1 Okt 2013

Pekan atau Prahara Kebudayaan Aceh?

Sore itu, 26 September 2013, begitu tiba dari Lhokseumawe, saya langsung meluncur ke pusat keramaian di Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh, menyaksikan even kebudayaan empat tahunan paling akbar di Aceh, Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VI. Kesimpulannya, mungkin sama dengan banyak pengunjung lain, bahwa PKA tak lebih dari berjejalnya pedagang kaki lima, opera pasar malam, kemacetan dan kesemerautan parkir, dan anjungan dengan pameran seadanya.
 
Di antara anjungan itu ada juga yang terlihat rapi, berisi, nyaman, dan ‘artistik’ seperti Aceh Selatan, Aceh Tamiang, dan Bener Meriah. Namun sebagian besar hanya menumpang hadir dan bukan sungguh-sungguh berpameran. Beberapa anjungan tidak berhasil saya masuki karena “tertutup untuk umum”. Memang ada pameran benda-benda dan dokumen bersejarah, tapi tidak ada pemandu dan narasi yang bisa menjelaskan apa yang hadir di dalam ruangan itu.
 
Saya mencoba menguji pengetahuan seorang panitia tentang benda-benda yang ada di dalam ruang pameran. Ia tak bisa menjelaskan bahkan untuk uraian umum. Ada Alquran tulisan tangan karya Tgk Awe Geutah, tapi terbiarkan terkungkung dalam ‘oase kaca’ tanpa penjelasan kapan dan bagaimana kitab itu bisa terpelihara. Ada juga onggokan buku The Dutch Colonial War in Acheh (Perang Kolonial Belanda di Aceh) di satu anjungan. Namun lagi-lagi pengunjung dibiarkan mengurai misteri sendirian.
 
Sampul depan buku tersebut tidak tertulis nama sang pengarang. Saya sudah sangat hapal dengan buku itu, ditulis oleh sejarawan asal Pasai yang mengajar di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, alm Prof Teuku Ibrahim Alfian. Ia sedikit sosok yang paling otoritatif menggali sejarah Aceh, tapi kerap disalahpahami karena pernah menyatakan tak setujuan kepada Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
 
Demikian pula panggung ganda yang menjadi tempat pertunjukan kesenian tari dan musik. Seorang panitia menyebut pembangunan panggung besar itu hanya sebuah kemubaziran. Terlihat dempetan dua panggung itu menganggu estetika visual dan penempatan. Panggung itu juga tidak fungsional dan gagal menjadi magnit bagi pengunjung. Penampilan zikir maulid (dike molod) yang sore itu tampil menarik ternyata sulit memecah konsentrasi dan memalingkan perhatian pengunjung. Hanya ada beberapa pengunjung yang memperhatikan. Kasihan, seni tradisi meranggas sendirian. Ia hadir seperti tempelan di dinding. Dalam bahasa Arab disebut, wujudu ka ‘adamihi (adanya sama seperti tiada).
 
Tanpa strategi
  Mungkin tepat disebut PKA VI 20-29 September ini adalah sebuah perayaan minim makna. Bahkan jika dipakai rasio dengan anggaran daerah, PKA kali ini bisa disebut paling minimalis. Apa sebab? Yang paling mudah dibaca karena kebudayaan dianggap sebagai dimensi afikaran dalam kehidupan sosial yang lebih luas. Politik dianggap paling penting sehingga tak heran pembiayaan politik paling tinggi di Aceh. Bahkan jika dibandingkan dengan anggaran “bansos” maka anggaran untuk PKA ini terkesan hanya ‘ecek-ecek’. Jika ada pernyataan “inilah momentum untuk mengangkat harkat-martabat kebudayaan Aceh”, sesungguhnya tak lebih basa-basi. Retorika palsu.
 
Sebab lainnya karena kegalauan pelaksana dalam mendefinisikan makna kebudayaan. Kebudayaan coba ditarik serenggang mungkin hingga gagal memberi tepi. Alhasil yang dinamakan kebudayaan adalah seluruh dimensi kompleks kehidupan (the most whole complex - istilah dari tokoh antropologi Edward Bernett Tylor). Kebudayaan terjebak kepada makna pejoratif: seluruh dokumen tindakan (acted document) yang bersifat publik. Jika demikian maka macet, kumuh, saling dorong dan sikut, bebal, ku’eh bisa dianggap budaya.
 
Namun jika PKA VI ini mau diarahkan sebagai gerakan kesenian yang artistik nan estetik serta maksimalisasi kreativitas, maka banyak hal yang bisa diukur sebagai keberhasilan dan kemajuan. Kita bisa lihat seperti apa meriahnya Solo International Performing Arts yang baru-baru ini dilaksanakan. Even itu sudah menjadi agenda tahunan yang melibatkan para seniman etnik dunia dan menjadi magnit baru. Atau lihatlah gempita International World Drum dalam Festival Danau Toba 2013 yang berhasi memperlihatkan sisi elegan kesenian lokal bersanding dengan kesenian dunia.
 
