13 Sep 2013

Ekonomi Sehat, Tapi Lagi Meriang

OPTIMISME dan ngeles rupanya beda tipis. Menko Perekonomian Hatta Rajasa yang juga Ketua Umum Partai Amanat Nasional ini masih bilang ke media bahwa ekonomi Indonesia masih sehat. 

Mungkin saja, kalau hanya melihat angka statistik pertumbuhan yang masih di atas 5 persen. Tapi dengan mengatakan bahwa konsumsi dan pembangunan infrastruktur masih kencang, rasanya penjelasan seperti itu agak kurang jujur. 
Herry Gunawan
Karena itu, pernyataan mirip kampanye itu mungkin lebih tepat disebut ngeles, bukan menebar optimisme. Mungkin lebih arif mengatakan bahwa ekonomi kita dalam tekanan. Dan selanjutnya bilang, “pemerintah sedang berusaha mengatasinya.”

Sebab memang seperti itulah adanya. Tak perlu ditutupi, tapi juga tidak patut didramatisasi.

Data-data yang ada memperlihatkan kondisi saat ini dengan gamblang. Konsumsi masyarakat, yang selama ini menjadi penopang terpenting dalam pertumbuhan ekonomi, diperkirakan bakal turun.

Indikasinya bisa dilihat pada hasil survei Bank Indonesia. Survei itu menyebutkan bahwa pada Agustus tahun ini, indeks kepercayaan konsumen turun 0,6 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Bahkan kalau dihitung sejak Januari sampai Agustus, penurunan indeks keyakinannya mencapai 7,2 persen.

Data tersebut mencerminkan kondisi masyarakat yang makin tak yakin dengan situasi ekonomi saat ini, terutama terkait dengan lapangan kerja. Sepanjang enam bulan ke depan, publik melihat ketersediaan lapangan kerja akan muram.

Kondisi tersebut diperburuk dengan lemahnya harapan terhadap kenaikan pendapatan tetap alias gaji. Sepanjang enam bulan ke depan, masyarakat tak yakin tidak ada kenaikan. Langkah arif yang dilakukan adalah menahan belanja.

Semua itu terlihat nyata pada Survei Konsuman yang dilakukan Bank Indonesia. Konsumsi yang menjadi penyokong utama pertumbuhan ekonomi dalam situasi kurang gairah. Bagaimana dengan lainnya?

Situasinya tak jauh berbeda. Belum lama ini, Asosiasi Industri Semen Indonesia mengumumkan bahwa laju pertumbuhan penjualan semen di pasar domestik tidak sesuai harapan. Sepanjang Agustus, daya serap pasar turun 5,8 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year on year).

Komoditas semen ini dikenal sebagai indikator pendahulu (leading indicator) sektor konstruksi. Dengan begitu, penurunan penjualannya merupakan gambaran kinerja sektor konstruksi yang melambat. Termasuk di dalamnya adalah sektor properti.

Hal ini sejalan dengan laporan yang disampaikan oleh lembaga pemeringkat internasional, Fitch Ratings. Lembaga tersebut memperkirakan pertumbuhan sektor properti akan mengalami perlambanan dalam 12 bulan ke depan, walaupun dalam jangka panjang diperkirakan masih berpotensi membaik. Penopangnya adalah gejala urbanisasi yang terjadi di Indonesia.

Fitch menyebutkan ada tiga penyebab utama ekspektasi perlambanan. 

Pertama, kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI rate sampai Agustus lalu. Kebijakan itu memacu kenaikan suku bunga pinjaman. Ditambah  lagi adanya kebijakan kenaikan batas minimum uang muka.

Minggu ini, Bank Indonesia juga menaikkan lagi suku bunga acuan sebesar 0,25 persen demi meredam gejolak kurs rupiah terhadap dolar. Tentu suku bunga pinjaman terkena imbasnya. Ongkos bank untuk mendapatkan dana menjadi lebih mahal, sehingga kredit yang disalurkan pun harus berbunga tinggi.

Penyebab kedua, Fitch menyebut menurunnya tingkat konsumsi masyarakat. Prajual properti – biasanya sudah dipasarkan sebelum dibangun – yang dialami para pengembang ikut melorot.

Sedangkan yang ketiga, akibat makin mahalnya ongkos belanja lahan yang dialami para pengembang. Kompensasinya, harga properti ikut terdongkrak.
Beberapa indikasi seperti konsumsi, penjualan semen, kinerja infrastruktur, dan properti yang melemah memperlihatkan gambaran kondisi perekonomian saat ini. Belum lagi, situasinya diperburuk oleh nilai tukar rupiah yang hingga kini makin tertekan terhadap dolar AS. 

Dengan impor yang masih dominan, mestinya lidah terasa kelu untuk menyampaikan seolah tidak ada apa-apa alias ekonomi masih sehat wal afiat. Padahal sedang meriang.

Namun optimisme tentu harus tetap dijaga. Hanya, sejauh mana keyakinan itu ditopang oleh kebijakan pemerintah, sehingga menjadi obat penenang atas gejolak perekonomian yang sedang terjadi. Sebab kenaikan suku bunga, meskipun sudah dua kali dalam kurun waktu kurang dari satu bulan, terbukti tidak mendapat respons positif dari para pelaku di pasar keuangan.

Jangan-jangan kelak jadi bumerang: makin memukul konsumsi masyarakat. Kalau sudah begitu, yang mungkin terjadi bukan lagi meriang, tapi malah kolaps. [Oleh Herry Gunawan, Pendiri Plasadana.com/ Yahoo] Berita desa, media desa, informasi desa, desanews, desaonline, kabardesa, infodesa, teknologidesa, sistem pemerintahan desa, sistem pemerintah indonesia, serambidesa, bangundesa, sistem ekonomi desa, politikdesa, foto desa, UU Desa, UUPA, MoU Helsinki, partai lokal, ekonomi desa, budaya desa, mesindesa, alat-alat petani desa, adatdesa, masakandesa,

Lorem ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry.


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:o
:>)
(o)
:p
:-?
(p)
:-s
8-)
:-t
:-b
b-(
(y)
x-)
(h)