29 Apr 2013

Perempuan di Luar Garis yang Lurus

Goenawan Mohamad 
Ia hampir dilupakan. Ada yang mencatat ia lahir 21 April, ada juga yang menyebutnya 20 April. Seperti Kartini, kata-katanya, tulisannya, merupakan catatan harapan dan kepedihan perempuan Indonesia yang melawan dan terjepit. Tapi ia bukan Kartini. Penuturannya lebih kompleks, lebih intim, lebih terbuka, dan dengan latar yang lebih luas ketimbang surat-surat Habis Gelap Terbitlah Terang. 
Mungkin karena ia seorang novelis dan seorang aktivis gerakan kebangsaan: Soewarsih Djojopuspito. 
Saya beruntung mengikuti sebuah paparan tentang sastrawan ini di Serambi Salihara 9 April yang lalu oleh Aquarini Priyatna dari Universitas Padjadjaran. Dari sana saya tahu Soewarsih bukan hanya pencerita yang baik tentang tekad dan jerih seorang istri dan juga aktivis gerakan nasionalisme tahun 1930-an (dalam novel Manusia Bebas); ia juga bisa mendeskripsikan tanpa kikuk gejolak berahi perempuan dan perselingkuhannya (dalam Marjanah).
Ia memang bukan orang yang lazim. Soewarsih lahir di desa Cibatok, 20 km dari Bogor. Dalam Wikipedia disebut ia anak petani buta huruf. Tapi tentang riwayat hidup novelis ini saya banyak menggunakan bahan dari tulisan Gerard Termorshuizen, sejarawan dari Universitas Leiden, yang menemui Soewarsih pertama kali pada 1970 dan sempat menyimpan memoarnya. 
Dari bahan ini diketahui Soewarsih anak ketiga Raden Bagoes Noersaid Djojosapoetro. Ayah ini keturunan kesultanan Cirebon. Ibunya yang lemah lembut, Hatidjah, seorang perempuan Tionghoa dari keluarga kaya yang masuk Islam.
Dengan latar keluarga seperti itu, keenam anak keluarga Djojosapoetro bisa hidup tanpa beban. Di posisi sosial mereka, keluarga itu bisa mengirim anak-anaknya ke sekolah di Buitenzorg (kini Bogor). Sang ayah menyukai petualangan, pandai mendalang, dan memperlakukan anak lelaki dan perempuan setara. "Kemajuan itu di tangan wanita", katanya kepada penduduk desa Cibatok.
Soewarsih ("Cicih") dan kakaknya, Soewarni ("Nining") masuk ke Sekolah Kartini pada 1918, tingkat MULO (sekolah dasar lanjutan), empat tahun setelah sekolah itu dibuka di Bogor. Beaya sekolah ditanggung kakek mereka. Mereka tinggal di asrama sampai suatu saat ongkosnya jadi terasa terlalu mahal dan mereka terpaksa kembali ke rumah orang tua. Mereka tekun dan pintar.
Sebagaimana diceritakan Termorshuizen, setelah lulus MULO, Cicih, dengan beasiswa dari 'Dana Kartini', diterima di sekolah pendidikan guru untuk bangsa Eropa -- satu dari dua anak Indonesia yang bisa masuk di kelas yang berisi 30 murid itu. Seorang gurunya mengajarkan karya-karya Multatuli. Dan seperti para pemuda Indonesia waktu itu yang merasakan betapa tak adilnya kekuasaan kolonial, Cicih terkena efeknya. "Ketika guruku membacakan sesuatu dari Max Havelaar, aku tak lagi merasa sendirian di rumah. Hidupku menjadi bermakna lagi, dan aku tahu ke mana aku harus mengarahkan masa depanku."
Masa depan itu adalah memimpin bangsanya yang 95% buta huruf. 
Meskipun ia punya ijazah untuk mengajar di sekolah kolonial, ia memilih jadi guru dengan gaji pas-pasan di sebuah "sekolah liar" -- sekolah yang didirikan kaum nasionalis tanpa subsidi gubernemen, sekolah yang murid-muridnya memberi salam kepada bendera dan menyerukan lagu:
Lihatlah bendera kami,

