Karya Sarah
Tidak banyak yang berubah dari kampungku. Sungai yang selalu menjadi tempat mandi favoritku setiap sore masih sama seperti dulu. Bahkan sekarang masih banyak anak-anak mandi dan bermain-main dengan ban. Ibu-ibu juga ikut berpartisipasi meramaikan suasana senja di pinggir sungai. Mereka membilas pakaian d atas raket.
Kutelusuri jalan setapak di pinggir sungai, lurus ke arah utara. Di sini masih seperti hutan, masih banyak nyamuk, dan banyak suara serangga yang berbunyi “nginggg”. Terutama masih berdiri kekar pohon mulieng. Dulu, aku sering ke sini, ke utara sungai, untuk memeriksa cintra yang kupasang paginya: Apakah ada burung beurijuek yang tertangkap di cintraku ataukah tidak. Saat pulang tak lupa kukeluarkan kantong plastik hitam dari celana jeans belelku untuk menampung semua aneuk mulieng.
Aku tersenyum melihat sebuah cintra terpasang di atas pohon mulieng. Ternyata masih ada yang mengikuti jejakku dulu. Aku berpikir sekilas, apakah masih ada yang mengikuti jejak kakek, sosok yang sangat kukagumi. Masih kuingat ketika kakek berbicara penuh semangat saat kami mandi berdua di sini.
“Kakekmu ini bukan pelaku sejarah, Agam. Tapi kakek tau semua tentang sejarah Aceh ini. Kau tau? Saat wilayah Indonesia dikuasai oleh penjajah, hanya Aceh yang tidak bisa ditaklukkan.”
Aku hanya mengangguk. Waktu itu aku belum tahu sejarah Aceh yang sebenarnya. Aku juga belum belajar sejarah di sekolah. Tempat ini masih sama seperti dulu. Tenang. Jarang ada orang kampong ke sini. Kakek memang hebat dalam segala hal, hingga tahu mana tempat yang tepat untuk duduk bersantai. Bahkan tak hanya tempat ini, kakek juga sering mengajakku mengambil tanah liat untuk nenek membuat periuk di gunung. Kakek mengambil tanah liat di tempat yang orang lain tak pernah ke tempat itu.
Tiba-tiba seorang anak kecil datang. Sepertinya hendak mengambil cintranya di atas pohon. “Na mereumpok ticem, Neuk?” tanyaku padanya. Dia menggeleng.
“Hana peu hai, singoeh ta pasang klai cintra jih. Ka pasang bak bak kayee nyang raya nyan, pasti meurempok.” Saranku penuh semangat. Aku yakin, jika di pohon yang besar dipasang, pasti akan dapat. “Jeut, Abu.” Ucapnya dengan tersenyum, lalu pergi meninggalkanku.
Air sungai mengalir tenang di depanku. Suaranya seperti nyanyian pengiringku memutar kisah lama. Di tempat ini juga. Kakek pernah bertanya satu hal padaku.
“Agam bisa nulis tidak?”
“Ya bisalah, Kek. Agam kan udah sekolah kelas lima SD. Nanti Agam sekolah SMP, SMA, terus Agam kuliah biar jadi presiden, Kek.”
Kakek berdecak kagum mendengar mimpiku. “Mimpimu setinggi langit. Kamu tau mimpi kakek apa, Gam?” Aku menggeleng. “Kakek ingin bisa menulis. Kakek ingin menulis surat untuk negeri kita, untuk orang Aceh. Kakek ingin orang Aceh tahu, betapa hebatnya kita. Betapa berjaya Aceh pada masa Iskandar Muda dulu. Kakek ingin orang Aceh bisa mengembalikan marwah Aceh seperti masa dulu, Gam.”
“Agam kan bisa menulis, Kek. Nanti biar Agam yang tulis surat kakek.” Kakek terdiam sejenak. Lalu mengajakku pulang. Dalam perjalanan kakek bertanya tentang cita-citaku.
