25 Nov 2013

Enam Abad Dinar Dirham Nusantara, Dimulai dari Kerajaan Pasai (Aceh)

Sebagian besar dari kita mungkin tak pernah tahu kalau Dinar dan Dirham pernah dibuat dan berlaku di Indonesia sebagai mata uang resmi.

Ya, sejak abad ke-14 nenek moyang kita telah akrab dengan kedua jenis mata uang ini. Dinar dan Dirham pernah mendominasi pasar-pasar di sebagian besar Nusantara, antara lain di Pasai, Malaka, Banten, Cirebon, Demak, Tuban, Gresik, Gowa, dan Kepulauan Maluku.

Dalam buku Ying Yai Sheng Lan karya Ma Huan, sang juru tulis dan penterjemah Laksamana Muslim Cheng Ho dari Cina saat muhibah ke Sumatera Utara (1405 - 1433), disebutkan bahwa mata uang Samudera Pasai adalah Dinar emas dengan kadar 70 persen dan mata uang keueh dari timah (1 Dinar = 1.600 keueh). Pasai telah mencetak Dinar pertamanya pada masa Sultan Muhammad (1297-1326) dengan satuan mas yang sepadan dengan 40 grains atau 2,6 gram.

Pada masa Sultan Ahmad Malik Az-Zahir koin Dinar lebih dikenal sebagai Derham mas, dicetak dalam dua pecahan yaitu Derham dan setengah Derham (1346-1383). Setelah Aceh menaklukkan Pasai (1524) tradisi mencetak Derham mas menyebar ke seluruh Sumatera, bahkan semenanjung Malaka. Derham ini tetap berlaku sampai bala tentara Nippon mendarat di Seulilmeum, Aceh Besar pada tahun 1942. Sampai hari inipun di Sumatera Barat masih dijumpai pemakaian satuan mas (1 mas = 2,5 gram) sebagai unit jual beli, terutama untuk tanah.

Dinar juga dibuat oleh kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan, pertama kali pada tahun 1595, pada masa Sultan Alaudin Awwalul Islam (1593-1639) dengan Dinar seberat 2,46 gram emas. Dinar Gowa yang paling banyak beredar adalah Dinar Sultan Hasan Al-din yang bertuliskan huruf Arab: Khada Allah Malik Wa Sultan Amin artinya Pejuang Allah Kerajaan Sultan Amin. Yang menyebar dari Ternate, Tidore, Minahasa, Butung, Sumbawa, Gowa Talo, bahkan Papua. Koin ini beredar dari tahun 1654-1902. Saat ini, seperti di Sumbar, tradisi jual beli dengan satuan mas juga masih berlaku di Sulawesi Selatan.

Di Jawa Dinar dan Dirham dicetak oleh Kesultanan Mataram pada tahun 1600-an, kemudian oleh VOC sejak tahun 1744 di percetakan uang Batavia yang di desain oleh Theodorus Justinus Rheen. Berdasarkan perjanjian VOC-Mataram, Dinar dicetak seberat 16 gram emas dengan kadar 75 persen dan dinamakan Mahar, sedang Dirham dicetak seberat 6,575 gr dan, dalam sebutan rupiah, dicetak seberat 13,15 gr. Dirham dan rupiah terbuat dari perak dengan kadar 79 persen.

Ini yang menarik: pada kedua sisi koin tercetak Derham min Kumpani Welandawi dan Ila djazirat Djawa al kabir yang ditulis dengan huruf arab, yang artinya Dirham dari Perusahaan Belanda untuk pulau Jawa Besar. Adapun uang recehan VOC dinamakan doit Jawa (Duit VOC). Setiap 80 duit sama dengan 1 Rupiah (setara 2 Dirham). Lalu tiap 16 Rupiah disebut sebagai satu mahar. Selain itu di Jawa juga dibuat pula derham Inggris (1813-1816) dengan tulisan Jawa kuno: Kempni Hinglis, Jasa hing sura-Pringga. Di baliknya tertulis dengan huruf Arab Melayu: Hinglis, sikkah kompani, sannah AH 1229 dhuriba, dar dhazirat Djawa di desain oleh Johan Anthonie Zwekkert.

