Oleh : Sumadi Arsyah
-
Mungkin, semua kita tak memperkirakan bakal seperti ini potret sebuah cita-cita yang diperjuangkan atas nama Ketuhanan, Kemanusia, Keadilan, Persatuan, Kesejahteraan. Dan hukum yang dibela dan ditata, serta diangung-angungkan bakal menghantarkan bangsa ini kepembebasan manusia yang teraniaya. Ternyata semua itu, baru semampu hayalan dan rakyat amat kecewa.
Kini kemana lagi rakyat yang teraniaya dan hak berpolitik yang ter-rampas harus mengadu. Tak kala seluruh saluran sudah mampet dan buntu. Elite politik dan penguasa pemerintahan yang seyonggianya menjadi fasilisator dan regulator bagi semua masyarakat. Hanya mampu melakukan reaksi politik yang belum terbuka. Konon, jika dikritik hanya bisa menyerang balik para kritikus dalam komunikasi terbuka tanpa sikap bijak. Era ini persis seperti era para pendekar "berotot baja bersuara petir".
Dari dulu, bahwa dunia politik penuh dengan intrik-intrik kotor, guna memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Dunia politik sudah menjadi arena rebutan kekuasaan dan tak lagi terikat dengan rambu-rambu moral sebagai acuan dalam berpolitik manusiawi dan beradab. Bagi elite yang di-elite-elite-kan dan pejabat pemerintahan yang diperjabatkan dengan biokrasi asal-asalan. Melakukan perbuatan immoral, sudah perbuatan yang lumrah, "Hana Malee"
Berkaca kepentas perpolitikan kita saat ini, hampir tak ada yang bisa dipetik bangsa ini dari pertarungan kekuasaan yang menghalalkan vested interest. Dengan cara menafikan serta menginjak-nginjak moralitas berpolitik. Seolah-olah, “moralitas sekedar sebagai alaskaki atau kesel belaka untuk meniti tangga kekuasaan”, meminjam istilah, Syamsuddin Haris.
Rakyat, yang melihat prilaku elite dan penguasa pemerintah. Hanya bisa tersenyum pahit. Apalagi saat mendengar retorika kosong para elite dan para pejabat pemerintah yang amat kuasa meminta kesabaran dari rakyat saat mengurus selembar surat "Jual sapi" disaat rakyat jatuh lumpuh dengan segala tak berdaya.
Timbul pertanyaan lagi, kenapa semua itu terjadi.. ?. Yang bisa kita jawab, karena kita telalu pengecut untuk menghukum dan membersihkan sistem dan memperbaiki struktur biokrasi yang hancur-hancuran. Akibat ketakutan kita yang tidak beralasan, ujungnya beginilah potret bangsa saat ini. “Bangsa kita hanya bisa mengecor loteng yang bocor, tetapi kita lupa bahwa pondasinya sudah sangat keropos alias bin rapuh”. Eksesnya, terjadi kesemerautan dalam semua lingkup, terutama dalam dunia politik dan biokrasi.
Pada sisi lain, semua kita lebih suka mendahulukan untuk mencari popularitas dan kekuasaan, ketimbang berkarya nyata ditengah-tengah masyarakat. Lucunya lagi, tak ada yang mau mengalah untuk memberikan ruang dan kesempatan bagi orang lain untuk menyelesaikannya. Semua ingin jadi pahlawan, semua ngomong benar dan tanpa muka malu tanpil terdepan.
Saat "mereka-mereka" diberikan kesempatan kekuasaan, hanya bisa berkuasa, memfitnah dan mengadu-domba masyarakat dengan rakyat, timbullah saling curiga di antara berbagai komponen bangsa. Maaf, mereka benar-benar sudah menjadi golongan sakit jiwa (patbologically) dan memimjam istilah Olle Tornguist, “Demokrasi Kaum Penjahat” seperti di tulis Ikrar Nusa Bhakti, dalam tulisan “Demokrasi di Ujung Tanduk” (Kompas19/9/2005).
Konon lagi, saat demokrasi hendak ditegakkan dan pesta rakyat diharapkan ada jalan lurus, namun terlalu dini untuk diramalkan kalau keinginan tersebut akan lebih baik. Selama masih ada yang berjiwa aportunis dan hipokrit. Selama masih ada bandit-bandit itu..?, Maka selama itu pula, nasib bangsa tak akan pernah berubah, rakyat terus dalam kesensaraan.
