News Desa - Tertangkapnya adik Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Tubagus Chaery Wardana alias Wawan, karena diduga menyuap Ketua Mahkamah Konstitusi (nonaktif) Akil Mochtar dalam kasus sengketa Pilkada Lebak, telah menimbulkan debat hangat soal praktik politik dinasti dan dinasti politik. Dinasti politik Ratu Atut disorot tajam karena dianggap melanggengkan kembali praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang telah digusur oleh reformasi. Ratu Atut sendiri telah diperiksa oleh KPK terkait kasus suap Akil.
Namun, terlepas dari kasus hukum yang tengah dihadapi salah satu kerabat gubernur Banten itu, kita sebaiknya jangan cepat menjatuhkan palu godam bahwa itu adalah khas dinasti politik Ratu Atut. Sejujurnya, politik dinasti dan dinasti politik bukan hanya fenomena Ratu Atut di Banten. Praktik politik yang kental dengan sistem kekerabatan (kroniisme dan nepotisme), adalah fenomena umum Indonesia sejak pemilihan umum kepala daerah (pilkada) langsung mulai digelar pada 2005. Anak dan istri yang menggantikan ayah dan suami mereka untuk memimpin daerah sejak lama sudah menjadi cerita umum.
Kementerian Dalam Negeri bahkan telah mencatat setidaknya ada 57 pergantian kepala daerah petahana, yang berputar hanya dalam satu garis keturunan: dari suami ke istri, ayah ke anak, kakak ke adik atau keponakan, dan seterusnya. Atau, jika sang kakak atau suami berada pada posisi sebagai gubernur, sang adik atau keponakan yang bertarung dalam pemilihan bupati akan dengan mudah meraih jabatan tersebut. Hampir di semua ajang pilkada, bila suami sudah menyelesaikan masa tugasnya sebagai kepala daerah, maka sang istri seolah-olah "terpanggil" ikut meneruskan jejak kepemimpinan keluarga dalam politik.
Sebut saja contoh keluarga Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo (SYL). Ichsan Yasin Limpo, yang kini Bupati Gowa adalah adik kandung sang gubernur. Di Sulawesi Utara, ada Wakil Bupati Minahasa Ivan SJ Sarundajang yang adalah putra Gubernur Sulut Sinyo Harry Sarundajang. Wali Kota Padang Sidempuan, Sumatera Utara, Andar Amin Harahap adalah anak Bupati Padang Lawas Bachrum Harahap. Masih ada sederetan panjang daftar pimpinan daerah yang berganti kedudukan karena pola kekerabatan yang begitu kental.
Itu pada lingkaran kekuasan eksekutif. Pada lingkaran kekuasaan legislatif, praktik yang sama juga marak terjadi. Adalah hal umum bahwa ayah yang gubernur atau bupati bisa dengan bersemangat mendorong sang istri atau putra-putrinya untuk bertarung dan merebut kursi di DPR atau DPRD.
Tapi, di manakah letak persoalan sesungguhnya dan mengapa hal itu sampai terjadi? Itulah dampak samping dari reformasi politik yang tak diimbangi oleh reformasi hukum dan perundang-undangan. Reformasi bidang politik bergerak begitu cepat seperti meteor, tapi sebaliknya, reformasi bidang hukum dan perundang-undangan berjalan lamban seperti siput.
Hukum sangat lemah, tidak hanya dilihat dari sisi produk, tapi juga pengawasannya di lapangan. Dari sisi produk, tak sedikit undang-undang yang dihasilkan pemerintah dan DPR harus diuji-materikan di Mahkamah Konsitusi hanya karena sejumlah pasalnya tak sinkron atau bahkan bertentangan dengan isi konstitusi. Begitu pula banyak UU yang dihasilkan ternyata isinya bertentangan antara satu dengan lain.
Produk hukum dan perundang-undangan yang lemah ini dimanfaatkan secara cerdas oleh mereka yang memang sudah punya syahwat kekuasaan yang besar. Kelemahan hukum di satu sisi dan kebebasan berpolitik yang begitu luas di sisi lain, juga menjadi celah yang dimanfaatkan dengan amat baik oleh para aktor politik yang memiliki segala akses untuk meraih uang dan menggapai kekuasaan. Lahirlah kemudian praktik politik dinasti yang--dengan jaringannya yang kuat--menjalani politik balas budi, politik uang, dan politik melanggengkan kekuasaan.
Sialnya, dari situlah lahirlah praktik-praktik politik yang sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Lihatlah dinasti politik Ratu Atut di Banten dan dinasti-dinasti politik lainnya di Indonesia. Dengan banyak uang di tangan, mereka bisa dengan mudah membeli kekuasaan dengan memanipulasi suara.
Demi sehatnya kehidupan berbangsa dan bernegara, dan demi lahirnya pemimpin negara dan daerah yang berintegritas, praktik-praktik seperti itu harus segera dihentikan. Itu semua harus dimulai dengan mengubah dan menyehatkan produk hukum dan perundang-undangan. Produk hukumlah yang harus mendorong dan memastikan bahwa kekuasaan tidak boleh dibangun atas dasar hubungan kekerabatan, tapi didasarkan pada kualifikasi yang dimiliki seseorang, yakni kompetensi, kapabilitas, integritas, dan moralitas yang dimilikinya.
