Oleh : Sumadi Arsyah
-
“Konflik merupakan Sunnatullah kehidupan. Ia dapat bersifat positif dan juga dapat berimplikasi negative. Artinya, konflik dapat dijadikan peluang bagi tumbuhnya inisiatif, kreatifitas, dan kompromi. Konflik dapat pula memicu benih-benih kekerasan dan menimbulkan peperangan yang berujung pada kehancuran.”
Albert Einstein, seorang tokoh peduli kemanusia dan perdamaian, melukiskan dengan bagus, bahwa “Perdamaian tidak dapat diciptakan dengan paksaan. Perdamaian hanya dapat dicapai melalui pegertian”. Hal serupa pada beberapa abat yang silam, Aristotle, juga memprediksikan bahwa perang lebih mudah terjadi dari pada perdamaian. Ia juga menyatakan, bahwa perang tidak hanya buatan manusia, tetapi juga hasil olah pikir dan kerja manusia.
Konflik tidak dapat diselesaikan dengan perang. Tetapi konflik dapat diminilisir dengan cara meningkatkan pengetahuan tentang konflik dan skill dalam menyingkapinya tanpa kekerasan, dan mengaktualisasikan dalam kehidupan nyata. Perdamaian akan bergaung dan bermakna, jika tumbuh kesediaan semua pihak, terutama para pihak yang berkecimpung didalamnya.
Perang juga dapat diperkecil siklusnya, bila pihak-pihak yang terlibat berkesediaan berpikir jernih yakni dengan bermuara kepada suatu pemahaman yang positif. Dimana nilai dan posisi “Aku” dan “Kamu” tidak mengarah kepada sikap egoisme dan self-interest (kepentingan pribadi), tetapi lebih mengutamakan self-worth (harga diri), self-respect (penghormatan diri), dan self-public (kepentingan rakyat). Sebab semua itu adalah hajatan orang yang mutlak.
Perang juga dapat diperkecil siklusnya, bila pihak-pihak yang terlibat berkesediaan berpikir jernih yakni dengan bermuara kepada suatu pemahaman yang positif. Dimana nilai dan posisi “Aku” dan “Kamu” tidak mengarah kepada sikap egoisme dan self-interest (kepentingan pribadi), tetapi lebih mengutamakan self-worth (harga diri), self-respect (penghormatan diri), dan self-public (kepentingan rakyat). Sebab semua itu adalah hajatan orang yang mutlak.
Namun sayangnya, hal tersebut sering sekali kabur dari pandangan kita sebagai bangsa yang beradab, dan sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Realita menunjukkan, dimana setiap kekerasan lazim dipergunakan sebagai metode dalam menyelesaikan konflik. Kita tanpa sadar bahwa bila konflik disingkapi dengan kekerasan, akan berpotensi melahirkan kekacauan dan memanjangkan mata rantai kekerasan itu sendiri yang berakibat lebih destruktif. Lebi dari itu, amat fatal bagi keselamatan manusia di muka bumi dan akan menelantarkan keselamatan bagi keutuhan sebuah bangsa dan Negara.
Berharap konflik tidak terjadi, itu adalah "hayalan". Karena konflik sudah menjadi "Sunnatulah". Agar konflik tidak membuat kehancuran, dapat diminilisir dengan adanya kesalingan pengertian, pemahaman, dan keikhlasan.
Konflik tumbuh di setiap bangsa, wilayah bahkan dalam komunitas sekecil apa pu dan tidak dapat dielakkan. Konflik tetap dalam setiap kehidupan, dengan kisah cerita masing-masing. Hanya saja tingkat ketegangannya saja yang berbeda-bedan.
Karena konflik adalah realitas kehidupan yang muncul setiap saat, akibat adanya benturan-benturan kepentingan, pemikiran, orentasi politik, dan system ekonomi serta sebagainya. Menurut Roger Walsh, penderitaan yang terjadi di dunia merupakan kontruksi dari pemikiran yang salah dalam memahami konflik. Jika kita ingin bertahan hidup sebagai manusia yang manusiawi, maka kita harus melepaskan diri ke tingkat yang belum pernah terjadi seperti kerakusan, kebencian, dan khayalan. Mungkin dengan cara demikian, kemudian setiap perbedaan dan keberagaman harus dilihat dengan kacamata jernih, karena tak ada berguna kalau selalu diperdebatkan sebab itu sudah merupakan sunnatullah, yang tidak dapat di pangkas dalam kehidupan ini.
