Tak terasa Tentara Nasional Indonesia (TNI) kini telah berusia 67 tahun. Dalam perjalanan sejarahnya, telah banyak sumbangsih dan pengorbanan yang telah dilakukan oleh TNI. Bukan hanya sebagai penjaga kedaulatan di masa perang, tapi juga sebagai pelopor dan sahabat rakyat di masa damai. Walau tentara yang pada masa orde baru pernah lekat dengan stigma negatif, tapi peran serta TNI dalam mempertahankan keutuhan bangsa tidak dapat terbantahkan lagi
Perjalanan sejarah TNI sendiri tidak dapat dilepaskan dari usaha rakyat untuk bebas dari belenggu penjajahan. Jauh sebelum negeri ini diproklamasikan kemerdekaan oleh Bung Karno, di berbagai wilayah telah terbentuk berbagai kelompok-kelompok sukarelawan yang mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Banyak dari mereka adalah para pemuda yang bahkan belum pernah dilatih secara militer.
Sejarah panjang sang penjaga kedaulatan.
Ketika Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, tidak serta merta bangsa penjajah angkat kaki. Para penjajah, terutama Belanda, masih berharap dapat merebut kembali tanah jajahannya yang paling makmur ini. Mereka tidak rela, Indonesia yang sudah diperbudak selama lebih dari 3,5 abad lepas begitu saja. Berbagai cara mereka lakukan untuk kembali menduduki negeri ini.
Salah satu cara yang paling umum adalah dengan aksi bersenjata. Berkali-kali Belanda melakukan berbagai serangan militer yang bertujuan untuk melumpuhkan republik yang masih sangat muda usianya. Usaha Belanda ini seakan menemui titik terang ketika Jepang, bangsa yang pernah mengalahkan dan membuat mereka lari tunggang langgang dari Indonesia ternyata menyerah setelah kota-kotanya dibom pihak sekutu. Dengan membonceng pada armada NICA, mereka pun berusaha untuk kembali menyusup ke Indonesia.
Tidak butuh waktu lama bagi Belanda untuk segera menyerang pusat-pusat pemerintahan Indonesia. Walau dikutuk oleh seluruh dunia, Belanda yang memang terkenal dengan sikap keras kepalanya ini tetap acuh dan terus menggencet posisi Indonesia dengan harapan dapat kembali berkuasa.
Melihat keadaan seperti ini rakyat Indonesia pun sadar, bahwa kemerdekaan harus dijaga dengan darah dan usaha sendiri. Rakyat yang memang sudah hafal akan niat busuk Belanda tersebut juga tidak tinggal diam. Mereka segera mengorganisir diri untuk menjaga kemerdekaan yang sudah dengan susah payah direbut.
Berbagai organisasi kelaskaran pun bermunculan. Ada yang dibentuk atas dasar persamaan daerah asal ada pula yang dibentuk dengan alasan persamaan ideologi. Bahkan ada juga yang dibentuk dengan landasan persamaan profesi. Salah satu yang paling dramatis adalah pembentukan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) pada tahun 1946. TRIP yang mayoritas anggotanya masih berusia belasan tahun ini adalah bukti nyata bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia juga melibatkan semua golongan masyarakat, bahkan pelajar sekalipun.
Tapi sayangnya pembentukan organisasi-organisasi kelaskaran tersebut cenderung bersifat fraksional (kelompok). Bahkan tak jarang antar organisasi kelaskaran terjadi gesekan-gesekan kecil yang akhirnya berimbas pada konflik bersenjata. Menyadari hal tersebut, maka Pemerintah Indonesia saat itu melalui PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) berinisiatif untuk membentuk sebuah organisasi tunggal yang bertujuan untuk memayungi semua organisasi kelaskaran yang ada.
Pada 22 Agustus 1945, atau lima hari setelah proklamasi kemerdekaan, dibentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR). Badan inilah yang di kemudian hari menjadi cikal bakal dari TNI. Pemerintahan Bung Karno berharap organisasi-organisasi kelaskaran yang ada dapat melebur dalam BKR, walau ternyata hal itu tidak mudah untuk dilakukan.