“Gam, kenapa kamu ingin jadi presiden?”
“Agam tak tau, Kek. Kayaknya keren aja kalo Agam jadi presiden. Nanti Agam jadi sering muncul di TV, Kek.”
“Agam mau tak ajarin kakek menulis. Nanti kakek tulis surat untuk negeri kita dan untuk orang Aceh. Nanti saat Agam jadi presiden, sampaikanlah surat kakek ini.”
Aku mengangguk penuh semangat. Esoknya setiap sore aku dan kakek pergi ke sungai untuk mengajarinya menulis. Aku sangat bersemangat mengajari kakek, meskipun akhirnya aku sadar kalau kakek susah untuk mengikutinya. “Beginilah belajar di kala tua, Gam. Bagai menggambar di air. Langsung hilang. Makanya segede kau ini, harus betul-betul belajar.”
Aku mengangguk. “Kek, orang dulu ngak bisa menulis, tapi hebat-hebat, ya? Agam dengar dari guru di sekolah, kalau orang Aceh pernah kasih pesawat terbang buat Indonesia Kek, ya?” tanyaku pada Kakek.
“Nah, itulah uniknya orang Aceh. Mereka bisa mencapai mimpi dengan segala keterbatasan yang ada. Saat Indonesia tak punya pesawat. Acehlah yang pertama menyumbangkan pesawat untuk Indonesia,” jelas kakek penuh semangat.
“Agam juga ingin menyumbang pesawat untuk Indonesia, Kek.” Kakek hanya tertawa memperlihatkan giginya yang tinggal seberapa. Sedangkan aku hanya terdiam. Berpikir mengapa kakek menertawakan mimpiku.
Saat aku kelas dua SMP, kakek jatuh sakit. Kakek bilang tak apa-apa ketika aku menjenguknya. Mamak pun mengatakan kakek hanya mencret. Tapi, lama kelamaan mencretnya tak sembuh-sembuh, hingga harus dibawa ke rumah sakit. Aku kesepian, tak ada lagi yang mengajakku ke sungai ketika kakek sakit. Tak ada lagi yang mengajari banyak hal, tak ada lagi cerita-cerita kakek. Hingga di suatu waktu, mamak membawaku ke rumah sakit. Mamak bilang kakek ingin mengobrol denganku. Aku sangat senang. Kupikir kakek telah sembuh.
Kubuka pintu kamar dimana kakek dirawat. “Assalamualaikum, Kek. Udah sembuh kakek, ya?” tanyaku langsung ketika tiba di hadapan kakek. “Sudah. Kakek rindu bercerita denganmu, Gam.”
Aku mengangguk. Mataku berbinar. Tak sabar ingin mendengar cerita kakek. “Gam, Kakek ingin kau, kawanmu, dan semua orang Aceh menerawang kembali perjuangan pahlawan kita, perjuangan Teuku Umar, Cut Nyak Dien yang berjuang mempertahankan negeri. Kakek sudah cerita kisah Teuku Umar dan Cut Nyak Dien, kan? Kakek ingin semua orang Aceh bisa melanjutkan perjuangan mereka. Kakek ingin mereka bisa membuat rakyat Indonesia itu tahu kalau darah Iskandar Muda itu masih mengalir di setiap aliran darah kita.”
Entah kenapa air mataku menetes mendengar kakek berkata seperti itu. Apalagi suaranya yang semakin terdengar seperti bisikan. “Agam, tuliskanlah! Tuliskanlah surat mewakili kakek.” Lalu, kakek terdiam untuk selamanya.
Sekarang, masih kupandangi air sungai yang mengalir pelan. Kekeluarkan selembar kertas dari kantong celanaku. Kulihat tanggal yang tertera dan judul tulisan dalam kertas itu: “Surat untuk Nanggroe.” Air mataku mengalir. Sekarang aku telah menjadi wakil rakyat, Kakek. Tapi tak bisa kucapai citamu itu. Maafkan cucumu ini.