Dengan pemahaman tersebut, semua kita dapat menjadikanya sebagai terobosan untuk menjaga momentum Helsinki , agar tetap utuh. Sehingga damai di Aceh benar-benar berdaya guna dalam membangun sikap generasi masa depan Aceh yang damai dan madani, kiranya pemahaman ini menjadi bahan masukan bagi semua kita, dalam rangka menjaga perdamaian abadi di Aceh.
Konflik tumbuh di setiap bangsa, wilayah bahkan dalam komunitas sekecil apa pu dan tidak dapat dielakkan. Konflik tetap dalam setiap kehidupan, dengan kisah cerita masing-masing. Hanya saja tingkat ketegangannya saja yang berbeda-bedan.
Karena konflik adalah realitas kehidupan yang muncul setiap saat, akibat adanya benturan-benturan kepentingan, pemikiran, orentasi politik, dan system ekonomi serta sebagainya. Menurut Roger Walsh, penderitaan yang terjadi di dunia merupakan kontruksi dari pemikiran yang salah dalam memahami konflik. Jika kita ingin bertahan hidup sebagai manusia yang manusiawi, maka kita harus melepaskan diri ke tingkat yang belum pernah terjadi seperti kerakusan, kebencian, dan khayalan. Mungkin dengan cara demikian, kemudian setiap perbedaan dan keberagaman harus dilihat dengan kacamata jernih, karena tak ada berguna kalau selalu diperdebatkan sebab itu sudah merupakan sunnatullah, yang tidak dapat di pangkas dalam kehidupan ini.
Dengan pemahaman tersebut, semua kita dapat menjadikanya sebagai terobosan untuk menjaga momentum Helsinki , agar tetap utuh. Sehingga damai di Aceh benar-benar berdaya guna dalam membangun sikap generasi masa depan Aceh yang damai dan madani, kiranya pemahaman ini menjadi bahan masukan bagi semua kita, dalam rangka menjaga perdamaian abadi di Aceh.
***
Dalam Islam mengajarkan, bahwa misi universal Islam adalah membawa rahmat bagi sekalian alam (al-Anbiya : 107). Rahmat yang dijanjikan Islam ini bermakna, adanya kedamaian yang memiliki dua implikasi. Pertama, kedamaian bukanlah sesuatu yang hadir tanpa keterlibatan manusia. Perdamaian akan menjadi realitas kehidupan kalau manusia berperan aktif dalam mengaktualisasikan cita-cita Islam. Kedua, kehidupan damai akan terbuka kepada semua individu, komunitas, ras, pemeluk agama, dan bagi bangsa-bangsa yang mendambakannya.
Karena nuansa kedamaian yang universal ini semakin jelas jika dipahami dalam kontek definisi damai yang diajukan oleh Islam, sebagai agama rahmatal lil’alamin (rahmat bagi semua manusia). Sehubungan dengan itu juga, para ahli dan praktisi conflict resolution (resolusi konflik) juga memahami damai bukan hanya bebas dari peperangan (absence of war) saja, tetapi mencakup kebebasan keadilan ekonomi, social, politik, dan budaya, serta bebas dari diskriminasi ras, kelas, jenis kelamin, dan agama, dan lain sebagainya.
Karena nuansa kedamaian yang universal ini semakin jelas jika dipahami dalam kontek definisi damai yang diajukan oleh Islam, sebagai agama rahmatal lil’alamin (rahmat bagi semua manusia). Sehubungan dengan itu juga, para ahli dan praktisi conflict resolution (resolusi konflik) juga memahami damai bukan hanya bebas dari peperangan (absence of war) saja, tetapi mencakup kebebasan keadilan ekonomi, social, politik, dan budaya, serta bebas dari diskriminasi ras, kelas, jenis kelamin, dan agama, dan lain sebagainya.