Sosok-sosok pemimpin daerah berkualitas sepert itu hanya bisa dihasilkan melalui pilkada yang bebas, jujur, adil, bersih, serta diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang bebas dari kepentingan politik dan uang. Sekali lagi, ini hanya bisa tercipta melalui penguatan produk hukum disertai penegakan dan pelaksanaannya yang ketat di lapangan.
Sumber: beritasatu.com
Namun, terlepas dari kasus hukum yang tengah dihadapi salah satu kerabat gubernur Banten itu, kita sebaiknya jangan cepat menjatuhkan palu godam bahwa itu adalah khas dinasti politik Ratu Atut. Sejujurnya, politik dinasti dan dinasti politik bukan hanya fenomena Ratu Atut di Banten. Praktik politik yang kental dengan sistem kekerabatan (kroniisme dan nepotisme), adalah fenomena umum Indonesia sejak pemilihan umum kepala daerah (pilkada) langsung mulai digelar pada 2005. Anak dan istri yang menggantikan ayah dan suami mereka untuk memimpin daerah sejak lama sudah menjadi cerita umum.
Kementerian Dalam Negeri bahkan telah mencatat setidaknya ada 57 pergantian kepala daerah petahana, yang berputar hanya dalam satu garis keturunan: dari suami ke istri, ayah ke anak, kakak ke adik atau keponakan, dan seterusnya. Atau, jika sang kakak atau suami berada pada posisi sebagai gubernur, sang adik atau keponakan yang bertarung dalam pemilihan bupati akan dengan mudah meraih jabatan tersebut. Hampir di semua ajang pilkada, bila suami sudah menyelesaikan masa tugasnya sebagai kepala daerah, maka sang istri seolah-olah "terpanggil" ikut meneruskan jejak kepemimpinan keluarga dalam politik.
Sebut saja contoh keluarga Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo (SYL). Ichsan Yasin Limpo, yang kini Bupati Gowa adalah adik kandung sang gubernur. Di Sulawesi Utara, ada Wakil Bupati Minahasa Ivan SJ Sarundajang yang adalah putra Gubernur Sulut Sinyo Harry Sarundajang. Wali Kota Padang Sidempuan, Sumatera Utara, Andar Amin Harahap adalah anak Bupati Padang Lawas Bachrum Harahap. Masih ada sederetan panjang daftar pimpinan daerah yang berganti kedudukan karena pola kekerabatan yang begitu kental.
Itu pada lingkaran kekuasan eksekutif. Pada lingkaran kekuasaan legislatif, praktik yang sama juga marak terjadi. Adalah hal umum bahwa ayah yang gubernur atau bupati bisa dengan bersemangat mendorong sang istri atau putra-putrinya untuk bertarung dan merebut kursi di DPR atau DPRD.
Tapi, di manakah letak persoalan sesungguhnya dan mengapa hal itu sampai terjadi? Itulah dampak samping dari reformasi politik yang tak diimbangi oleh reformasi hukum dan perundang-undangan. Reformasi bidang politik bergerak begitu cepat seperti meteor, tapi sebaliknya, reformasi bidang hukum dan perundang-undangan berjalan lamban seperti siput.
Hukum sangat lemah, tidak hanya dilihat dari sisi produk, tapi juga pengawasannya di lapangan. Dari sisi produk, tak sedikit undang-undang yang dihasilkan pemerintah dan DPR harus diuji-materikan di Mahkamah Konsitusi hanya karena sejumlah pasalnya tak sinkron atau bahkan bertentangan dengan isi konstitusi. Begitu pula banyak UU yang dihasilkan ternyata isinya bertentangan antara satu dengan lain.
Produk hukum dan perundang-undangan yang lemah ini dimanfaatkan secara cerdas oleh mereka yang memang sudah punya syahwat kekuasaan yang besar. Kelemahan hukum di satu sisi dan kebebasan berpolitik yang begitu luas di sisi lain, juga menjadi celah yang dimanfaatkan dengan amat baik oleh para aktor politik yang memiliki segala akses untuk meraih uang dan menggapai kekuasaan. Lahirlah kemudian praktik politik dinasti yang--dengan jaringannya yang kuat--menjalani politik balas budi, politik uang, dan politik melanggengkan kekuasaan.
Sialnya, dari situlah lahirlah praktik-praktik politik yang sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Lihatlah dinasti politik Ratu Atut di Banten dan dinasti-dinasti politik lainnya di Indonesia. Dengan banyak uang di tangan, mereka bisa dengan mudah membeli kekuasaan dengan memanipulasi suara.
Demi sehatnya kehidupan berbangsa dan bernegara, dan demi lahirnya pemimpin negara dan daerah yang berintegritas, praktik-praktik seperti itu harus segera dihentikan. Itu semua harus dimulai dengan mengubah dan menyehatkan produk hukum dan perundang-undangan. Produk hukumlah yang harus mendorong dan memastikan bahwa kekuasaan tidak boleh dibangun atas dasar hubungan kekerabatan, tapi didasarkan pada kualifikasi yang dimiliki seseorang, yakni kompetensi, kapabilitas, integritas, dan moralitas yang dimilikinya.
Sosok-sosok pemimpin daerah berkualitas sepert itu hanya bisa dihasilkan melalui pilkada yang bebas, jujur, adil, bersih, serta diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang bebas dari kepentingan politik dan uang. Sekali lagi, ini hanya bisa tercipta melalui penguatan produk hukum disertai penegakan dan pelaksanaannya yang ketat di lapangan.
Sumber: beritasatu.com
EmoticonEmoticon