Para anggota BKR sebagian besar adalah mantan anggota PETA (Pembela Tanah Air). PETA sendiri awalnya sebuah organisasi militer bentukan Jepang yang bertugas mengumpulkan pemuda-pemuda Indonesia untuk bertempur bersama dengan tentara Jepang menghadapi sekutu. Peran BKR sangat terasa, terutama dalam menghadapi aksi-aksi militer dari Belanda. BKR kemudian berubah nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat pada 5 Oktober 1945. Maksud dari perubahan nama ini adalah untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa sejak saat itu Indonesia telah memiliki sebuah tentara reguler yang resmi, bukan lagi sekedar kelompok-kelompok bersenjata yang cenderung “liar”.
Pada perkembangan selanjutnya, TKR pun kembali berubah nama, yakni menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) pada tahun 25 Januari 1946. Adapun Panglima Besar Sudirman terpilih menjadi Panglima TRI. Perubahan ini semula untuk mempertegas bahwa hanya ada satu tentara sah yang diakui oleh pemerintah. Tapi sayangnya, sampai pertengahan 1946, setidaknya ada satu lagi kekuatan militer di luar TRI yang mengaku sebagai perwujudan semangat rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan, yakni Biro Perjuangan.
Biro Perjuangan sendiri adalah sebuah organisasi yang beranggotakan petani, buruh, guru, pelajar dan lain-lain yang dididik dan dilatih secara militer dan berada di bawah koordinasi Menteri Pertahanan yang pada waktu itu dijabat Amir Sjariffudin. Awalnya Biro Perjuangan didirikan untuk menampung laskar-laskar rakyat yang didirikan oleh partai-partai politik pada masa itu. Tapi pada perkembangan selanjutnya, Biro Perjuangan malah terlihat berperan seperti tandingan bagi TRI. Tentu ini sangat merugikan perjuangan bangsa Indonesia. Pemerintah pun tidak tinggal diam. Maka pada tanggal 3 Juni 1947, Presiden Sukarno mengumumkan pembentukan Tentara Nasional Indonesia sebagai satu-satunya tentara reguler yang sah milik Republik Indonesia.
Tentara dan Politik
Dunia politik tidaklah asing bagi tentara. Bahkan sering tentara dijadikan alat untuk meraih kepentingan politik. Sebagai akibatnya, netralitas tentara pun semakin memudar. Bahkan terkadang terjadi pertentangan yang berujung pada konflik bersenjata yang diakibatkan oleh perbedaan politik yang berasal dari para pimpinan tentara.
Yang paling mengerikan adalah peristiwa Madiun 1948. Pada saat itu, PKI (Partai Komunis Indonesia) beserta dengan sebagian anggota TNI yang juga kadernya, merebut dan menguasai Kota Madiun untuk selanjutnya memproklamasikan berdirinya Pemerintahan Komunis Indonesia di Madiun. Peristiwa yang juga merembet ke berbagai wilayah itu telah menelan korban jiwa yang tidak sedikit. Untunglah TNI dan rakyat yang masih setia kepada Pancasila berhasil memadamkan pemberontakan tersebut.
Tapi peran Tentara di dunia politik paling kentara ketika Pak Harto dan Orde Barunya berkuasa. Pada era Orde Baru, TNI kemudian dilebur dengan Polisi dan kemudian bernama ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Pada masa itu jugalah Dwi Fungsi ABRI benar-benar diterapkan secara ‘sempurna’. Dwi Fungsi sendiri adalah sebuah doktrin yang menjelaskan bahwa ABRI memiliki dua fungsi, yaitu menjaga keamanan dan ketertiban negara serta memegang kekuasaan dan mengatur negara.
Sebagai akibatnya, ABRI lebih mirip sebagai alat pelanggeng kekuasaan pemerintah Soeharto dari pada sebagai alat menjaga keamanan negara. Tak jarang pula ABRI dimanfaatkan oleh rezim Orde Baru untuk melenyapkan pihak-pihak yang tidak setuju dengan Soeharto.
Penindas Rakyat
Pak Harto memang dikenal sebagai Bapak Pembangunan. Hal itu tak lain karena pada masa Orde Barulah, Indonesia benar-benar mengalami masa pembangunan fisik yang mungkin tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Gedung-gedung baru didirikan, hutan dirambah dan berbagai sarana umum seperti jalan raya, bandara dan pelabuhan pun dibangun. Walau di kemudian hari diketahui biaya pembangunan itu semua bersumber dari utang yang sampai saat ini belum terlunasi.