Pada sisi lain Islam juga melihat damai pada empat hubungan yang saling terkait ; (Pertama), damai dalam konteks hubungan dengan Allah sebagai Pencipta, yaitu kedamaian yang terwujud karena manusia hidup sesuai dengan prinsip penciptaannya yang fitri. (Kedua), damai dengan diri sendiri, damai akan lahir jika manusia bebas dari perang bathin (split-personality). (Ketiga), damai dalam kehidupan bermasyarakat dapat terwujud jika manusia berada dalam kehidupan yang bebas dari perang (freedom from combatan) dan bebas dari diskriminasi serta membuminya prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan keseharian. Dan yang (keempat), damai dengan lingkungan dimana terwujudnya pemanfaattan sumberdaya alam bukan hanya sebagai penggerak pembangunan tetapi juga sebagai sumber yang harus dilestarikan demi kesinambungan hidup generasi berikutnya, (baca pendidikan damai, 2002).
**
Seperti kita ketahui, lahirnya “damai di Aceh” tidak serta merta, tetapi diawali dengan proses negosiasi antara kedua pihak antara Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki-Finlandia, yang saling melelahkan.
Hal tersebut seperti diutarakan oleh Menteri Informasi dan Komunikasi, Dr. Sofyan A Djalil, pada acara sosialisasi MoU kepada para pejabat Aceh, di Gedung Serbaguna, Gubernur. Sofyan menyatakan, bahwa untuk melahirkan suatu komitmen, kadang kita harus bertahan untuk suatu hal, tetapi disisi lain kita perlu mengalah dan hal itu terjadi pada kedua belah pihak baik dari pihak Pemerintah RI dan GAM. Menurutnya, semua itu, semata-mata untuk masa depan Aceh dan juga demi masa depan bangsa Indonesia. Pernyataan senada juga disampaikan oleh Damien Kingsbury, penasehat GAM asal negara Australia, Damien menyadari bahwa isi perjanjian di Helsinki belum memenuhi harapan ideal bagi rakyat Aceh. Tetapi ia menjelaskan, bahwa yang namanya kompromi, tidak mungkin memberikan hasil yang ideal bagi GAM dan bukan pula hasil ideal bagi RI. Tetapi gabungan antara keduanya, sebagaimana dilansir oleh media massa lokal dan nasional.
Hal tersebut seperti diutarakan oleh Menteri Informasi dan Komunikasi, Dr. Sofyan A Djalil, pada acara sosialisasi MoU kepada para pejabat Aceh, di Gedung Serbaguna, Gubernur. Sofyan menyatakan, bahwa untuk melahirkan suatu komitmen, kadang kita harus bertahan untuk suatu hal, tetapi disisi lain kita perlu mengalah dan hal itu terjadi pada kedua belah pihak baik dari pihak Pemerintah RI dan GAM. Menurutnya, semua itu, semata-mata untuk masa depan Aceh dan juga demi masa depan bangsa Indonesia. Pernyataan senada juga disampaikan oleh Damien Kingsbury, penasehat GAM asal negara Australia, Damien menyadari bahwa isi perjanjian di Helsinki belum memenuhi harapan ideal bagi rakyat Aceh. Tetapi ia menjelaskan, bahwa yang namanya kompromi, tidak mungkin memberikan hasil yang ideal bagi GAM dan bukan pula hasil ideal bagi RI. Tetapi gabungan antara keduanya, sebagaimana dilansir oleh media massa lokal dan nasional.
Terlepas dari semua itu, seyonggianya dalam mengisi perdamaian di Aceh yang sudah terbentuk, semua kita amat dituntut untuk dapat menghormatinya. Karena kita menyadari bahwa untuk mewujudkan sebuah perdamaian bukan pekerjaan yang sukar dan memerlukan biaya kemanusia yang amat mahal juga membutuhkan proses pentahapan yang berlangsung dalam rentang waktu panjang dan amat melelahkan. Karena upaya tersebut tidak mungkin dapat dilakukan terutama oleh orang-orang yang tidak mampu memahami dan mengikuti patronase ajaran Tuhan dan Sunnatullah yang sarat dengan nilai kasih sayang, kesalingan (reciprocality), dan kebersamaan dalam segala aspek kehidupan. Mungkin dengan adanya dukungan dan kejernihan berfikir semua kita dan terutama para pihak yang terlibat dalam proses perumusan nota kesepahaman MoU, mustahil perdamaian abadi terwujud di daerah julukan Tanah Sultan Iskandar Muda.