Merah, Poetih, berkibar,

Dikibarkan hari ini,

Dengan hati jang riang
Di Batavia, di sekolah yang sama, ia bertemu dengan Soegondo Djojopoespito; pemuda asal Tuban inilah yang kemudian memimpin Kongres Pemuda tahun 1928 yang bersejarah itu. Mereka menikah, tanpa perundingan dengan orang tua, dengan keadaan nafkah yang berat berlarat-larat.
Juga dalam keadaan politik yang makin represif. Tahun-tahun itu, sehabis pemberontakan kaum komunis di Banten 1926, baik pemerintah maupun masyarakat Belanda jadi beringas. Kaum pergerakan ditangkapi, atau setidaknya diawasi terus menerus. Guru-guru "sekolah liar" harus siap: sewaktu-waktu mereka bisa didatangi polisi dan dilarang mengajar. 
Soegondo dan Soewarsih hidup dari kota ke kota, ke Purwakarta, Bandung, Semarang, dan -- setelah gagal di Semarang -- ke Bandung lagi, 1937. Soewarsih kehilangan pekerjaan.
Pengalaman yang tak tenteram di antara tahun 1933-37 itulah yang kemudian ia tuliskan dalam Manusia Bebas. Atau lebih tepat, dalam versi pertamanya, dalam bahasa Belanda, Buiten het Gareel ("Di Luar Kekang").
Dengan catatan: itu sebenarnya bukan novel pertamanya. Soewarsih pernah menulis sebuah novel berbahasa Sunda, tentang seorang perempuan muda yang tak bahagia dalam pernikahannya. Ia kirim naskahnya ke Balai Poestaka. Tapi ditolak. Balai Poestaka, yang didirikan pemerintah kolonial, menganggap karya itu tak cukup "mendidik".
***