Tapi sayangnya, dalam melaksanakan program pembangunannya, sering Soeharto menggunakan tentara untuk menindas siapapun yang tidak sependapat dengannya. Berbagai penggusuran atas nama pembangunan pun dilakukan. Sudah tak terhitung lagi berapa banyak rakyat yang harus jadi korban ketika harus berhadapan dengan tentara yang mengamankan program pembangunan tersebut.
Soeharto yang ternyata juga dikenal karena tindakan korupsinya yang gila-gilaan itu, tak segan-segan melakukan penculikan atau pembunuhan terhadap lawan-lawan politiknya. Yang paling jelas adalah tindakan Soeharto menggunakan anggota ABRI yang berpakaian preman untuk menyerbu kantor pusat PDI (Partai Demokrasi Indonesia) pimpinan Megawati Soekarnoputri.
Gelora Reformasi
Tapi ternyata walau memiliki barisan tentara bersenjata yang kuat, Soeharto pun harus lengser. Kekuatan rakyat yang dipelopori mahasiswalah (peristiwa reformasi 98) yang memaksa Sang Jendral untuk lengser. Sekalipun harus berhadapan dengan tank dan senapan, ternyata rakyat masih terlalu perkasa untuk menurunkan sang diktator tersebut.
Kini, setelah Dwi Fungsinya dicabut dan berganti nama menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) , ABRI pun kembali kepada rakyat. Menghadapi era baru dengan tantangan dan kondisi yang baru, rakyat pun berharap banyak. TNI diharapkan dapat menjadi pelopor dan pengayom masyarakat selain sebagai kekuatan utama dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI.
Meski banyak hal yang harus dilakukan, termasuk pembaruan persenjataan dan peningkatan SDM, TNI tetap menjadi benteng tangguh dalam menegakkan kewibawaan Indonesia. Peran serta TNI dalam membangun negara juga harus semakin ditingkatkan. Semoga TNI terus menjadi sahabat rakyat yang ramah, penegak kedaulatan yang disegani dan tentara yang profesional.
Selamat HUT TNI Ke-68
Oleh Adi Guritno | http://mjeducation.co
Perjalanan sejarah TNI sendiri tidak dapat dilepaskan dari usaha rakyat untuk bebas dari belenggu penjajahan. Jauh sebelum negeri ini diproklamasikan kemerdekaan oleh Bung Karno, di berbagai wilayah telah terbentuk berbagai kelompok-kelompok sukarelawan yang mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Banyak dari mereka adalah para pemuda yang bahkan belum pernah dilatih secara militer.
Sejarah panjang sang penjaga kedaulatan.
Ketika Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, tidak serta merta bangsa penjajah angkat kaki. Para penjajah, terutama Belanda, masih berharap dapat merebut kembali tanah jajahannya yang paling makmur ini. Mereka tidak rela, Indonesia yang sudah diperbudak selama lebih dari 3,5 abad lepas begitu saja. Berbagai cara mereka lakukan untuk kembali menduduki negeri ini.
Salah satu cara yang paling umum adalah dengan aksi bersenjata. Berkali-kali Belanda melakukan berbagai serangan militer yang bertujuan untuk melumpuhkan republik yang masih sangat muda usianya. Usaha Belanda ini seakan menemui titik terang ketika Jepang, bangsa yang pernah mengalahkan dan membuat mereka lari tunggang langgang dari Indonesia ternyata menyerah setelah kota-kotanya dibom pihak sekutu. Dengan membonceng pada armada NICA, mereka pun berusaha untuk kembali menyusup ke Indonesia.
Tidak butuh waktu lama bagi Belanda untuk segera menyerang pusat-pusat pemerintahan Indonesia. Walau dikutuk oleh seluruh dunia, Belanda yang memang terkenal dengan sikap keras kepalanya ini tetap acuh dan terus menggencet posisi Indonesia dengan harapan dapat kembali berkuasa.
