikuk jubelan manusia yang berbelanja dan sibuk tawar-menawar harga. 

Setelah menyapukan pandangannya ke semua arah, laki-laki berkumis tipis, berpeci, berdasi, berjas hitam,  dan bersepatu mengkilat itu memulai  khutbahnya. “Sudah sekian lama kita sama-sama  tertindas di bawah kendali politik manusia-manusia serakah di bumi pertiwi ini. Semua kacau. Semua mau menangnya sendiri. Kita para rakyat kecil ini selalu dipiara dalam segala keterimpitan. Biaya sekolah mahal, utang negara bertambah, harga bahan makanan pokok melonjak, listrik byar pet bentar-bentar tapi tarifnya naik terus, harga bawang mencekik, minyak tanah kadang-kadang lenyap, bensin kadang-kadang menghilang, solar seringkali ditimbun, macem-macem pokoknya yang tentu membuat perut kita menjerit dan otak kita rasanya mau meledak! Betul?” tanyanya.   Tak ada seorang pun yang menjawab. Hanya si nenek tua yang biasa dipanggil Nek Tu yang berjualan sayur di dekat podium kecil si pengkhutbah yang terlihat manggut-manggut. Entah karena mengerti atau justru bingung.  Sementara sekitar sepuluh orang yang kelihatannya tertarik dengan aksi si pengkhutbah kebanyakan mengerutkan dahi. Mungkin mereka masih berpikir atau justru mereka bingung.  Di depan Sang Pengkhutbah ada 4 orang anak usia belasan yang masih berbaju seragam. Kelihatannya mereka berhasil cabut dari sekolah. Ada juga tiga orang bapak-bapak yang masih duduk di atas sepeda motornya dan berhenti tepat di depan podium kecil sang pengkhutbah. Sementara di belakang podium ada si Udin dan Farhan yang kerjanya memperbaiki sol sepatu.  Sambil menunggu orderan, mereka berdua menyimak apa yang disampaikan laki-laki asing itu. 

Tampaknya si pengkhutbah memang tidak butuh jawaban. Dia melanjutkan kembali orasinya, “Kita sebenarnya belum merdeka. Itu hanya slogan kosong politik kibul para pembohong negeri. Kita sebenarnya masih dijajah. Dijajah oleh bangsa sendiri. Oleh orang-orang culas, orang berhati hantu belau, yang mampu mempesona semua orang dengan sihir palsunya”. Laki-laki itu  mengayun-ayunkan jarinya, memberi penekanan. “Kita pun tanpa kita sadari telah ditipu mentah-mentah. Sekali lagi ditipu mentah-mentah!! Bapak-Ibu, saudara-saudara tahu kan artinya ditipu mentah-mentah?” Mata Sang Pengkhutbah terlihat membelalak tajam, penuh kegeraman. Ludahnya pun bermuncratan dari bibirnya yang berkumis, membuat 4 anak sekolah yang setia mendengar khutbahnya sedikit mengelak dari hujan lokal. Ada pula yang mencoba menangkis serbuan mendadak itu dengan jari tangannya masing-masing.

Matahari siang masih bertengger di atas kepala. Cukup membuat otak mendidih sebenarnya. Tapi karena orasi Sang Pengkhutbah  dibawakan dengan cantik, orang-orang pun terlihat mulai tertarik mengikuti.

Sejenak Sang Pengkhutbah mengelap peluh di dahinya dengan sapu tangan cokelatnya. Kemudian ia melanjutkan kembali khutbahnya. “Tahu nggak, sebenarnya yang disebut orang kaya itu ya kita-kita ini. Bapak-bapak yang kerjanya memperbaiki sepatu orang yang rusak. Nenek-nenek yang jualan sayuran. Atau saudara-saudara kita yang membuka warung kopi, warung nasi, jualan rokok asongan, tukang becak, sopir labi-labi dan lain sebagainya. Kenapa? Karena orang-orang kecil seperti kita yang kerjaannya nyontreng saat Pemilu inilah yang ikut serta menggaji orang-orang berdasi yang duduk di singgasana masing-masing di atas sana. Orang-orang yang selama ini kita anggap mulia karena rumahnya gedongan, mobilnya lebih dari satu, kebunnya berhektare-hektare, hasil dari pengabdiannya sebagai aparatur negara sebenarnya kita juga yang ikut andil menggaji mereka. Kalo kemudian ada di antara mereka yang justru menzalimi Bapak-Ibu semua, itulah pejabat yang  keterlaluan namanya!” 

Matahari yang sedari tadi tidak ramah mulai dilawan oleh kumpulan awan yang beriringan menutupi sinarnya. Suasana menjadi sedikit teduh. Sang pengkhutbah pun semakin bersemangat. 

