Bupati Rina Iriani Sri Ratnaningsih belum tentu dihukum berat. Kalaupun masuk penjara, Bupati Karanganyar, Jawa Tengah, ini mungkin akan tetap kaya. Begitu pula Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany dan Gubernur Banten Atut Chosiyah. Mereka belum tentu masuk bui. Tapi satu hal hampir pasti: mereka telah mengubah persepsi publik terhadap politik.
Itulah yang perlu diatasi kalangan partai politik. Masyarakat semakin kecewa terhadap hasil demokratisasi dan desentralisasi. Sebagian besar kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat tak mampu membenahi kabupaten, kota, atau provinsinya. Selama era otonomi daerah, sebanyak 309 kepala daerah malah berurusan dengan hukum-umumnya tersangkut kasus korupsi.
Bupati Rina termasuk dalam deretan kepala daerah yang bermasalah. Belum lama ini, ia ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. Rina terjerat kasus penyelewengan subsidi perumahan yang diberikan oleh Kementerian Perumahan Rakyat pada 2007-2008. Dari total Rp 35 miliar dana subsidi untuk wilayah Karanganyar, lebih dari Rp 18 miliar bocor.
Sebagian dana itu diduga diselewengkan lewat Koperasi Sejahtera. Suami Rina, Tony Iwan Haryono, menjadi ketua dewan pengawas koperasi ini. Dua pengurus koperasi dan Tony telah dinyatakan bersalah di pengadilan awal tahun ini. Nah, kini giliran Bupati Rina diusut. Kader PDIP ini dituduh merekomendasikan koperasi tersebut dan mendapat aliran duit.
Kisah Rina mirip Airin. Wali Kota Tangerang Selatan ini bisa bernasib sama bila Komisi Pemberantasan Korupsi terus membongkar kasus korupsi suaminya, Tubagus Chaeri Wardana. Sang suami kini menjadi tersangka suap sengketa pilkada dan korupsi pengadaan alat kesehatan. Seperti suami Rina, Chaeri pun tidak memiliki jabatan publik. Penyalahgunaan wewenang yang berbuah korupsi hanya mungkin dilakukan oleh Wali Kota Airin, atau kakaknya, Gubernur Atut-keduanya diorbitkan oleh Golkar.
Kalangan partai politik semestinya berintrospeksi. Merekalah yang menggodok calon kepala daerah dan kemudian menyodorkannya kepada masyarakat. Publik pun gampang terkecoh oleh sosok yang menarik dan populer. Pemimpin pilihan itu ternyata tidak bisa menyelesaikan persoalan daerah, melainkan malah menjadi bagian dari masalah.
Masyarakat hanya bisa memprotes, antara lain, dengan cara tidak mencoblos saat pilkada. Inilah yang mungkin juga menjelaskan kenapa angka golput di sejumlah pilkada meningkat tajam. Fenomena ini juga bisa merembet ke pemilu legislatif dan pemilihan presiden 2014. Apalagi politik nasional mengalami problem yang sama.
Pragmatisme dalam politik mesti diakhiri. Politik seharusnya tidak dipahami sebagai mekanisme "membeli" kekuasaan, lalu menggunakannya untuk menumpuk harta lebih besar. Simplifikasi ini membuat siapa pun-termasuk Bupati Rina-mudah terperosok. [Tempo.co]
Itulah yang perlu diatasi kalangan partai politik. Masyarakat semakin kecewa terhadap hasil demokratisasi dan desentralisasi. Sebagian besar kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat tak mampu membenahi kabupaten, kota, atau provinsinya. Selama era otonomi daerah, sebanyak 309 kepala daerah malah berurusan dengan hukum-umumnya tersangkut kasus korupsi.
Bupati Rina termasuk dalam deretan kepala daerah yang bermasalah. Belum lama ini, ia ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. Rina terjerat kasus penyelewengan subsidi perumahan yang diberikan oleh Kementerian Perumahan Rakyat pada 2007-2008. Dari total Rp 35 miliar dana subsidi untuk wilayah Karanganyar, lebih dari Rp 18 miliar bocor.
Sebagian dana itu diduga diselewengkan lewat Koperasi Sejahtera. Suami Rina, Tony Iwan Haryono, menjadi ketua dewan pengawas koperasi ini. Dua pengurus koperasi dan Tony telah dinyatakan bersalah di pengadilan awal tahun ini. Nah, kini giliran Bupati Rina diusut. Kader PDIP ini dituduh merekomendasikan koperasi tersebut dan mendapat aliran duit.
Kisah Rina mirip Airin. Wali Kota Tangerang Selatan ini bisa bernasib sama bila Komisi Pemberantasan Korupsi terus membongkar kasus korupsi suaminya, Tubagus Chaeri Wardana. Sang suami kini menjadi tersangka suap sengketa pilkada dan korupsi pengadaan alat kesehatan. Seperti suami Rina, Chaeri pun tidak memiliki jabatan publik. Penyalahgunaan wewenang yang berbuah korupsi hanya mungkin dilakukan oleh Wali Kota Airin, atau kakaknya, Gubernur Atut-keduanya diorbitkan oleh Golkar.
Kalangan partai politik semestinya berintrospeksi. Merekalah yang menggodok calon kepala daerah dan kemudian menyodorkannya kepada masyarakat. Publik pun gampang terkecoh oleh sosok yang menarik dan populer. Pemimpin pilihan itu ternyata tidak bisa menyelesaikan persoalan daerah, melainkan malah menjadi bagian dari masalah.
Masyarakat hanya bisa memprotes, antara lain, dengan cara tidak mencoblos saat pilkada. Inilah yang mungkin juga menjelaskan kenapa angka golput di sejumlah pilkada meningkat tajam. Fenomena ini juga bisa merembet ke pemilu legislatif dan pemilihan presiden 2014. Apalagi politik nasional mengalami problem yang sama.
Pragmatisme dalam politik mesti diakhiri. Politik seharusnya tidak dipahami sebagai mekanisme "membeli" kekuasaan, lalu menggunakannya untuk menumpuk harta lebih besar. Simplifikasi ini membuat siapa pun-termasuk Bupati Rina-mudah terperosok. [Tempo.co]
EmoticonEmoticon