* Sarah, mahasiswa PBSI FKIP Unsyiah 2011.
Sumber: Serambi Indonesia, 20 Januari 2013
Kutelusuri jalan setapak di pinggir sungai, lurus ke arah utara. Di sini masih seperti hutan, masih banyak nyamuk, dan banyak suara serangga yang berbunyi “nginggg”. Terutama masih berdiri kekar pohon mulieng. Dulu, aku sering ke sini, ke utara sungai, untuk memeriksa cintra yang kupasang paginya: Apakah ada burung beurijuek yang tertangkap di cintraku ataukah tidak. Saat pulang tak lupa kukeluarkan kantong plastik hitam dari celana jeans belelku untuk menampung semua aneuk mulieng.
Aku tersenyum melihat sebuah cintra terpasang di atas pohon mulieng. Ternyata masih ada yang mengikuti jejakku dulu. Aku berpikir sekilas, apakah masih ada yang mengikuti jejak kakek, sosok yang sangat kukagumi. Masih kuingat ketika kakek berbicara penuh semangat saat kami mandi berdua di sini.
“Kakekmu ini bukan pelaku sejarah, Agam. Tapi kakek tau semua tentang sejarah Aceh ini. Kau tau? Saat wilayah Indonesia dikuasai oleh penjajah, hanya Aceh yang tidak bisa ditaklukkan.”
Aku hanya mengangguk. Waktu itu aku belum tahu sejarah Aceh yang sebenarnya. Aku juga belum belajar sejarah di sekolah. Tempat ini masih sama seperti dulu. Tenang. Jarang ada orang kampong ke sini. Kakek memang hebat dalam segala hal, hingga tahu mana tempat yang tepat untuk duduk bersantai. Bahkan tak hanya tempat ini, kakek juga sering mengajakku mengambil tanah liat untuk nenek membuat periuk di gunung. Kakek mengambil tanah liat di tempat yang orang lain tak pernah ke tempat itu.
Tiba-tiba seorang anak kecil datang. Sepertinya hendak mengambil cintranya di atas pohon. “Na mereumpok ticem, Neuk?” tanyaku padanya. Dia menggeleng.
“Hana peu hai, singoeh ta pasang klai cintra jih. Ka pasang bak bak kayee nyang raya nyan, pasti meurempok.” Saranku penuh semangat. Aku yakin, jika di pohon yang besar dipasang, pasti akan dapat. “Jeut, Abu.” Ucapnya dengan tersenyum, lalu pergi meninggalkanku.
Air sungai mengalir tenang di depanku. Suaranya seperti nyanyian pengiringku memutar kisah lama. Di tempat ini juga. Kakek pernah bertanya satu hal padaku.
“Agam bisa nulis tidak?”
“Ya bisalah, Kek. Agam kan udah sekolah kelas lima SD. Nanti Agam sekolah SMP, SMA, terus Agam kuliah biar jadi presiden, Kek.”
Kakek berdecak kagum mendengar mimpiku. “Mimpimu setinggi langit. Kamu tau mimpi kakek apa, Gam?” Aku menggeleng. “Kakek ingin bisa menulis. Kakek ingin menulis surat untuk negeri kita, untuk orang Aceh. Kakek ingin orang Aceh tahu, betapa hebatnya kita. Betapa berjaya Aceh pada masa Iskandar Muda dulu. Kakek ingin orang Aceh bisa mengembalikan marwah Aceh seperti masa dulu, Gam.”
“Agam kan bisa menulis, Kek. Nanti biar Agam yang tulis surat kakek.” Kakek terdiam sejenak. Lalu mengajakku pulang. Dalam perjalanan kakek bertanya tentang cita-citaku.
“Gam, kenapa kamu ingin jadi presiden?”
“Agam tak tau, Kek. Kayaknya keren aja kalo Agam jadi presiden. Nanti Agam jadi sering muncul di TV, Kek.”