“Bapak, Ibu, Saudara-saudaraku sekalian,” nadanya kali ini dimulai dengan datar. “Kita sebenarnya saat ini butuh tokoh panutan. Tokoh yang bisa kita teladani dan bukan tokoh yang jago ngibul. Dulu kita punya banyak ulama yang sama-sama kita segani. Tapi sekarang telah banyak di antara mereka yang dipanggil Allah Swt. Sementara yang masih hidup, tidak sedikit yang justru asyik dalam syahwat politik kemudian melupakan umat. Ulama-ulama seperti ini adalah ulama-ulama tak bernurani. Ulama lupa daratan. Apa ada ulama seperti itu di gampong Bapak-Ibu?!” untuk kesekian kalinya laki-laki itu melontarkan pertanyaan pedas. Kali ini dengan nada meninggi. Untuk kesekian kali pula, para penonton tidak menjawab. Tapi mulai terlihat satu-dua orang yang berbisik-bisik. Entah apa yang dibisikkan. Mungkin mereka setuju, mungkin juga tidak. Tapi tak sedikit yang manggut-manggut.

Semakin siang, penonton semakin bertambah. Untaian kata yang diobral manis dan menggigit dari mulutnya berubah menjadi magnet. Sentilan berbisanya menjadi kekuatan hipnotis. Bagaikan penyair di pasar ‘Ukaz masa Jahiliyah. Ia menjadi sorotan mata manusia-manusia lapar yang butuh pemberontakan. Tapi Sang Pengkhutbah justru terdiam sekarang. Penonton  pun penasaran.   “Lanjuuuut!”, teriak salah seorang pedagang asongan yang sedari tadi menyimak orasi Sang Pengkhutbah dengan setia. Orator ulung itu  hanya membalas dengan senyuman. Dia tetap saja terpenjara dalam diam. “Ayo!!” sahut penonton lain dengan nada tinggi memberi semangat. Entah siapa yang memulai, satu per satu, orang mulai bertepuk tangan memberi semangat kepada Sang Pengkhutbah agar melanjutkan pidatonya. Senyum laki-laki itu semakin lebar. Tangannya melambai-lambai kepada penonton menimpali tepukan tangan yang diberikan. Ada raut bangga yang memancar dari mukanya.

“Bapak-Ibu sekalian. Kita semua tentu butuh keadilan, bukan?” Kalimat tanya pun keluar sekali lagi dari bibir Sang Pengkhutbah. “Yaaa,” timpal penonton yang mulai bersemangat lagi.  “Nah, kalau memang pengen keadilan, maka Bapak-Ibu tentu butuh seseorang yang akan membimbing Bapak-Ibu semua menuju keadilan,  kan?” tanyanya lagi. “Yaaaa,” bagaikan koor penonton menjawab bersamaan. Sambil tersenyum Sang Pengkhutbah melanjutkan lagi ujarannya. “Bagus! Itu berarti Bapak-Ibu sekalian memang ingin menjadi masyarakat yang maju. Bukan masyarakat kacangan. Bukan masyarakat yang mau saja ditindas. Dan karena itu, saya,  atas nama seluruh mahkluk yang ada di bangsa ini, mendeklarasikan diri sebagai calon anggota DPR. Setuju?!” suara Sang Pengkhutbah serak,  tapi tetap lantang terdengar. Para penonton terdiam. Tapi jumlah yang berbisik-bisik semakin banyak. Ada pula yang meludah. “Gimana Bapak-Ibu? Setujuuu?!”, tanya  Sang Pengkhutbah seakan memelas meminta jawaban. Tak seorang pun menjawab. Satu per satu penonton mulai meninggalkan tempat.

“Jualan kecap rupanya”, gumam si Doles yang jualan es campur. “Ah..basi,” timpal Ukhriyah yang jualan baju. “Kurang kerjaan”, sahut Imran sambil menghidupkan sepeda motornya, siap-siap ikutan ngacir. Tapi Sang Pengkhutbah cuek saja. Dia tetap melanjutkan orasinya. “Bapak-bapak, Ibu-ibu, saudara sekalian!” ia membuka kembali pidatonya dengan serak, tapi tetap bernada tinggi. 

“Rokok-rokok! Aqua dingin!!”, pedagang asongan mulai lagi menjajakan dagangannya. “Sayang anak, sayang anak!”, tukas penjual mainan tak mau kalah. Dan suara Sang Pengkhutbah pun kembali tenggelam di keriuhan orang-orang di pasar itu.

* Dr  Anton Widyanto M.Ag, Ed.S adalah dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Email: awidya09@gmail.com

Sumber: Serambi Indonesia, 14 April 2013 

Lorem ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry.


EmoticonEmoticon