Kedua jenis Derham kompeni ini baik buatan VOC maupun EIC beredar sampai tahun 1860, yaitu setelah berdirinya De Javasche Bank di Batavia pada tanggal 10 Oktober 1827, ketika Pemerintah Hindia Belanda telah mengimpor Gulden secara besar-besaran dari Eropa. Artinya pihak penjajah pun mengakui dan memproduksi Dinar dan Dirham sebagai mata uang yang sah selama 116 tahun, sementara Gulden sendiri baru dibuat oleh penjajah Hindia Belanda setelah tahun 1826 di Negeri Belanda. Jadi, sejak berdirinya VOC, Gulden kalah bersaing melawan real Mexico dan Derham Nusantara.

Setelah perang Jawa atau perang Diponegoro (Mei 1825-Maret 1830), kondisi keuangan pemerintah Hindia Belanda morat marit. Perang ini menelan biaya lebih dari 20 juta Gulden atau setara 40 juta Derham Jawa. Guna memulihkan keuangannya, penjajah ini menarik seluruh Derham kompeni, namun penduduk pribumi enggan menukar Derham mereka dengan uang kertas berjamin tembaga (kopergeld), sehingga masa penukaranpun menjadi molor selama 28 tahun (1832-1860)!. Upaya lainnya dari VOC untuk mengisi kekurangan Kas Negara adalah diterapkannya sistem tanam paksa (Cultur Stelsel) oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch selama kurun 1863-1919.

Pada tahun 1873, Hindia Belanda mulai melakukan misi penaklukan Aceh, dan terjadilah perang panjang yang terkenal dengan nama Perang Aceh, Prang Gompeuni, Prang Sabi dan Prang Kaphe (1873-1942). Belanda belum dapat menguasai Aceh sepenuhnya. Secara de jure gulden adalah satu-satunya mata uang yang sah. Tapi secara de facto Derham mas Aceh adalah satu-satunya mata uang yang dapat diterima oleh penduduk Aceh, bahkan berlaku pula di Sumatera Barat dan Deli!

Selanjutnya, ketika berkuasa, pemerintah Dai Nippon terpaksa menerapkan lebih tegas UU No. 2 tanggal 8 Maret 2602 (tahun Jepang Kooki atau tahun 1942) tentang mata uang. Semua mata uang dengan digantikan oleh uang kertas Dai Nippon! Ketika Indonesia merdeka, pada tanggal 26 Oktober 1946, Presiden Sukarno dan Menkeu Sjafroedin Prawiranegara menerbitkan UU No. 19 tentang penerbitan ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) dengan dasar 10 rupiah = 5 gr emas murni.

Rakyat menyambut antusias atas terbitnya rupiah republik ini. Sebuah harapan besar akan masa depan yang cerah. Meski kakek nenek kita harus rela dijatah hanya boleh memegang 50 rupiah setiap keluarga, untuk kemudian rupiah Jepang dimusnahkan oleh Pemerintah. Tetapi pada prakteknya dasar hukum UU No. 19 tersebut telah dilanggar sendiri oleh Pemerintah kita sehingga kita mendapati rupiah seperti sekarang ini. Tak ada jaminan emasny alagi. Dan harga emas, pada pertengahan tahun 2009, ini bukan lagi Rp 2/gram, tetapi di atas Rp 320.000/gram, yang artinya nilai rupiah kita dibuat merosot lebih dari 160.000 lebih rendah!

Jelas Dinar-Dirham pernah berjaya selama lebih dari 600 tahun (1302-1942), tak hanya di Aceh dan sebagian Sumatera tetapi juga di Sulawesi Selatan dan sebagian daerah di Jawa Timur. Maka, peredaran kembali Dinar Dirham di wilayah Indonesia sekarang ini, bukanlah sesuatu yang asing dan aneh.

*Sofyan Al Jawi Numismatis dan penulis buku Kemilau Investasi Dinar Dirham
[Sumber: Walaka Nusantara]

Lorem ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry.


EmoticonEmoticon