Amerika Latin memang banyak berubah. Tak hanya politiknya yang makin ke kiri dan anti-imperialisme. Satu hal yang tak kalah pentingnya: rakyat jelata tampil sebagai pemimpin bangsa. Salah satunya adalah Luiz Inacio Lula da Silva.
Ia adalah Presiden Brazil. Tak hanya mampu memimpin Brazil selama dua periode, Lula juga dianggap Presiden paling sukses dalam sejarah negara terbesar di Amerika Selatan tersebut. Ketika masa jabatan Lula berakhir, tingkat penerimaan rakyat atas pemerintahannya mencapai 90%.
Tahun 2009 lalu, sutradara Brazil Fábio Barreto berusaha mengangkat kisah hidup pemimpin Brazil tersebut ke layar lebar melalui film berjudul “Lula, o Filho do Brasil (Lula, The Son of Brazil)”. Film ini memotret kehidupan Lula sejak kelahirannya, tahun 1945, hingga menjadi tokoh gerakan buruh di awal 1980-an.
Lula lahir dari keluarga sangat miskin. Ayahnya, Aristides (Milhem Cortaz), adalah seorang tukang-mabuk dengan pekerjaan tidak jelas. Sedangkan ibunya, Dona Lindu (Glória Pires), sekalipun buta-huruf, tetapi sangat mempengaruhi perkembangan pribadi Lula dengan ajaran moralnya.
Tekanan kemiskinan itulah yang memaksa ibunya, Dona Lindu, memboyong Lula dan saudara-saudaranya meninggalkan kampung halamannya dan pindah ke Guarujá, di negara bagian São Paulo. Perjalanan mereka—disebut jalan menuju kebahagiaan—memakan waktu 13 hari dan hanya menumpang truk terbuka.
Di kota itu, Lula dan keluarganya berjuang untuk hidup. Lula kecil (Felipe Falanga) sempat menikmati bangku sekolah dasar. Lula terbilang anak yang cerdas. Sayang, tekanan kemiskinan memaksa Lula meninggalkan bangku sekolah saat ia baru menginjak kelas-empat.
Lula kecil harus menjadi anak jalanan: jadi tukang semir sepatu dan pedagang asongan. Saat Lula beranjak dewasa, ia sempat bekerja di Dry Cleaning. Saat itu juga, Lula nyaris tewas bersama keluarganya karena gubuknya diterjang banjir. Lula, seperti orang Brazil pada umumnya, sangat menyukai sepak-bola.
Usia 14 tahun, Lula ikut kursus pelatihan kerja di National Industrial Learning Service (SENAI). Ia mendapat sertifikat lulus sebagai operator bubut tahun 1961. Beberapa tahun kemudian, ia bekerja di pabrik suku cadang mobil. Namun, sebuah kecelakaan kerja di pabrik suku cadang mobil itu membuat Lula kehilangan jari kelingkingnya.
Kakanya, Frei Chico—akrab dipanggil Ziza (Sóstenes Vidal)—adalah seorang aktivis serikat buruh berhaluan kiri. Kakaknya itulah yang memperkenalkan Lula dengan serikat buruh.
Setelah mendapat pekerjaan, Lula menikahi pacarnya, Lurdes (Cléo Pires). Mereka hidup sangat bahagia. Sayang, kebahagiaan itu berakhir tatkala nyawa Lurdes tak terlotong saat melahirkan. Istrinya meninggal bersama bayinya yang belum lahir. Kejadian itu benar-benar memukul Lula.
Lula kemudian makin aktif di gerakan buruh. Ia menjadi anggota serikat buruh metal São Bernardo. Aktif di serikat, Lula bertemu perempuan yang kembali memikat hatinya, Marisa Leticia (Juliana Baroni). Tidak lama kemudian, kedunya memutuskan menikah.
Bersamaan dengan itu, Brazil jatuh ke tangan kediktatoran militer. Aktivitas politik, termasuk serikat buruh, sangat dibatasi. Pada saat itu, tahun 1972, Lula terpilih sebagai salah satu anggota dewan buruh di Serikat Buruh Metal Sao Bernando. Tiga tahun kemudian, Ia menjadi Presiden serikat buruh itu. Ia memenangkan 92% suara dari 140,000 orang anggota.
Saat itu, Lula makin radikal dan militan. Ia juga mulai tampil sebagai orator hebat. Di akhir 1970-an, akibat kebijakan penghematan yang dipaksakan oleh IMF, serikat buruh Brazil melancarkan pemogokan. Lula mulai tampil berpidato dalam aksi-aksi mogok, termasuk buruh di region ABC, yang dikenal paling militan.
