24 Apr 2013

Ironi Pencalonan DPR

Sebuah ironi sedang terjadi dalam sistem politik bangsa ini. Uang dan kepentingan, tanpa etika, menjadi modal utama untuk menjadi "wakil rakyat".


Seleksi calon wakil rakyat tak ubahnya seperti melamar pekerjaan. Partai politik memasang iklan mencari calon anggota legislatif. Si calon pun berdatangan mengadu nasib. Bahkan, ada calon yang sengaja mendaftar di dua parpol.

Setelah daftar calon sementara diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum, sejumlah caleg mengeluhkan mahalnya ongkos politik. Anggota DPR petahana mengeluhkan biaya menjadi caleg pada Pemilu 9 April 2014 lebih mahal. Ada yang harus menyediakan dana hingga Rp 2 miliar. Biaya itu dimaksudkan untuk membuat baliho, membayar saksi, dan biaya lainnya.

Ada juga realitas lain yang memprihatinkan. Ada anggota DPR 2009-2014 yang mundur di tengah jalan karena ingin berkonsentrasi di partai. Namun, dalam Pemilu 9 April 2014, anggota DPR yang mundur itu mencalonkan diri lagi sebagai anggota DPR 2014-2019, sementara jabatan di partai tetap digenggamnya.

Etika dan fatsun politik tak lagi jadi pegangan. Sejumlah menteri menjadi calon anggota legislatif pada Pemilu 2014. Posisi menteri tampaknya bukan lagi status politik tertinggi. Pada satu saat nanti, para menteri itu bisa menyandang jabatan rangkap sekaligus: ya eksekutif, ya legislatif! Yang diawasi maupun yang mengawasi sekaligus! Inilah ironi seleksi calon anggota parlemen di Indonesia.

Bisa dibayangkan bagaimana jalannya pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang akan berakhir pada 20 Oktober 2014 ketika sejumlah menteri turun berkampanye dalam pemilu legislatif. Bisa dibayangkan pula apa yang akan dilakukan menteri yang punya kewenangan membuat kebijakan dan kebijakannya bisa digunakan untuk mengantarkan dirinya lagi ke parlemen.

Dalam format politik inilah kita bisa membayangkan wajah DPR 2014-2019. DPR yang bakal dipenuhi kelompok pemodal atau anggota yang dikontrol pemodal. Atau mantan menteri yang berubah posisi dari eksekutif ke legislatif. Atau anggota DPR yang tersangkut masalah hukum atau pesohor. Sebenarnya masih ada waktu bagi caleg mengintrospeksi diri, apakah langkah politiknya pantas?

Fenomena ini membenarkan temuan Pramono Anung. Dalam disertasi doktornya, Pramono mengatakan, motivasi menjadi anggota DPR adalah semata-mata untuk kekuasaan dan ekonomi.

Lalu, di mana rakyat? Rakyat akan teralienasi dari wakilnya. Akibatnya, rakyat akan mencari jalan sendiri ketika aspirasinya terbungkam! Pemilu adalah hari penghukuman bagi anggota DPR maupun partai yang terbukti tidak memperjuangkan aspirasi rakyat. Saatnya pemilih menyatakan "tidak" pada partai maupun caleg yang tak punya hati dengan problematika yang dihadapi rakyat dan kemudian menjatuhkan pilihan pada partai atau sosok yang masih bisa menumbuhkan harapan pada Indonesia yang lebih baik.

(Tajuk Rencana, 24 April 2014) 

Lorem ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry.


EmoticonEmoticon