Melihat keadaan seperti ini rakyat Indonesia pun sadar, bahwa kemerdekaan harus dijaga dengan darah dan usaha sendiri. Rakyat yang memang sudah hafal akan niat busuk Belanda tersebut juga tidak tinggal diam. Mereka segera mengorganisir diri untuk menjaga kemerdekaan yang sudah dengan susah payah direbut.
Berbagai organisasi kelaskaran pun bermunculan. Ada yang dibentuk atas dasar persamaan daerah asal ada pula yang dibentuk dengan alasan persamaan ideologi. Bahkan ada juga yang dibentuk dengan landasan persamaan profesi. Salah satu yang paling dramatis adalah pembentukan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) pada tahun 1946. TRIP yang mayoritas anggotanya masih berusia belasan tahun ini adalah bukti nyata bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia juga melibatkan semua golongan masyarakat, bahkan pelajar sekalipun.
Tapi sayangnya pembentukan organisasi-organisasi kelaskaran tersebut cenderung bersifat fraksional (kelompok). Bahkan tak jarang antar organisasi kelaskaran terjadi gesekan-gesekan kecil yang akhirnya berimbas pada konflik bersenjata. Menyadari hal tersebut, maka Pemerintah Indonesia saat itu melalui PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) berinisiatif untuk membentuk sebuah organisasi tunggal yang bertujuan untuk memayungi semua organisasi kelaskaran yang ada.
Pada 22 Agustus 1945, atau lima hari setelah proklamasi kemerdekaan, dibentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR). Badan inilah yang di kemudian hari menjadi cikal bakal dari TNI. Pemerintahan Bung Karno berharap organisasi-organisasi kelaskaran yang ada dapat melebur dalam BKR, walau ternyata hal itu tidak mudah untuk dilakukan.
Para anggota BKR sebagian besar adalah mantan anggota PETA (Pembela Tanah Air). PETA sendiri awalnya sebuah organisasi militer bentukan Jepang yang bertugas mengumpulkan pemuda-pemuda Indonesia untuk bertempur bersama dengan tentara Jepang menghadapi sekutu. Peran BKR sangat terasa, terutama dalam menghadapi aksi-aksi militer dari Belanda. BKR kemudian berubah nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat pada 5 Oktober 1945. Maksud dari perubahan nama ini adalah untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa sejak saat itu Indonesia telah memiliki sebuah tentara reguler yang resmi, bukan lagi sekedar kelompok-kelompok bersenjata yang cenderung “liar”.
Pada perkembangan selanjutnya, TKR pun kembali berubah nama, yakni menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) pada tahun 25 Januari 1946. Adapun Panglima Besar Sudirman terpilih menjadi Panglima TRI. Perubahan ini semula untuk mempertegas bahwa hanya ada satu tentara sah yang diakui oleh pemerintah. Tapi sayangnya, sampai pertengahan 1946, setidaknya ada satu lagi kekuatan militer di luar TRI yang mengaku sebagai perwujudan semangat rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan, yakni Biro Perjuangan.
Biro Perjuangan sendiri adalah sebuah organisasi yang beranggotakan petani, buruh, guru, pelajar dan lain-lain yang dididik dan dilatih secara militer dan berada di bawah koordinasi Menteri Pertahanan yang pada waktu itu dijabat Amir Sjariffudin. Awalnya Biro Perjuangan didirikan untuk menampung laskar-laskar rakyat yang didirikan oleh partai-partai politik pada masa itu. Tapi pada perkembangan selanjutnya, Biro Perjuangan malah terlihat berperan seperti tandingan bagi TRI. Tentu ini sangat merugikan perjuangan bangsa Indonesia. Pemerintah pun tidak tinggal diam. Maka pada tanggal 3 Juni 1947, Presiden Sukarno mengumumkan pembentukan Tentara Nasional Indonesia sebagai satu-satunya tentara reguler yang sah milik Republik Indonesia.
Tentara dan Politik
Dunia politik tidaklah asing bagi tentara. Bahkan sering tentara dijadikan alat untuk meraih kepentingan politik. Sebagai akibatnya, netralitas tentara pun semakin memudar. Bahkan terkadang terjadi pertentangan yang berujung pada konflik bersenjata yang diakibatkan oleh perbedaan politik yang berasal dari para pimpinan tentara.