Adapun jika PKA ingin dijadikan gerakan kebudayaan, bisa pada penggalian dimensi arkeologis-historis, pengetahuan, dan kearifan lokal. Hal ini sedemikian penting saat ini ketika masyarakat Aceh semakin amnesia dengan renik-renik kesejarahannya, termasuk persinggungannya dengan kebudayaan besar dunia: Cina, Tamil, Mediterania, Persia, Eropa, dan juga Melayu yang berlangsung ribuan tahun.
 
Apa disebut kebudayaan Aceh hari ini tak lain endapan sejarah (a precipitate of history) --memakai istilah Clyde Kluckhohn-- dari proses perjumpaan yang lama dan dialektis dengan multi-kebudayaan. Konflik dan pascakonflik telah membuat masyarakat tumpul secara kultural. Salah satunya akibat politisasi kesejarahan Aceh, eksklusivistik, dan klaim kepentingan politik dan kaum tertentu.
 
Gerakan kesenian

Jika tolak ukurnya adalah gerakan kesenian, maka PKA III 1988 adalah barometer idealnya. Pada saat itu Gubernur Ibrahim Hasan menjadikan PKA sebagai sarana untuk mengembangkan nilai-nilai tradisi dan kesenian Aceh yang pada dasarnya kosmopolit dengan diperkuat gezahnya. Gubernur saat itu secara sadar melibatkan para seniman Aceh dan luar untuk merumuskan pekan kebudayaan, sehingga hadirlah sebuah reportoar yang unik, lokal, dan megah tanpa melupakan dimensi kosmopolitanisme.
 
Tentu Ibrahim Hasan bukan pelopor, karena PKA II 1972 Muzakkir Walad sudah mulai dengan pemikiran kosmopolit itu. Tapi PKA III memacu lebih maju. Peran seniman dan intelektual diberi keleluasaan untuk merancang sedangkan pemerintah hanya menyetujui gagasan itu. Maka kita melihat nama-nama seperti Lian Sahar, Joko Pekik, AD Pirous, Popo Iskandar, Iskandar Muzakkir, Alwin Arifin, Eros Djarot dan lain-lain sebagai panitia dan pengisi acara. Bahkan warisan pasca-PKA III adalah pembuatan film Tjut Njak Dhien yang berhasil menyabet 9 Piala Citra dan menghidupkan kembali Radio Rimba Raya yang menyejarah itu di Aceh Tengah.
 
PKA akhirnya secara sadar menjadi gerakan kebudayaan yang secara dialektis menjawab tantangan-tantangan kemanusiaan yang muncul saat itu dengan tindakan-tindakan yang bernilai. Pada saat itu para politikus dan elite pemerintahan mendukung seniman dan intelektual, kini para seniman dan intelektual dianggap sepi saja dalam merumuskan PKA. Kredo bahwa para politikus bisa melakukan apa saja termasuk mempersiapkan kegiatan kebudayaan berakibat kempisnya mutu kegiatan.
 
Maka pertanyaannya, bagaimana dengan nasib PKA VI ini setelah usai semua keramaian dan kebisingan, warisan apa yang ditinggalkan, selain keuntungan panitia dari pajak lapak yang ternyata tidak murah itu? Apa PKA memang harus menjadi pasar malam? Jika ya seharusnya umurnya tidak empat tahun sekali, karena magnit pasar malam bisa dirancang setahun sekali. Waktunya pun bukan sepekan tapi sebulan sehingga menghasilkan pemasukan yang besar seperti Pekan Raya Jakarta.
 
Jika yang ditinggalkan hanya hampa dan keuntungan ekonomis, maka tepat mengutip judul buku Taufik Ismail, bahwa PKA telah menjadi “prahara budaya”, karena kebudayaan telah diproyeksikan sebagai alas kaki para politikus untuk memaksimalisasi libido kekuasaannya dengan topeng kreativitas dan olah artistik semu. Debu kesia-siaan yang beterbangan di awan.
 
Teuku Kemal Fasya, Pemerhati Masalah Politik dan Kebudayaan. [Serambi Indonesia] Berita desa, media desa, informasi desa, desanews, desaonline, kabardesa, infodesa, teknologidesa, sistem pemerintahan desa, sistem pemerintah indonesia, serambidesa, bangundesa, sistem ekonomi desa, politikdesa, foto desa, UU Desa, UUPA, MoU Helsinki, partai lokal, ekonomi desa, budaya desa, mesindesa, alat-alat petani desa, adatdesa, masakandesa,

Lorem ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry.


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:o
:>)
(o)
:p
:-?
(p)
:-s
8-)
:-t
:-b
b-(
(y)
x-)
(h)