Februari tahun 1979, di Morumbi, kesebelasan Corintians bertanding dengan Guarany di kejuaraan São Paulo. Lula, yang saat itu jadi penonton, terinspirasi dengan banyaknya orang di Stadion. Ia berkeinginan stadiun sepak bola itu diisi pekerja.
Maret 1979, Lula mengorganisir pekerja metalurgi yang mogok untuk menduduki stadion sepak bola Vila Euclides di São Bernardo. Tanpa pengeras suara, Lula menyampaikan pidato yang dieja ulang oleh pendengarnya. Dua hari kemudian, ketika 170.000 pekerja bergabung, pemogokan itu dianggap ilegal.
Polisi dan militer dikirim untuk menindas pemogokan. Akhirnya, Lula memindahkan aksinya ke gereja. Pada peringatan 1 Mei 1979, 150 ribu buruh memenuhi stadion. Lula pun tampil sebagai tokoh dan sekaligus pahlawan gerakan buruh.
Tahun 1980, Lula kembali melancarkan pemogokan 41 hari yang terkenal di Brazil. Lebih 140 ribu buruh metal bergabung dalam pemogokan untuk menuntut kepastian kerja, pengurangan jam kerja, dan hak pemimpin serikat memasuki pabrik kapan saja.
Rezim berkuasa mulai gerah dengan aksi Lula. Akhirnya, pada 19 April 1980, Lula ditangkap di rumahnya. Lula dipenjara. Saat itulah kemalangan kembali menimpa Lula. Ibunya, Dona Lindu, meninggal saat lula dipenjara. Ia mendatangi prosesi pemakaman ibunya dengan pengawalan polisi.
Tahun 1980, Lula menjadi salah satu pendiri Partai Buruh. Tiga kali menjadi kandidat Presiden, yakni 1989, 1994, dan 1998, tetapi menemui kegagalan. Barulah pada pemilu tahun 2002, Lula berhasil terpilih sebagai Presiden Brazil.
Film garapan Fabio Barreto ini memang lebih banyak memotret sisi pribadi Lula Da Silva. Sementara aktivitas dan pandangaan politiknya tidak begitu menonjol. Baretto sendiri punya alasan: “karena setiap orang tahu kehidupan politik Lula, tetapi sangat sedikit yang tahu kehidupan pribadinya.”
Jadi, jangan heran, Lula dalam film ini juga digambarkan sebagai seorang lelaki romantis, mencintai keluarganya, dan sangat dekat dengan ibunya. Boleh dikatakan, seperti dikisahkan film ini, orang paling berpengaruh dalam kehidupan Lula adalah ibunya.
Ulfa Ilyas | berdikarionline.com
Tahun 2009 lalu, sutradara Brazil Fábio Barreto berusaha mengangkat kisah hidup pemimpin Brazil tersebut ke layar lebar melalui film berjudul “Lula, o Filho do Brasil (Lula, The Son of Brazil)”. Film ini memotret kehidupan Lula sejak kelahirannya, tahun 1945, hingga menjadi tokoh gerakan buruh di awal 1980-an.
Lula lahir dari keluarga sangat miskin. Ayahnya, Aristides (Milhem Cortaz), adalah seorang tukang-mabuk dengan pekerjaan tidak jelas. Sedangkan ibunya, Dona Lindu (Glória Pires), sekalipun buta-huruf, tetapi sangat mempengaruhi perkembangan pribadi Lula dengan ajaran moralnya.
Tekanan kemiskinan itulah yang memaksa ibunya, Dona Lindu, memboyong Lula dan saudara-saudaranya meninggalkan kampung halamannya dan pindah ke Guarujá, di negara bagian São Paulo. Perjalanan mereka—disebut jalan menuju kebahagiaan—memakan waktu 13 hari dan hanya menumpang truk terbuka.
Di kota itu, Lula dan keluarganya berjuang untuk hidup. Lula kecil (Felipe Falanga) sempat menikmati bangku sekolah dasar. Lula terbilang anak yang cerdas. Sayang, tekanan kemiskinan memaksa Lula meninggalkan bangku sekolah saat ia baru menginjak kelas-empat.
Lula kecil harus menjadi anak jalanan: jadi tukang semir sepatu dan pedagang asongan. Saat Lula beranjak dewasa, ia sempat bekerja di Dry Cleaning. Saat itu juga, Lula nyaris tewas bersama keluarganya karena gubuknya diterjang banjir. Lula, seperti orang Brazil pada umumnya, sangat menyukai sepak-bola.