“Agam mau tak ajarin kakek menulis. Nanti kakek tulis surat untuk negeri kita dan untuk orang Aceh. Nanti saat Agam jadi presiden, sampaikanlah surat kakek ini.”
Aku mengangguk penuh semangat. Esoknya setiap sore aku dan kakek pergi ke sungai untuk mengajarinya menulis. Aku sangat bersemangat mengajari kakek, meskipun akhirnya aku sadar kalau kakek susah untuk mengikutinya. “Beginilah belajar di kala tua, Gam. Bagai menggambar di air. Langsung hilang. Makanya segede kau ini, harus betul-betul belajar.”
Aku mengangguk. “Kek, orang dulu ngak bisa menulis, tapi hebat-hebat, ya? Agam dengar dari guru di sekolah, kalau orang Aceh pernah kasih pesawat terbang buat Indonesia Kek, ya?” tanyaku pada Kakek.
“Nah, itulah uniknya orang Aceh. Mereka bisa mencapai mimpi dengan segala keterbatasan yang ada. Saat Indonesia tak punya pesawat. Acehlah yang pertama menyumbangkan pesawat untuk Indonesia,” jelas kakek penuh semangat.
“Agam juga ingin menyumbang pesawat untuk Indonesia, Kek.” Kakek hanya tertawa memperlihatkan giginya yang tinggal seberapa. Sedangkan aku hanya terdiam. Berpikir mengapa kakek menertawakan mimpiku.
Saat aku kelas dua SMP, kakek jatuh sakit. Kakek bilang tak apa-apa ketika aku menjenguknya. Mamak pun mengatakan kakek hanya mencret. Tapi, lama kelamaan mencretnya tak sembuh-sembuh, hingga harus dibawa ke rumah sakit. Aku kesepian, tak ada lagi yang mengajakku ke sungai ketika kakek sakit. Tak ada lagi yang mengajari banyak hal, tak ada lagi cerita-cerita kakek. Hingga di suatu waktu, mamak membawaku ke rumah sakit. Mamak bilang kakek ingin mengobrol denganku. Aku sangat senang. Kupikir kakek telah sembuh.
Kubuka pintu kamar dimana kakek dirawat. “Assalamualaikum, Kek. Udah sembuh kakek, ya?” tanyaku langsung ketika tiba di hadapan kakek. “Sudah. Kakek rindu bercerita denganmu, Gam.”
Aku mengangguk. Mataku berbinar. Tak sabar ingin mendengar cerita kakek. “Gam, Kakek ingin kau, kawanmu, dan semua orang Aceh menerawang kembali perjuangan pahlawan kita, perjuangan Teuku Umar, Cut Nyak Dien yang berjuang mempertahankan negeri. Kakek sudah cerita kisah Teuku Umar dan Cut Nyak Dien, kan? Kakek ingin semua orang Aceh bisa melanjutkan perjuangan mereka. Kakek ingin mereka bisa membuat rakyat Indonesia itu tahu kalau darah Iskandar Muda itu masih mengalir di setiap aliran darah kita.”
Entah kenapa air mataku menetes mendengar kakek berkata seperti itu. Apalagi suaranya yang semakin terdengar seperti bisikan. “Agam, tuliskanlah! Tuliskanlah surat mewakili kakek.” Lalu, kakek terdiam untuk selamanya.
Sekarang, masih kupandangi air sungai yang mengalir pelan. Kekeluarkan selembar kertas dari kantong celanaku. Kulihat tanggal yang tertera dan judul tulisan dalam kertas itu: “Surat untuk Nanggroe.” Air mataku mengalir. Sekarang aku telah menjadi wakil rakyat, Kakek. Tapi tak bisa kucapai citamu itu. Maafkan cucumu ini.
* Sarah, mahasiswa PBSI FKIP Unsyiah 2011.
Sumber: Serambi Indonesia, 20 Januari 2013
EmoticonEmoticon