Ketika kemudian Soewarsih menulis Buiten het Gareel, ia tak bermaksud "mendidik". 
Karya ini tak bisa dipisahkan dari E. du Perron. Sastrawan Belanda ini, yang lahir di Jatinegara pada 1899, mengunjungi tanah kelahirannya ketika umurnya 39. Selama sekitar setahun tinggal di Indonesia, penyair-penulis yang sudah terkenal dengan sebuah novel semi otobiografis Het land van herkomst ("Negeri Asal Usul") itu bergaul akrab dengan kalangan intelektual Indonesia dan Belanda yang progresif. Ia ikut jadi redaksi Kritiek en Opbouw, sebuah berkala anti-kolonial yang didirikan di Bandung oleh seorang sosialis-demokrat, D.M.G. Koch, di tahun 1938 itu. Ketika Syahrir hidup di pembuangan, Du Perron menulis surat kepadanya, menyatakan betapa ia, yang berdarah campuran, merasa diterima dengan pas ketika berada di tengah orang Indonesia.
Di situlah Du Perron berkenalan dengan Soewarsih dan Soegondo.
Ia mendorong Soewarsih menulis dalam bahasa Belanda. Ia kemudian membawa naskahnya ketika ia kembali ke Nederland untuk diterbitkan di Utrecht pada 1940. Dengan itu Du Perron membukikan harapannya: dalam bahasa Belanda, Soewarsih bisa membayangkan sedang bicara kepada pembaca yang asing, yang tak membuatnya rikuh bila menyebutkan hal-hal yang dirasa aib atau menyinggung perasaan. Novelnya berbicara akrab, jujur, bisa ironis, tak dibebani pesan-pesan.
Bisa diduga penulis Het land van herkomst itu memperkenalkan Soewarsih dengan pelbagai nuansa sebuah novel semi otobiografis. Agaknya ia juga memperkenalkannya dengan semangat modernisme: semangat yang membebaskan sastra bukan saja dari konvensi, tapi juga dari tujuan apapun yang dipatok ditetapkan.
Dengan demikian, dengan Du Perron, kalangan Kritiek en Opbouw praktis berseberangan dengan kalangan Poedjangga Baroe yang dipimpin S. Takdir Alisyahbana. 
Dalam sebuah nomor Poedjangga Baroe Takdir pernah menyerang pandangan Soejitno Mangoenkoesoemo, salah seorang teman Du Perron dan Soewarsih. Ditegaskannya kepada Soejitno ("Mas Jit") perlunya kesadaran akan "tanggungjawab" sosial seorang penulis -- yang dalam polemiknya yang lain ia sebut sebagai kesadaran akan tugas dalam "reconstructie arbeid", kerja pembangunan.
Tapi bagi Du Perron, suara macam Takdir adalah suara "sastra serdadu" yang berbaris berderap mencapai sasaran. 
Itu memang yang tampak, setidaknya bagi saya, dalam novel macam Layar Terkembang. 
Karya Takdir yang terbit tahun 1937 ini berbicara tentang dua perempuan muda terpelajar dengan semangat untuk bebas dan maju. Tapi dengan segera terasa, Maria dan Tuti hadir sebagai dua sosok yang "emblematik". Perempuan dalam Layar Terkembang adalah sebuah ide, perwujudan tipe yang sudah disiapkan, bukan jiwa-raga yang hidup dan sebab itu kompleks dan tak selalu terduga. Novel ini diarahkan untuk jadi personifikasi gagasan-gagasan.
Lain halnya Buiten het Gareel. Du Perron melihat, berbeda dari karya sastra yang mengambil tema utama zaman itu -- perjuangan nasional, emansipasi perempuan -- novel Soewarsih menggeluti hal-hal itu sebagai "pertanyaan-pertanyaan kehidupan". Dalam kata pengantarnya untuk Buiten het Gareel, Du Perron menunjukkan bahwa "elemen politik" dalam novel itu sesuatu yang aksidental (bijkomstig). Elemen itu ada hanya karena dalam diri siapapun penulis Indonesia di masa Soewarsih, intensnya kesadaran politik "tak bisa dihindarkan."
Dengan kata lain, novel Soewarsih membuktikan, kesusastraan bukanlah bangunan ide yang mengarah. Kesusastraan adalah imajinasi yang berangkat dari dan di dalam pengalaman antar manusia.
Itu pula yang agaknya dilihat C.W. Watson, penelaah sastra Indonesia dan gurubesar emeritus antropologi sosial dari University of Kent (kini mengajar di ITB), dalam analisanya tentang Buiten het Gareel. Novel ini, tulis Watson, memang menggambarkan kekuasaan kolonial dan dampaknya yang menekan. Tapi ia bukan sebuah teks dokumenter. Di atas segalanya, ini novel tentang "utamanya hubungan-hubungan antar personal". --meskipun kita paham bahwa hubungan-hubungan itu selalu dikonstruksi dalam konteks sebuah pergulatan politik mengenai nilai-nilai, "the context of a politics of culture".
Itu sebabnya tokoh-tokoh dalam novel Soewarsih ini orang-orang yang tetap unik di tengah sejarah yang menerpa siapa saja. Unik, artinya tak bisa diulangi. Soewarsih tak menulis sebuah novel sejarah; ia tak berlaku sebagai seorang bapak yang hendak mewariskan sesuatu kepada generasi anaknya. Seperti dikemukakan kembali oleh Aquarini Priyatna, dengan mengutip Manusia Bebas (versi Indonesia Buiten het Gareel yang terbit tahun 1959), Suwarsih mendokumentasikan hidupnya dengan menuliskan "hal-hal yang sepele dan cetek-cetek". 
Tapi dengan yang sepele itu ia mengenal ironi. Ia mengenal kebebasan. Bila dengan itu ia berbicara tentang dan sebagai perempuan, karena dalam novelnya perempuan bukan sebagai sebuah ide besar, bukan sebagai sebuah tujuan yang jauh tinggi. Perempuan adalah yang dengan akrab selalu disentuhnya, menyentuhnya.
Sumber: Tempo Minggu, 21 April 2013 

Lorem ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry.


EmoticonEmoticon