Usia 14 tahun, Lula ikut kursus pelatihan kerja di National Industrial Learning Service (SENAI). Ia mendapat sertifikat lulus sebagai operator bubut tahun 1961. Beberapa tahun kemudian, ia bekerja di pabrik suku cadang mobil. Namun, sebuah kecelakaan kerja di pabrik suku cadang mobil itu membuat Lula kehilangan jari kelingkingnya.
Kakanya, Frei Chico—akrab dipanggil Ziza (Sóstenes Vidal)—adalah seorang aktivis serikat buruh berhaluan kiri. Kakaknya itulah yang memperkenalkan Lula dengan serikat buruh.
Setelah mendapat pekerjaan, Lula menikahi pacarnya, Lurdes (Cléo Pires). Mereka hidup sangat bahagia. Sayang, kebahagiaan itu berakhir tatkala nyawa Lurdes tak terlotong saat melahirkan. Istrinya meninggal bersama bayinya yang belum lahir. Kejadian itu benar-benar memukul Lula.
Lula kemudian makin aktif di gerakan buruh. Ia menjadi anggota serikat buruh metal São Bernardo. Aktif di serikat, Lula bertemu perempuan yang kembali memikat hatinya, Marisa Leticia (Juliana Baroni). Tidak lama kemudian, kedunya memutuskan menikah.
Bersamaan dengan itu, Brazil jatuh ke tangan kediktatoran militer. Aktivitas politik, termasuk serikat buruh, sangat dibatasi. Pada saat itu, tahun 1972, Lula terpilih sebagai salah satu anggota dewan buruh di Serikat Buruh Metal Sao Bernando. Tiga tahun kemudian, Ia menjadi Presiden serikat buruh itu. Ia memenangkan 92% suara dari 140,000 orang anggota.
Saat itu, Lula makin radikal dan militan. Ia juga mulai tampil sebagai orator hebat. Di akhir 1970-an, akibat kebijakan penghematan yang dipaksakan oleh IMF, serikat buruh Brazil melancarkan pemogokan. Lula mulai tampil berpidato dalam aksi-aksi mogok, termasuk buruh di region ABC, yang dikenal paling militan.
Februari tahun 1979, di Morumbi, kesebelasan Corintians bertanding dengan Guarany di kejuaraan São Paulo. Lula, yang saat itu jadi penonton, terinspirasi dengan banyaknya orang di Stadion. Ia berkeinginan stadiun sepak bola itu diisi pekerja.
Maret 1979, Lula mengorganisir pekerja metalurgi yang mogok untuk menduduki stadion sepak bola Vila Euclides di São Bernardo. Tanpa pengeras suara, Lula menyampaikan pidato yang dieja ulang oleh pendengarnya. Dua hari kemudian, ketika 170.000 pekerja bergabung, pemogokan itu dianggap ilegal.
Polisi dan militer dikirim untuk menindas pemogokan. Akhirnya, Lula memindahkan aksinya ke gereja. Pada peringatan 1 Mei 1979, 150 ribu buruh memenuhi stadion. Lula pun tampil sebagai tokoh dan sekaligus pahlawan gerakan buruh.
Tahun 1980, Lula kembali melancarkan pemogokan 41 hari yang terkenal di Brazil. Lebih 140 ribu buruh metal bergabung dalam pemogokan untuk menuntut kepastian kerja, pengurangan jam kerja, dan hak pemimpin serikat memasuki pabrik kapan saja.
Rezim berkuasa mulai gerah dengan aksi Lula. Akhirnya, pada 19 April 1980, Lula ditangkap di rumahnya. Lula dipenjara. Saat itulah kemalangan kembali menimpa Lula. Ibunya, Dona Lindu, meninggal saat lula dipenjara. Ia mendatangi prosesi pemakaman ibunya dengan pengawalan polisi.
Tahun 1980, Lula menjadi salah satu pendiri Partai Buruh. Tiga kali menjadi kandidat Presiden, yakni 1989, 1994, dan 1998, tetapi menemui kegagalan. Barulah pada pemilu tahun 2002, Lula berhasil terpilih sebagai Presiden Brazil.
Film garapan Fabio Barreto ini memang lebih banyak memotret sisi pribadi Lula Da Silva. Sementara aktivitas dan pandangaan politiknya tidak begitu menonjol. Baretto sendiri punya alasan: “karena setiap orang tahu kehidupan politik Lula, tetapi sangat sedikit yang tahu kehidupan pribadinya.”
Jadi, jangan heran, Lula dalam film ini juga digambarkan sebagai seorang lelaki romantis, mencintai keluarganya, dan sangat dekat dengan ibunya. Boleh dikatakan, seperti dikisahkan film ini, orang paling berpengaruh dalam kehidupan Lula adalah ibunya.
Ulfa Ilyas | berdikarionline.com
EmoticonEmoticon