Jika ajaran yang telah kita sebutkan diatas dapat diterima dalam kondisi Aceh, dengan sendirinya akan menempatkan kita sebagai insan berfikir yang bebas walau ditengah ragam pluralitas sosiologi seperti kelas, ideologi, agama, bahasa, adat, bangsa, budaya dan pandangan hidup (worldview) melingkarinya.
Oleh karena itu pluralitas apapun bentuknya, yang muncul dalam perjanjian di Helsinki , sebagaimana tertuang dalam sebuah nota kesepahaman (MoU) adalah sunnatullah yang hendak dihormati oleh semua pihak. Dan juga terhadap hal-hal yang mungkin terlupakan tertuang dalam nota kesepahaman tersebut.
Oleh karena itu pluralitas apapun bentuknya, yang muncul dalam perjanjian di Helsinki , sebagaimana tertuang dalam sebuah nota kesepahaman (MoU) adalah sunnatullah yang hendak dihormati oleh semua pihak. Dan juga terhadap hal-hal yang mungkin terlupakan tertuang dalam nota kesepahaman tersebut.
Semua kita juga tidak perlu risih dengan adanya, beberapa kubu yang enggan menerima bahkan tidak setuju dengan nota kesepahaman tersebut, tapi selama hal ini tidak mengganggu identitasnya, mereka hendak dapat menghormatinya. Karena setiap orang mempunyai hak untuk menghormati ekspresi hak orang lain dalam tatanan kehidupan berkelompok yang adil dan egaliter dan begitu sebaliknya juga. Karena itu, keberangaman harus didasari sebagai kesempatan untuk membangun kerjasama yang adil dan saling menguntungkan demi terwujudnya interaksi social yang alamiah dan dinamis, dalam rangka merajud hari esok yang lebih baik secara universal di Aceh.
Harapan terakhir saya, melalui momentum Aceh damai, menaruh harapkan mampu menghentikan kekerasan yang sudah berlangsung dalam tiga dekade. Untuk itu dalam rangka membangun kembali kehidupan dan penghidupan yang dinamis dan damai (active peace) di negeri bahari (meminjam istilah Hamid Awaluddin) pada saat membuka pameran Aceh bangkit. Dengan makna lain, melalui momentum tersebut dapat mendorong semua pihak untuk mencari dan mempromosikan keadilan tanpa mengurangi harkat, martabat, dan Hak Azasi Manusia (HAM). Karena setiap manusia memiliki identitas dan ingin diakui dan dihargai harkat dan martabatnya. Walaupun dalam tenggang waktu tersebut, masing-masing pihak harus mengakui indentitas yang berbeda. Namun jika pemahaman tersebut dapat terbangun maka dengan sendirinya prinsip tersebut akan memiliki kekuatan moral yang dapat menjadi fondasi awal bagi keberlansungan publik di Aceh yang beradab, berkeadilan, sejahtera lahir dan batin.
Mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengutip pernyataan, John Lennon, yang menyebutkan (Give Peace a Chace) artinya “ Berikan kesempatan agar terciptanya perdamaiam”di Aceh. Dan kepada semua anak bangsa ini, marilah kita berdoa semoga pengorbanan besar yang telah ditempuh oleh RI dan GAM di Helsinki, memberikan pemahaman bahwa damai bukan hanya tujuan tetapi juga proses. Untuk itu, peran aktif semua element dalam menjaga dan mengawasi perdamaian di Aceh merupakan bagian integral partisipasi public dalam mendambakan kehidupan damai dan cita-cita yang diharapkan abadi terwujud di Aceh. Amin…*
Penulis adalah, Peminat Komunikasi dan Sosial di Banda Aceh.
Sumber: Harian Rakyat Aceh, Cetak Tahun 2007)
EmoticonEmoticon