Yang paling mengerikan adalah peristiwa Madiun 1948. Pada saat itu, PKI (Partai Komunis Indonesia) beserta dengan sebagian anggota TNI yang juga kadernya, merebut dan menguasai Kota Madiun untuk selanjutnya memproklamasikan berdirinya Pemerintahan Komunis Indonesia di Madiun. Peristiwa yang juga merembet ke berbagai wilayah itu telah menelan korban jiwa yang tidak sedikit. Untunglah TNI dan rakyat yang masih setia kepada Pancasila berhasil memadamkan pemberontakan tersebut.
Tapi peran Tentara di dunia politik paling kentara ketika Pak Harto dan Orde Barunya berkuasa. Pada era Orde Baru, TNI kemudian dilebur dengan Polisi dan kemudian bernama ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Pada masa itu jugalah Dwi Fungsi ABRI benar-benar diterapkan secara ‘sempurna’. Dwi Fungsi sendiri adalah sebuah doktrin yang menjelaskan bahwa ABRI memiliki dua fungsi, yaitu menjaga keamanan dan ketertiban negara serta memegang kekuasaan dan mengatur negara.
Sebagai akibatnya, ABRI lebih mirip sebagai alat pelanggeng kekuasaan pemerintah Soeharto dari pada sebagai alat menjaga keamanan negara. Tak jarang pula ABRI dimanfaatkan oleh rezim Orde Baru untuk melenyapkan pihak-pihak yang tidak setuju dengan Soeharto.
Penindas Rakyat
Pak Harto memang dikenal sebagai Bapak Pembangunan. Hal itu tak lain karena pada masa Orde Barulah, Indonesia benar-benar mengalami masa pembangunan fisik yang mungkin tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Gedung-gedung baru didirikan, hutan dirambah dan berbagai sarana umum seperti jalan raya, bandara dan pelabuhan pun dibangun. Walau di kemudian hari diketahui biaya pembangunan itu semua bersumber dari utang yang sampai saat ini belum terlunasi.
Tapi sayangnya, dalam melaksanakan program pembangunannya, sering Soeharto menggunakan tentara untuk menindas siapapun yang tidak sependapat dengannya. Berbagai penggusuran atas nama pembangunan pun dilakukan. Sudah tak terhitung lagi berapa banyak rakyat yang harus jadi korban ketika harus berhadapan dengan tentara yang mengamankan program pembangunan tersebut.
Soeharto yang ternyata juga dikenal karena tindakan korupsinya yang gila-gilaan itu, tak segan-segan melakukan penculikan atau pembunuhan terhadap lawan-lawan politiknya. Yang paling jelas adalah tindakan Soeharto menggunakan anggota ABRI yang berpakaian preman untuk menyerbu kantor pusat PDI (Partai Demokrasi Indonesia) pimpinan Megawati Soekarnoputri.
Gelora Reformasi
Tapi ternyata walau memiliki barisan tentara bersenjata yang kuat, Soeharto pun harus lengser. Kekuatan rakyat yang dipelopori mahasiswalah (peristiwa reformasi 98) yang memaksa Sang Jendral untuk lengser. Sekalipun harus berhadapan dengan tank dan senapan, ternyata rakyat masih terlalu perkasa untuk menurunkan sang diktator tersebut.
Kini, setelah Dwi Fungsinya dicabut dan berganti nama menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) , ABRI pun kembali kepada rakyat. Menghadapi era baru dengan tantangan dan kondisi yang baru, rakyat pun berharap banyak. TNI diharapkan dapat menjadi pelopor dan pengayom masyarakat selain sebagai kekuatan utama dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI.
Meski banyak hal yang harus dilakukan, termasuk pembaruan persenjataan dan peningkatan SDM, TNI tetap menjadi benteng tangguh dalam menegakkan kewibawaan Indonesia. Peran serta TNI dalam membangun negara juga harus semakin ditingkatkan. Semoga TNI terus menjadi sahabat rakyat yang ramah, penegak kedaulatan yang disegani dan tentara yang profesional.
Selamat HUT TNI Ke-68
Oleh Adi Guritno | http://mjeducation.co
EmoticonEmoticon