11 Des 2013

Nelson Mandela dan Shaikh Mathura ( Yusril Ihza Mahendra )

Ilustrasi
Saya ingin mengenang tentang Nelson Mandela yang telah wafat. 

Saya tidak ingat persis tahun berapa. Waktu itu saya sudah di Sekretariat Negara. Mensesnegnya almarhum Pak Moerdiono. Nelson Mandela baru saja dibebaskan dari penjara regim apartheid Afrika Selatan. 

Beliau berkunjung ke Jakarta. Pemerintah RI sangat menghormati Mandela dan mendukung perjuangannya menghapus apartheid di Afrika Selatan. Dia datang untuk minta dukungan dalam posisinya sebagai Ketua African National Congress (ANC), sebuah partai politik di Afrika Selatan. Namun Presiden Suharto menerimanya Mandela seperti dia layaknya menerima seorang kepala pemerintahan. Mandela diterima dengan perlakuan yang sama terhadap Yasser Arafat, Ketua Fatah, Harakat alTtahrīr al-Watanī al-Filastīnī, organisasi pejuang kemerdekaan Palestina.

Dalam pembicaraan dengan Presiden Suharto, Mandela bukan hanya minta dukungan politik, tetapi juga dukungan finansial untuk perjuangannya. Saya ingat waktu itu, Pak Harto membantu uang tunai USD 250 ribu kepada Mandela. Bantuan itu diserahkan pribadi kepada pribadi Mandela. Saya ingat Pak Moediono katakan waktu itu, “Gimana ya caranya kita mau bantu. Pemerintah kan tidak bisa kasih uang ke partai di negara lain!”

Saya ingat peristiwa itu mirip ketika Perdana Menteri Natsir menerima Ben Bella, pejuang Aljazair yang datang ke Jakarta tahun 1950. Ben Bella juga meminta dukungan politik dan finansial. Pemerintah RI memberikan emas beberapa kilogram kepada Ben Bella. Itu cerita Mohammad Natsir kepada saya. Pak Natsir bilang, beliau beli emas di Jalan Kenanga, Senen, untuk diberikan kepada Ben Bella.

Suatu hari saya pergi ke Afrika Selatan sebagai Menteri Kehakiman RI. Saya menghadiri Konvensi PBB di sana. Saya bertemu Mandela, Yasser Arafat dan Fidel Castro di Johannesburg. Mandela mengatakan kepada saya tentang sebuah kuburan di Robin Island, tempat dia pernah dipenjarakan, yang menjadi misteri baginya.

Dalam sebuah kesempatan di kunjungan kedua saya ke Afsel, saya menyempatkan diri datang ke Robin Island di lepas pantai Capetown di Pulau Robin. Di sana  rupanya ada sebuah penjara yang berdiri sejak Belanda menguasai Afrika Selatan abad 16. Di Pulau Robin itulah Mandela dipenjara selama 29 tahun oleh regim apartheid.

Begitu saya mendarat di pulau Robin, persis di depan gerbang penjara ada sebuah kuburan yang dikeramatkan oleh kaum Muslimin di sana. Saya pun datang ke kuburan keramat yang ada mushollanya itu untuk sholat ashar. Beberapa jemaah tertarik melihat saya datang ke kuburan itu, yang banyak sekali asap dupanya.

Seorang jemaah bertanya pada saya apakah saya orang Indonesia. Saya jawab, “Ya!” Dia mengatakan bahwa dia keturunan Melayu. Orang itu mengatakan bahwa ketika Mandela dibebaskan dari penjara, dia mampir ke kuburan keramat itu. Mandela berkata, “Apalah artinya saya dipenjara di pulau ini selama 29 tahun, dibanding orang ini, sambil menunjuk ke kubur keramat itu!”

“Orang ini!” kata Mandela, “saya tidak tahu dari mana asalnya. Nampaknya dia seorang pejuang di negerinya sehingga dia begitu dihormati.” 

“Orang ini,” kata Mandela, “dipenjarakan penjajah sampai dia mati di pulau ini. Dia tak pernah pulang ke negerinya.”

Saya tertegun mendengar cerita orang itu, dan saya pun masuk ke makam keramat itu setelah solat di mushollanya. Di dinding makam itu ada tulisan berbagai bahasa. Saya baca tulisan berbahasa Inggris. Tulisannya mengatakan “The grave of Shaikh Mathura, the first man who reading the Holy Qur’an in South Africa.” Saya pun bertanya, “Siapa itu Shaikh Mathura?”. Orang itu menjawab, “Nampaknya dia berasal dari negara Anda, sama seperti Syeikh Yusuf.”

Saya akhirnya membaca beberapa literatur di Capetown dan akhirnya tahu bahwa Shaikh Mathura adalah Cakraningrat IV (1718-1746) dari Bangkalan, Madura. Dia seorang pangeran di Madura yang melawan Belanda, lalu ditangkap dan dibuang ke Afrika Selatan sampai akhir hayatnya. Barulah saya sadar bahwa orang yang kuburannya dikeramatkan orang di Pulau Robin adalah Cakraningrat IV dari Madura.

Ketika saya jadi Mensesneg saya perintahkan Sekertaris Militer Kepresidenan untuk berkoordinasi menelaah riwayat perjuangan Cakraningrat IV. Saya katakan, “Kalau cukup alasan, maka Presiden seyogianya memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Cakraningrat IV”.

Kalau Syekh Yusuf al-Makassari sudah diberi gelar Pahlawan Nasional oleh Pak Harto. Saya pernah dua kali ziarahi makam Syeikh Yusuf di kota yang namanya Makassar di Afrika Selatan. Namun sampai saya diberhentikan sebagai Mensesneg, kajian sejarah perjuangan Cakraningrat IV belum selesai. Misalnya soal keberadaan makam Cakraningrat IV yang ternyata ditemukan juga di makam raja-raja Bangkalan di komplek makan Aer Mata, Arosbaya, Bangkalan. 

Keturunan Pangeran Cakraningrat IV bahkan punya versi tersendiri soal keberadaan makam Cakraningrat IV. Menurut riwayat yang ada, jenazahnya diambil dari Afrika Selatan dan dimakamkan kembali permakaman Aer Mata atas permintaan salah satu putranya yakni Pangeran Setyoadiningrat.

Sampai sekarang, Cakraningrat IV belum diberi status sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden kita.

Penulis: Yusril Ihza Mahendra 

Sumber: aktual.co

Lorem ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry.


EmoticonEmoticon