Berharap lahir sebuah pradigma baru pada panggung politik dan pemerintahan, supaya dapat mentranspormasi cara-cara berpikir, berprilaku dan bertindak secara beradab dan berkah bagi hari esok. Baru sebatas ilusi. Secara teoritik, bahwa partai-partai politik dapat menjadi representasi. Namun dalam praktis-nya menunjukkah lain. Partai-partai politik beserta elitenya, seenaknya saja mereka memanipulasi diri menjadi elit yang tidak peka terhadap penderitaan rakyat sebagai pemberi kekuasaan. Partai politik kita persis seperti “arena balap-balapan”, meminjam istilah, Dr. Kartini Kartono (2003)
Memperbincangkan soal elit dan pejabat pemerintah yang belum berpihak kepada kekuatan (the new social movement) untuk mengabdi buat rakyat, kiranya menjadi agenda penting dengan sejumlah alas an. Alasan yang mendasar, karena kerusakan sosial yang terjadi dari hari-kehari semakin menambah rakyat yang menderita. Sementara kemelut di tubuh partai politik dan pemerintah, tidak mampu melahirkan kepemimpinan yang kuat untuk menyelesaikan keadaan bangsa yang terus memarah.
Yang lebih memperihatinkan kita, bahwa orentasi politik yang masih mempercayai bahwa negara dan nasionalisme seolah-olah bisa menjadikan taruhan bagi masa depan solidaritas politik. Tanpa mempertimbangkan bahwa solidaritas social, bahagian terpenting untuk memperjuangkan emansipasi politik dalam era cyber democracy. Padahal, identifikasi rakyat dan kewarganegaraanya sangat tidak mungkin lagi bisa bertahan dengan mengandalkan pada batas-batas kedua hal tersebut.
Solusi Kedepan.
Solusi kedepan yang dapat kita disorong untuk memotong benang kusut tersebut, adalah dengan membangun solidaritas politik terbuka dan politik emasipatoris. Kendati untuk menuju kearah tersebut bukan hal yang mudah, disebabkan oleh kerusakan sosial di negara kita sudah amat parah dan sendi-sendi kebersamaan yang dibina kian tercabik-cabik. Realita menunjukkan, bahwa dalam rentang waktu yang dilalui bangsa ini, rakyat hanya menjadi pengungsi di negeri sendiri.
Untuk memulihkan harkat dan martabat anak bangsa ini. Banyak tokoh politik dan ilmuan politik kita, optimis bahwa dengan re-grouping politik baru oleh rakyat sendiri (yaitu, diluar demokrasi kepartaian), dengan bercorak partipatoris dan demokrasi terbuka. Yaitu demokratis yang memiliki basis pada komunitas dari aliansi berbagai politik indentitas. Rakyat akan mampu melaksanakan legislasi politik, dalam upaya merencanakan aksi bersama untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan sendiri. Kalau kita ingin jujur, bahwa konflik yang terjadi di Aceh, Papua, dan di beberapa daerah lain merupakan bagian dari tidak tumbuhnya emansipatoris masyarakat dari partai-partai yang ada, sejak era Orba hingga reformasi.
Dan konsep ini akan lebih baik, dibandingkan kita berlarut-larut dalam system politik kepartaian, yang cenderung mempercayakan keputusan politik kepada elite dan penguasa pemerintah yang mayoritas memerintah dalam bingkai konstitusi dan kekuasaan negara. Sementara, rakyat dibiarkan lemah dalam prakarsa politik sehari-hari (a self legislating political communitiy).
Memang untuk menuju kearah politik tersebut, banyak orang persimis bahkan tidak setuju, terutama mereka-mereka yang menikmati kemewahan dengan system politik yang ada saat ini. Tetapi kalau kita berkaca dalam kasus Indoneisai kekinian, yang terlalu memuja-muja demokrasi kepartaian. Sementara rakyat secara politik masih bisu, karena tidak mempuyai media artikulasi untuk memperjuangkan nasib hidupnya. Merupakan tawaran yang relevan untuk masa depan Indonesia . Karena ide demokrasi yang sebenarnya, intinya adalah kebebasan, kesetaraan, keadilan,dan kesejahteraan.
Suramkah atau murungkah rupa negara kita kedepan. Tentu sangat tergantung kepada keberanian kita semua untuk membangun dan menemukan kembali basis politik yang berorentasi pada emansipatoris rakyat. Atau kita membenarkan terus-terusan "Negara dan Rakyat" berada dalam kondisi “Rakyat Tanpa Wakil”..?. Inilah potert Negara kita...!!!!!? Wallah hu bilsawab.*
*Sumadi Arsyah - adalah Peminat Komunikasi dan Sosial, Tinggal di Banda Aceh.
SUMBER : ACEH KITA CETAK, 17 AGUSTUS 2007
EmoticonEmoticon